Kisah - Kisah Tsunami
Emen (37 th), Madasari, 018
Jam menunjukkan pukul 15।30 WIB sore hari. Waktu itu aku berada di rumahnya Sodikin, di situ kebetulan ada Solihin. Aku baru saja pulang dari ngala bonsai di Celing.
Aktifitas warga berjalan seperti biasanya। Roni sedang nambal sepeda motor di bengkel rumahku, Hadman, dan Ebeng sedang catur, sementara Gepeng dan Rudini sedang berjoged karaokean di rumahnya / warungnya Diana.
“Mang, Madasari kaurugan lambak !” kata Solihin memberi tahuku.
“Ulah kitu keh॥” jawabku dengan nada kurang percaya।
Waktu itu Madasari (kampung Bulak benda) baru saja dilanda oleh gelombang yang pertama।
“Kang, teh Lia teang, sakola geus ruag” kata Yani, adikku, kebetulan istriku juga baru pulang dari aktifitas di sawah dan baru saja ku jemput pakai motor।
Sepeda motor ditunda di warung Aki Syarif, dekat Injut। Waktu itu, air laut setinggi sebawahnya tuur. Di situ ada Herman, Harvey, dan Sule. Mereka sedang berusaha mengevakuasi warga. Anak-anak, orang tua, nenek-nenek, dan kakek-kakek.
Setelah motor kutitipkan di sana, aku langsung menuju ke timur dengan tujuan untuk melihat dan mengecek keadaan rumah। Namun hal tersebut belum bisa dilakukan karena kondisinya belum memungkinkan. Setibanya di Masjid RT 5, aku lari kembali lagi ke arah kulon sambil ngajingjing sandal, karena gelombang kedua menyusul dengan sangat dahsyatnya. Ketika sudah sampai motor kembali, maka motor kuselamatkan di lolojok gegenteng Hasbi (tempat sekolah darurat sekarang-red).
Setelah dirasa aman motor di situ, aku kembali lagi mau ke arah perkampungan, tetapi baru saja sampai di sekitar sekolah darurat, kunci motorku jatuh। Sementara air laut sudah secangkeng (sepinggang) Aku biarkan kunci itu terbawa arus, karena sulit untuk mencarinya.
Di situ aku bertemu dengan Aang, yang sedang berusaha mencari anak istrinya।
“Mang, nempo budak abdi, Si Arif ?” tanyanya padaku.
“Tadi lohor mah ka Jemblongan, ngala bonsai jeung kami.. Duka ari ayeuna mah” jawabku.
“Ang, aya pamajikan uing di tonggoh?” aku balik bertanya.
“Aya ari budak mah। Ari pamajikan maneh mah euweuh” jawab Aang sambil ngeloyor.
Kemudian, aku icikiprak, terus nekad ke pasir mencari anakku। Alhamdulillah anakku ada di sana. Aku tidak punya sandal, maka sandalku sisirangan jadi gantian dengan anakku. Setelah ayem bertemu dengan anak, maka aku pamit mau mencari isteriku.
“Bapak mah arek neangan Ema, maneh mah di dieu heula nya… bareng jeung batur” kataku padanya.
“Uhun Pa !” anakku menimpali।
Maka, pukul 17।30 WIB aku turun lagi dari pasir untuk mencari Emanya anak-anak, isteriku. Di bawah ketemu dengan Mang Sukir dan Bi Oyoh.
“Mang, sing eling, ulah ka lembur। Bahaya… Cai laut keur gegedena” kata Bi Oyoh memperingatkanku dan Mang Sukir, kebetulan Mang Sukir juga mau ke perkampungan, mungkin juga mau mencari sanak saudaranya.
“Bi oyoh, aing eling. Aing mah hayang nepi ka imah” jawab Mang Sukir dengan nada agak ketus.
Aku kembali lagi ke perkampungan lewat warungnya Diana। Air laut posisinya di atas tuur (dengkul). Dari warungnya Diana, aku menerobos menuju ke kidul, ke bengkel dan rumahku.
“Ass… bengkel geus euweuh… Imah Si Adam euweuh…” gumamku ketika melihat ternyata bengkel dan rumahku ludes di terpa gelombang itu. Aku berjalan ke sana ke mari. Kakiku kacugak paku, kemudian ti poros (terperosok) kana cucuk salak.
“Ceek…, ieu tembok siga balongna Si Cepong… Linglung euy!” lanjutku dalam hati।
Di situ kulihat ada wanita hamil, Bi Siti, yang naik ke pohon kelapa। Di situ juga ada yang katinggang pohon kelapa, Mang Jidi. Aku diberitahu Mang Ukus, bakul buah-buahan yang kebetulan sedang memanen sawoku. Dia, adalah saksi hidup yang tahu persis segala kejadian sebelum, ketika, dan sesudah tsunami di blok kampungku, terutama di RT 5, 4, 3, dan 2. Ketika itu, posisi dia sedang berada di atas pohon Sawo itu.
Kemudian maghrib aku balik dari lembur। Sebrut ke balai Desa Masawah bergabung dengan pengungsi lainnya. Kemudian subuh-subuh, saya dengan S Ono Halim, aku datang lagi ke Bulak benda.
Kulihat di depan dan sekitar rumahnya Mang Dili sampah-sampah menumpuk dengan sangat banyak। Padahal ketika maghrib sebelumnya aku sebelum kembali ke desa, kulihat masih caraang. Ini berarti benar kata beberapa saksi mata yang kebetulan nyangsang di pohon-pohon, bahwa sekitar jam sebelas malam dan jam satu dini hari terjadi lagi gelombang ke empat dan kelima. Artinya gelombang tsunami berlangsung sebanyak 3 kali.
