Kisah - Kisah Tsunami
Asep (31 th), Cidadap - Legok Jawa, 008
Satu menit sebelum kejadian, aku sedang ngaladangan pembeli di warung rumahku. Sementara itu Samsudin dan Maman, keduanya tetanggaku sedang nonton VCD. Tiba-tiba listrik padam, akhirnya mereka duduk-duduk di risban depan warung.
Tak lama kemudian datang tukang roti dari arah kaler. Dia nawarkan barang dagangannya. Biasa… warungku setiap dua minggu sekali atau dua kali sebulan dijujugi roti olehnya. Aku sendiri belum paham betul berasal dari mana tukang roti itu. Yang jelas aku tidak begitu paham dengan asal kampung halamannya, namun yang jelas para konsumen menyenangi roti buatannya.
Setelah tawar-menawar harga dan sudah terjadi akad kuambil uang dari laci dan ketika aku sedang membayar. Entah kenapa aku tiba-tiba lihat ke arah laut. Dari arah kidul agak ngetan pelengkung ombak sekitar 13 meteran dari arah laut.
Setelah lihat gelombang tersebut aku tidak bisa bicara, yang ada hanya panik, dan aku hanya bisa mengacungkan telunjuk sambil menunjuk ke arah gelombang tersebut. Beberapa detik sebelum air mencapai daratan. Maman teriak memberitahuku, bahwa sedang terjadi tsunami.
“Sep, tsunami !!!” kata Maman sambil lari menyelamatkan diri. Begitupun dengan Samsudin. Mereka lari terbirit-birit sampai menghilang dari pandanganku.
Ketika aku sedang membalikkan badan mau lari, goropyok aku terkena gelombang yang persis pecah di jalan raya depan rumahku. Sementara kulihat gelombang laut setinggi pohon butun di pinggir pantai. Sambil terdengar suara ngahiung, seperti buldoser.
Sebelum aku bertindak apa-apa, aku sudah terbawa arus yang deras itu. Kemudian di depanku ada pohon kelapa, maka kep tangan dan badanku nangkeup pohon tersebut, terus nangkod dina tangkal kalapa. Kira-kira dengan ketinggian 3 meteran dari tanah aku pikir mungkin aman. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya.
Setelah beberapa menit muncul lagi gelombang yang kedua. Badanku terlingkupi oleh air gelombang ini dan aku uulagepan sambil minum air laut itu serta terbawa ke atas sampai ketinggian sekitar 10 meteran.
Di sinilah aku teringat dengan kejadian Tsunami di Aceh. Badanku terutama punggung seperti ditotogan oleh beko. Arus air laut sangat deras tentunya dengan membawa berbagai macam sampah dan bekas-bekas bangunan yang tergerus oleh air.
Kulihat rumahku dan rumah-rumah sederetan rumahku ambrug tumbang satu per satu seperti dipangkas gelombang itu. Di sinilah aku tersadar dan ingat dengan Yang Maha Kuasa. Kulantunkan takbir dua kali.
“Allohu akbar. Allohu akbar” seruku dengan penuh gemetaran.
Kemudian setelah lewatnya gelombang yang kedua, kulihat di belakangnya disusul dengan gelombang yang ketiga kira-kira ketinggiannya sekitar lima meter. Aku masih nangkod di pohon kelapa itu sambil mengumpulkan pangacian. Kuperhatikan ternyata air laut itu tidak kembali lagi ke laut, tetapi ngabelekbek ngagolak sebesar tampir (tampah) nyerep (terserap) ke dalam tanah.
Setelah kurasa aman, aku turun dari pohon itu dan mencari anak dan istri. Di suatu tempat kira-kira 350 meter dari rumahku kulihat kakakku nyangsang di cagak pohon mangga. Pelipis matanya sobek dengan muka berlumuran darah. Waktu itu air masih sekitar setinggi bujal. Aku belum bisa menolong karena aku masih mencari anakku. Akhirnya di dekat bukit kira-kira 400 sebelah kanan dari rumahku kulihat Damayanti anak semata wayangku berada di perbukitan, dan ternyata selamat.
