Dari Tsunami ke Surga
Oleh
Viddy AD Daery
(Dari Sinar Harapan)
Korban-korban tsunami ramai-ramai digendong malaikat menuju surga, dan
setelah rasa "super jet-lag" mereka sudah reda, mereka disuruh memilih
istana-istana supermewah mereka sendiri, disambut bidadara-bidadari
tampan-jelita, ramah tamah, bikin mereka kikuk karena seumur-umur
hidup di negara kaya-raya, tapi tak pernah mereka rasakan nikmatnya,
karena kekayaan negara lebih banyak diangkut ke ibu kota negara, atau
ke kota-kota dunia tempat mukim para investor asing yang menjadi
begundal pejabat negara untuk memeras aneka tambang sampai hampir
ludes.
Hampir-hampir mereka lupa pada masalahnya, karena terlena oleh
fasilitas supermewah itu, jika tidak ada panggilan dari malaikat
koordinator:
"Apakah kalian tidak ingin melihat kota dan negeri kalian
pascatsunami? Jika ingin, maka segeralah berkumpul di aula besar!
Jangan terlambat!"
Maka berbondong-bondonglah korban tsunami itu menuju ruangan
superbesar dan sangat indah dan nyaman lengkap dengan segala
fasilitas, dan di dinding-dindingnya terpampang layar-layar tv raksasa
yang memperlihatkan tayangan-tayangan korban tsunami.
Kota yang dulunya indah kini remuk tak berbentuk, gedung-gedung
hancur, rumah-rumah rata menjadi sampah raksasa, dan ribuan mayat
bagaikan taburan bangkai akibat pembasmian massal (yaa… seperti kita
semua juga saksikan di layar-layar televisi dunialah).
"Lihat! Itu mayatku! Tertindih bangkai mobil!" teriak seseorang.
"Ya, ya… aku ingat, aku berlari di tengah air hitam yang makin
deras…
tiba-tiba aku merasa ditindih mobil yang terguling dan melibasku…
lalu
kami digulung air bah… lalu aku tak ingat apa-apa… dan aku
terbangun
justru telah dalam gendongan malaikat sudah hampir masuk gerbang surga
tanpa pemeriksaan hisab!" seru yang lain.
Seorang ibu-ibu berbaju mukena putih terus saja melihat layar-layar
itu sambil terus-menerus membaca ayat-ayat Alquran yang dihafalnya.
"Masya Allah… itu mayat-mayat orang-orang sedesaku… Cuma ditumpuk
begitu saja… lalu digaruk pakai traktor lantas dibuang ke sebuah
lubang besar… gilaa… waah, aku harus memberitahukan hal ini kepada
Said, Maskirbi, Nurgani Asyik… di mana mereka yaa… hmmm… ..ah,
pasti,
mereka juga tengah memelototi layar dan menyumpahi para serdadu yang
main garuk itu…gilaa…ini mengingatkan zaman DOM saja …"
Tiba-tiba terdengar suara malaikat yang melayang-layang di udara:
"Sudaah… sudaaah… tak usah disesali lagi apa pun yang terjadi
karena
memang semua kehidupan ini berada dalam surat takdir Allah SWT…
apakah
kalian menyesal dengan adanya tsunami? Apakah kalian tidak puas dengan
kenyataan dan kehidupan kalian sekarang di surga?"
"Insya Allah, kami puaassss, yaa malaikaaat…" seru orang-orang dengan
takzim.
"Mau melihat lagi negeri kalian sebelum tsunami? Nah lihat lagi layar
televisi," kata malaikat.
Dan terpampanglah gambar-gambar yang kita lihat sehari-hari di sekitar
rumah kita, atau malahan mungkin rumah kita sendiri… rumah-rumah yang
sumpek, reyot, halaman becek dan bau, tergenang air dan lumpur, tikus
dan ayam berebut makanan, sampah menumpuk di mana-mana. Aspal di ujung
gang juga becek dan berlubang-lubang, dan angkot-angkot berseliweran
saling senggol, dan sopirnya saling maki… di perempatan jalan tampak
polisi acuh tak acuh, dan di ujung perempatan, para preman justru
petentang-petenteng memalak angkot-angkot yang melintas dan sesekali
juga kepada pejalan kaki. Ya, saya kira persis yang kita lihat
sehari-harilah.