Ass…. Bengkel geus euweuh….
Jam menunjukkan pukul 15।30 WIB sore hari. Waktu itu aku berada di rumahnya Sodikin, di situ kebetulan ada Solihin. Aku baru saja pulang dari ngala bonsai di Celing.
Aktifitas warga berjalan seperti biasanya। Roni sedang nambal sepeda motor di bengkel rumahku, Hadman, dan Ebeng sedang catur, sementara Gepeng dan Rudini sedang berjoged karaokean di rumahnya / warungnya Diana.
“Mang, Madasari kaurugan lambak !” kata Solihin memberi tahuku.
“Ulah kitu keh॥” jawabku dengan nada kurang percaya।
Waktu itu Madasari (kampung Bulak benda) baru saja dilanda oleh gelombang yang pertama।
“Kang, teh Lia teang, sakola geus ruag” kata Yani, adikku, kebetulan istriku juga baru pulang dari aktifitas di sawah dan baru saja ku jemput pakai motor।
Sepeda motor ditunda di warung Aki Syarif, dekat Injut। Waktu itu, air laut setinggi sebawahnya tuur. Di situ ada Herman, Harvey, dan Sule. Mereka sedang berusaha mengevakuasi warga. Anak-anak, orang tua, nenek-nenek, dan kakek-kakek.
Setelah motor kutitipkan di sana, aku langsung menuju ke timur dengan tujuan untuk melihat dan mengecek keadaan rumah। Namun hal tersebut belum bisa dilakukan karena kondisinya belum memungkinkan. Setibanya di Masjid RT 5, aku lari kembali lagi ke arah kulon sambil ngajingjing sandal, karena gelombang kedua menyusul dengan sangat dahsyatnya. Ketika sudah sampai motor kembali, maka motor kuselamatkan di lolojok gegenteng Hasbi (tempat sekolah darurat sekarang-red).
Setelah dirasa aman motor di situ, aku kembali lagi mau ke arah perkampungan, tetapi baru saja sampai di sekitar sekolah darurat, kunci motorku jatuh। Sementara air laut sudah secangkeng (sepinggang) Aku biarkan kunci itu terbawa arus, karena sulit untuk mencarinya.
Di situ aku bertemu dengan Aang, yang sedang berusaha mencari anak istrinya।
“Mang, nempo budak abdi, Si Arif ?” tanyanya padaku.
“Tadi lohor mah ka Jemblongan, ngala bonsai jeung kami.. Duka ari ayeuna mah” jawabku.
“Ang, aya pamajikan uing di tonggoh?” aku balik bertanya.
“Aya ari budak mah। Ari pamajikan maneh mah euweuh” jawab Aang sambil ngeloyor.
Kemudian, aku icikiprak, terus nekad ke pasir mencari anakku। Alhamdulillah anakku ada di sana. Aku tidak punya sandal, maka sandalku sisirangan jadi gantian dengan anakku. Setelah ayem bertemu dengan anak, maka aku pamit mau mencari isteriku.
“Bapak mah arek neangan Ema, maneh mah di dieu heula nya… bareng jeung batur” kataku padanya.
“Uhun Pa !” anakku menimpali।
Maka, pukul 17।30 WIB aku turun lagi dari pasir untuk mencari Emanya anak-anak, isteriku. Di bawah ketemu dengan Mang Sukir dan Bi Oyoh.
“Mang, sing eling, ulah ka lembur। Bahaya… Cai laut keur gegedena” kata Bi Oyoh memperingatkanku dan Mang Sukir, kebetulan Mang Sukir juga mau ke perkampungan, mungkin juga mau mencari sanak saudaranya.
“Bi oyoh, aing eling. Aing mah hayang nepi ka imah” jawab Mang Sukir dengan nada agak ketus.
Aku kembali lagi ke perkampungan lewat warungnya Diana। Air laut posisinya di atas tuur (dengkul). Dari warungnya Diana, aku menerobos menuju ke kidul, ke bengkel dan rumahku.
“Ass… bengkel geus euweuh… Imah Si Adam euweuh…” gumamku ketika melihat ternyata bengkel dan rumahku ludes di terpa gelombang itu. Aku berjalan ke sana ke mari. Kakiku kacugak paku, kemudian ti poros (terperosok) kana cucuk salak.
“Ceek…, ieu tembok siga balongna Si Cepong… Linglung euy!” lanjutku dalam hati।
Di situ kulihat ada wanita hamil, Bi Siti, yang naik ke pohon kelapa। Di situ juga ada yang katinggang pohon kelapa, Mang Jidi. Aku diberitahu Mang Ukus, bakul buah-buahan yang kebetulan sedang memanen sawoku. Dia, adalah saksi hidup yang tahu persis segala kejadian sebelum, ketika, dan sesudah tsunami di blok kampungku, terutama di RT 5, 4, 3, dan 2. Ketika itu, posisi dia sedang berada di atas pohon Sawo itu.
Kemudian maghrib aku balik dari lembur। Sebrut ke balai Desa Masawah bergabung dengan pengungsi lainnya. Kemudian subuh-subuh, saya dengan S Ono Halim, aku datang lagi ke Bulak benda.
Kulihat di depan dan sekitar rumahnya Mang Dili sampah-sampah menumpuk dengan sangat banyak। Padahal ketika maghrib sebelumnya aku sebelum kembali ke desa, kulihat masih caraang. Ini berarti benar kata beberapa saksi mata yang kebetulan nyangsang di pohon-pohon, bahwa sekitar jam sebelas malam dan jam satu dini hari terjadi lagi gelombang ke empat dan kelima. Artinya gelombang tsunami berlangsung sebanyak 3 kali.