“Alhamdulillah”, kataku dalam hati.
Di dekat masjid sebelah bukit itu pula kulihat mayat-mayat dikumpulkan. Di situ ada dua anak yang meninggal, tapi aku belum dapat mengenalinya karena tubuhnya sudah tidak keruan tersapu gelombang.
Setelah terasa aman, maka aku beserta warga kampung yang lain yang selamat berusaha menyelamatkan kakakku yang masih nyangsang di cagak pohon mangga. Ketinggian kakakku kira-kira 3 meter dari atas tanah.
Setelah itu aku baru teringat dengan kakakku yang lain. Sebelum terjadi tsunami kira-kira 5 menit sebelum kejadian dia pamit ke saya katanya mau belanja ke Bulak Benda. Mereka bertiga, yaitu kakakku, istri, dan satu anaknya. Mereka ke Bulak Benda dengan menggunakan motor vespa. Jarak Cidadap – Bulak benda kurang lebih 4 km.
Maka dengan serta merta ku lari mencari kakak dan keponakanku. Aku menyusul dengan berjalan kaki. Kira-kira dua kilometer aku berjalan, tepatnya di bukit Ciberewoh, aku baru berhasil menemukannya. Di situ kutemukan mereka di perbukitan. Sore itu, kakakku beserta dua mayat dan beberapa orang lainnya yang terluka parah sedang berdiam diri.
Wajahnya pucat pasih. Dan kelihatan lemas tak berdaya, begitupun dengan yang masih hidup lainnya. Mereka terlihat tidak bergairah apa-apa. Dengan beralaskan tanah mereka duduk dengan penuh segala keterbatasan, karena tidak ada makanan, minuman, apalagi obat-obatan
Esok harinya, Selasa, aku dan seluruh warga yang selamat akhirnya boyongan ke pengungsian di Desa Masawah bergabung dengan pengungsi dari Bulak Benda (Dusun Madasari). Kami diperintah oleh Pak Kuwu Legok Jawa sebagai pengayom kami. Maka, bring kami ngabring berangkat menuju ke desa. Ketika mau melakukan perjalanan, baru tiga langkah dari bukit yang kami tempati kami dikabarkan bahwa terjadi lagi tsunami susulan.
“Awas… Cai datang deui!!!!” seseorang berteriak sambil memberitahu yang lain.
Tanpa sadar, aku dan warga yang lain, paburisat lari ke tempat yang dikira aman dari air. Namun ternyata, apa yang dikabarkan orang tersebut tidak benar, karena air tidak kunjung tiba. Sampai akhirnya Pak Kuwu, memberitahu bahwa kabar tersebut adalah bohong. “Lain cenah. Eta mah gosip”
Akhirnya perjalanan kami lanjutkan, kami mengungsi ke Desa Masawah. Di Masawah kami satu minggu. Kemudian pindah ke Batu Malang, di sini kami mengungsi selama tiga minggu, dan yang terakhir kami kembali lagi ke lokasi. Di lokasi inilah pertama-tama kami membangun tenda. Setelah dapat bantuan dari para donator dan relawan, maka kami akhirnya bisa membangun gubuk dari anyaman bambu. Lumayan untuk berteduh. Sampai keadaannya normal kembali.
Aku tidak bisa berharap apa-apa, rumahku yang kubangun dari hasil kerja keras di luar negeri bertahun-tahun, tiba-tiba dalam sekejap mata habis ditengkas gelombang yang tak pandang bulu itu. Sampai sekarang belum ada ganti kerugian apa-apa. Sementara ada warga yang tadinya berumah seadanya, setelah tsunami ini malah bisa membangun rumah lebih bagus dari sebelumnya. Aku hanya dapat berharap bahwa keadilan itu akan dating, tidak hanya di mulut saja tetapi sampai ke nyatanya.
