Tantangan Indonesia, Susutnya Budaya Baca
Oleh : BK.Wibowo
Menurut John Naisbitt, abad kita saat ini sudah mengalami pergeseran ke arah
Visual Culture, ini ditandai dengan menurunnya oplah koran (di Amerika),
pergeseran bentuk dari koran ke tabloid, novel ke graphic novel, dan
mencuatnya disain sebagai keunggulan kompetitif (iPod, MacBook).
Sesuatu akan berevolusi apabila bentuk baru dirasa lebih adaptif terhadap
lingkungan. Dalam hal ini, pergeseran budaya dari tulisan ke arah visual
menandakan bahwa bentuk visual dapat lebih diterima oleh masyarakat umum.
Kemudahan belajar dengan menggunakan mindmap juga membuktikan itu.
Anak kecil belajar dengan pengalaman. Mereka mencari pengalaman yang
menyenangkan, dan menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan.
Sistem pendidikan kita masih menganut budaya tulisan, ini karena pada
awalnya orang dianggap pandai jika menguasai budaya tulisan. Akhirnya para
pendidik pun sebagian besar masih menganut budaya tulisan. Dan akhirnya ini
yang membentuk mindset bahwa turunnya minat membaca sebagai sesuatu yang
patut dikhawatirkan.
Menurut saya, yang patut dikhawatirkan adalah turunnya minat belajar. Tidak
perlu dipersoalkan dengan cara apa manusia belajar, baik itu tulisan maupun
visual. Tulisan dalam hal ini juga awalnya digunakan untuk mencatat sejarah,
menyebarkan ataupun mewariskan suatu ilmu atau pengetahuan. Mengapa tulisan
pada awalnya berkembang? Karena sistem percetakan jaman dulu lebih mudah
untuk mencetak tulisan, dalam artian tulisan lebih mudah untuk di-scale up.
Jika saat ini teknologi percetakan visual maupun multimedia digital telah
mampu mengakomodasi kebutuhan mewariskan ilmu, why not?
Yang menjadi persoalan, adalah kurangnya materi bahan pengajaran dalam
bentuk visual. Ini menurut saya, karena sedari awal tim penyusun kurikulum
didominasi oleh orang dengan kemampuan otak kiri yang menonjol, sehingga
pengajaran dalam bentuk visual masih belum bisa diterima secara luas.
Mizan sendiri setahu saya dulu juga sempat menerbitkan buku-buku pengetahuan
dalam bentuk komik/graphic novel, tapi sekarang tidak saya temui lagi di
Gramedia. Mungkin topik-topik yang diambil saat itu cukup berat, seperti
Mekanika Quantum maupun Chaos Theory.
Jadi sebaiknya bukan memaksakan minat baca kepada anak, tetapi menumbuhkan
minat belajar anak dengan mengakomodasi kebutuhan belajar anak dengan cara
yang mereka suka. Dan jika cara belajar yang lebih disukai adalah cara
belajar dengan multimedia, solusinya sekarang adalah penyediaan materi
belajar berbasis multimedia.
Saat ini dengan akses internet di Indonesia yang masih terbatas, masih lebih
mudah buat saya untuk "menulis" email ini. Tapi mungkin suatu hari kita akan
saling mengirimkan video kita sedang berbicara dalam milis ataupun dengan
cara lain yang lebih multimedia :)
***
Sumber :
Mailis DikBud@yahoogroups.com
Menurut John Naisbitt, abad kita saat ini sudah mengalami pergeseran ke arah
Visual Culture, ini ditandai dengan menurunnya oplah koran (di Amerika),
pergeseran bentuk dari koran ke tabloid, novel ke graphic novel, dan
mencuatnya disain sebagai keunggulan kompetitif (iPod, MacBook).
Sesuatu akan berevolusi apabila bentuk baru dirasa lebih adaptif terhadap
lingkungan. Dalam hal ini, pergeseran budaya dari tulisan ke arah visual
menandakan bahwa bentuk visual dapat lebih diterima oleh masyarakat umum.
Kemudahan belajar dengan menggunakan mindmap juga membuktikan itu.
Anak kecil belajar dengan pengalaman. Mereka mencari pengalaman yang
menyenangkan, dan menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan.
Sistem pendidikan kita masih menganut budaya tulisan, ini karena pada
awalnya orang dianggap pandai jika menguasai budaya tulisan. Akhirnya para
pendidik pun sebagian besar masih menganut budaya tulisan. Dan akhirnya ini
yang membentuk mindset bahwa turunnya minat membaca sebagai sesuatu yang
patut dikhawatirkan.
Menurut saya, yang patut dikhawatirkan adalah turunnya minat belajar. Tidak
perlu dipersoalkan dengan cara apa manusia belajar, baik itu tulisan maupun
visual. Tulisan dalam hal ini juga awalnya digunakan untuk mencatat sejarah,
menyebarkan ataupun mewariskan suatu ilmu atau pengetahuan. Mengapa tulisan
pada awalnya berkembang? Karena sistem percetakan jaman dulu lebih mudah
untuk mencetak tulisan, dalam artian tulisan lebih mudah untuk di-scale up.
Jika saat ini teknologi percetakan visual maupun multimedia digital telah
mampu mengakomodasi kebutuhan mewariskan ilmu, why not?
Yang menjadi persoalan, adalah kurangnya materi bahan pengajaran dalam
bentuk visual. Ini menurut saya, karena sedari awal tim penyusun kurikulum
didominasi oleh orang dengan kemampuan otak kiri yang menonjol, sehingga
pengajaran dalam bentuk visual masih belum bisa diterima secara luas.
Mizan sendiri setahu saya dulu juga sempat menerbitkan buku-buku pengetahuan
dalam bentuk komik/graphic novel, tapi sekarang tidak saya temui lagi di
Gramedia. Mungkin topik-topik yang diambil saat itu cukup berat, seperti
Mekanika Quantum maupun Chaos Theory.
Jadi sebaiknya bukan memaksakan minat baca kepada anak, tetapi menumbuhkan
minat belajar anak dengan mengakomodasi kebutuhan belajar anak dengan cara
yang mereka suka. Dan jika cara belajar yang lebih disukai adalah cara
belajar dengan multimedia, solusinya sekarang adalah penyediaan materi
belajar berbasis multimedia.
Saat ini dengan akses internet di Indonesia yang masih terbatas, masih lebih
mudah buat saya untuk "menulis" email ini. Tapi mungkin suatu hari kita akan
saling mengirimkan video kita sedang berbicara dalam milis ataupun dengan
cara lain yang lebih multimedia :)
***
Sumber :
Mailis DikBud@yahoogroups.com
No Response to "Tantangan Indonesia, Susutnya Budaya Baca"
Posting Komentar