Nangkod dina Kalapa
Satu menit sebelum kejadian, aku sedang ngaladangan pembeli di warung rumahku. Sementara itu Samsudin dan Maman, keduanya tetanggaku sedang nonton VCD. Tiba-tiba listrik padam, akhirnya mereka duduk-duduk di risban depan warung.
Tak lama kemudian datang tukang roti dari arah kaler. Dia nawarkan barang dagangannya. Biasa… warungku setiap dua minggu sekali atau dua kali sebulan dijujugi roti olehnya. Aku sendiri belum paham betul berasal dari mana tukang roti itu. Yang jelas aku tidak begitu paham dengan asal kampung halamannya, namun yang jelas para konsumen menyenangi roti buatannya.
Setelah tawar-menawar harga dan sudah terjadi akad kuambil uang dari laci dan ketika aku sedang membayar. Entah kenapa aku tiba-tiba lihat ke arah laut. Dari arah kidul agak ngetan pelengkung ombak sekitar 13 meteran dari arah laut.
Setelah lihat gelombang tersebut aku tidak bisa bicara, yang ada hanya panik, dan aku hanya bisa mengacungkan telunjuk sambil menunjuk ke arah gelombang tersebut. Beberapa detik sebelum air mencapai daratan. Maman teriak memberitahuku, bahwa sedang terjadi tsunami.
“Sep, tsunami !!!” kata Maman sambil lari menyelamatkan diri. Begitupun dengan Samsudin. Mereka lari terbirit-birit sampai menghilang dari pandanganku.
Ketika aku sedang membalikkan badan mau lari, goropyok aku terkena gelombang yang persis pecah di jalan raya depan rumahku. Sementara kulihat gelombang laut setinggi pohon butun di pinggir pantai. Sambil terdengar suara ngahiung, seperti buldoser.
Sebelum aku bertindak apa-apa, aku sudah terbawa arus yang deras itu. Kemudian di depanku ada pohon kelapa, maka kep tangan dan badanku nangkeup pohon tersebut, terus nangkod dina tangkal kalapa. Kira-kira dengan ketinggian 3 meteran dari tanah aku pikir mungkin aman. Tetapi apa yang terjadi selanjutnya.
Setelah beberapa menit muncul lagi gelombang yang kedua. Badanku terlingkupi oleh air gelombang ini dan aku uulagepan sambil minum air laut itu serta terbawa ke atas sampai ketinggian sekitar 10 meteran.
Di sinilah aku teringat dengan kejadian Tsunami di Aceh. Badanku terutama punggung seperti ditotogan oleh beko. Arus air laut sangat deras tentunya dengan membawa berbagai macam sampah dan bekas-bekas bangunan yang tergerus oleh air.
Kulihat rumahku dan rumah-rumah sederetan rumahku ambrug tumbang satu per satu seperti dipangkas gelombang itu. Di sinilah aku tersadar dan ingat dengan Yang Maha Kuasa. Kulantunkan takbir dua kali.
“Allohu akbar. Allohu akbar” seruku dengan penuh gemetaran.
Kemudian setelah lewatnya gelombang yang kedua, kulihat di belakangnya disusul dengan gelombang yang ketiga kira-kira ketinggiannya sekitar lima meter. Aku masih nangkod di pohon kelapa itu sambil mengumpulkan pangacian. Kuperhatikan ternyata air laut itu tidak kembali lagi ke laut, tetapi ngabelekbek ngagolak sebesar tampir (tampah) nyerep (terserap) ke dalam tanah.
Setelah kurasa aman, aku turun dari pohon itu dan mencari anak dan istri. Di suatu tempat kira-kira 350 meter dari rumahku kulihat kakakku nyangsang di cagak pohon mangga. Pelipis matanya sobek dengan muka berlumuran darah. Waktu itu air masih sekitar setinggi bujal. Aku belum bisa menolong karena aku masih mencari anakku. Akhirnya di dekat bukit kira-kira 400 sebelah kanan dari rumahku kulihat Damayanti anak semata wayangku berada di perbukitan, dan ternyata selamat.
“Alhamdulillah”, kataku dalam hati.
Di dekat masjid sebelah bukit itu pula kulihat mayat-mayat dikumpulkan. Di situ ada dua anak yang meninggal, tapi aku belum dapat mengenalinya karena tubuhnya sudah tidak keruan tersapu gelombang.
Setelah terasa aman, maka aku beserta warga kampung yang lain yang selamat berusaha menyelamatkan kakakku yang masih nyangsang di cagak pohon mangga. Ketinggian kakakku kira-kira 3 meter dari atas tanah.
Setelah itu aku baru teringat dengan kakakku yang lain. Sebelum terjadi tsunami kira-kira 5 menit sebelum kejadian dia pamit ke saya katanya mau belanja ke Bulak Benda. Mereka bertiga, yaitu kakakku, istri, dan satu anaknya. Mereka ke Bulak Benda dengan menggunakan motor vespa. Jarak Cidadap – Bulak benda kurang lebih 4 km.
Maka dengan serta merta ku lari mencari kakak dan keponakanku. Aku menyusul dengan berjalan kaki. Kira-kira dua kilometer aku berjalan, tepatnya di bukit Ciberewoh, aku baru berhasil menemukannya. Di situ kutemukan mereka di perbukitan. Sore itu, kakakku beserta dua mayat dan beberapa orang lainnya yang terluka parah sedang berdiam diri.
Wajahnya pucat pasih. Dan kelihatan lemas tak berdaya, begitupun dengan yang masih hidup lainnya. Mereka terlihat tidak bergairah apa-apa. Dengan beralaskan tanah mereka duduk dengan penuh segala keterbatasan, karena tidak ada makanan, minuman, apalagi obat-obatan
Esok harinya, Selasa, aku dan seluruh warga yang selamat akhirnya boyongan ke pengungsian di Desa Masawah bergabung dengan pengungsi dari Bulak Benda (Dusun Madasari). Kami diperintah oleh Pak Kuwu Legok Jawa sebagai pengayom kami. Maka, bring kami ngabring berangkat menuju ke desa. Ketika mau melakukan perjalanan, baru tiga langkah dari bukit yang kami tempati kami dikabarkan bahwa terjadi lagi tsunami susulan.
“Awas… Cai datang deui!!!!” seseorang berteriak sambil memberitahu yang lain.
Tanpa sadar, aku dan warga yang lain, paburisat lari ke tempat yang dikira aman dari air. Namun ternyata, apa yang dikabarkan orang tersebut tidak benar, karena air tidak kunjung tiba. Sampai akhirnya Pak Kuwu, memberitahu bahwa kabar tersebut adalah bohong. “Lain cenah. Eta mah gosip”
Akhirnya perjalanan kami lanjutkan, kami mengungsi ke Desa Masawah. Di Masawah kami satu minggu. Kemudian pindah ke Batu Malang, di sini kami mengungsi selama tiga minggu, dan yang terakhir kami kembali lagi ke lokasi. Di lokasi inilah pertama-tama kami membangun tenda. Setelah dapat bantuan dari para donator dan relawan, maka kami akhirnya bisa membangun gubuk dari anyaman bambu. Lumayan untuk berteduh. Sampai keadaannya normal kembali.
Aku tidak bisa berharap apa-apa, rumahku yang kubangun dari hasil kerja keras di luar negeri bertahun-tahun, tiba-tiba dalam sekejap mata habis ditengkas gelombang yang tak pandang bulu itu. Sampai sekarang belum ada ganti kerugian apa-apa. Sementara ada warga yang tadinya berumah seadanya, setelah tsunami ini malah bisa membangun rumah lebih bagus dari sebelumnya. Aku hanya dapat berharap bahwa keadilan itu akan dating, tidak hanya di mulut saja tetapi sampai ke nyatanya.