"Sebetulnya… negeri kami juga diberi Allah kekayaan, ya malaikat…
dan
kami berusaha bersyukur untuk itu, tapi kami belum pernah merasakan
nikmatnya sedikit pun, jangankan rumah mewah, rumah sederhana kami pun
selalu bocor di kala hujan, kena debu di kala kemarau… ..dan… kami
selalu takut di akhir bulan ditunggu aparat pajak, listrik, telepon,
ini-itu…belum lagi kerusuhan dan pertikaian antarserdadu
kelompok-kelompok yang bertikai…pokoknya kami tak pernah merasa
tenteram di negeri kami sendiri…"
"Ya, ya, ya… nah, apakah kalian ingin tahu ke mana uang-uang kekayaan
kalian dibawa para maling itu? Lihat layar televisi lagi!"
Dan terpampanglah sebuah "features" perjalanan uang, dari
tambang-tambang yang digaruk, lalu dijual ke perusahaan-perusahaan
multinasional, lalu uangnya "dimainin" dulu, sebagian kecil disetor ke
negara, sedangkan 99%-nya dibagi-bagi ke kantong para pejabat dan para
eksekutif perusahaan tambang.
Lalu para pejabat itu membeli tanah berhektare-hektare dan di atasnya
dibangun istana megah lengkap dengan lapangan luas, diapit kolam
renang, ruang makan, musala dan…ya…seperti yang kita lihat di
kompleks-kompleks pejabat perusahaan negaralah… dan kini hampir
setara
dengan istana yang kini diberikan Allah kepada rakyat korban tsunami
itu.
"Nah, sekarang aku mau tanya, para pejabat dan pemimpin itu sudah
berkali-kali menipu kalian, sudah ratusan kali mengkhianati kalian,
kok kalian masih saja memilih mereka menjadi pemimpin kalian dalam
setiap pemilu?"
Semua terdiam.
"Sebaliknya, para pemimpin yang mempunyai komitmen kuat hendak
menyelamatkan kalian dari bencana, malah kalian caci-maki, kalian
fitnah, bahkan nyaris kalian bunuh…''
Orang-orang itu semakin tertunduk malu.
"Sekarang, di surga memang tidak ada hukuman, tapi aku mau kalian
mendengar dan menyaksikan seorang bidadari membaca puisi bagus yang
bisa kalian renungkan untuk mengalkulasi kebodohan-kebodohan kalian."
Dan tampillah seorang bidadari jelita, yang kulitnya putih bersih
bagaikan susu, sedang susunya sendiri tampak besar dan mantap, sangat
mempesona, dengan tenang dan percaya diri serta berwibawa berkata:
"Ini aku akan bacakan puisi karya penyair yang disia-siakan di negeri
kalian sendiri, dicemooh di koran-koran maupun di forum-forum seniman,
karena memang negeri kalian negeri terkutuk, di sana umumnya para
penyair hanya memuja-muja sastrawan yang menulis puisi seks, atau
mengenai orang gila, atau bahkan cuma mengenai celana dalam, sarung
dan bahkan tak jarang membuang waktu bicara tiga hari tiga malam
mengenai "nonsense", yaitu suatu absurdisme yang sia-sia dan tak
memberi kepositifan apapun untuk kehidupan. Tapi kalian sangat memuja
hal-hal seperti itu. Kalian bilang; ''memberi sesuatu yang sia-sia…
memberi arti sesuatu yang kelak retak…'' Kalian memang pintar bicara,
tapi kelemahan kalian adalah salah atau tidak, kalian suka ngotot
minta dianggap paling benar..''
"Memang terkadang penyair yang kalian puja juga menulis mengenai
penderitaan, tetapi ironisnya yang ditulis adalah penderitaan bangsa
lain, seperti penderitaan Frida Kahlo atau Erendira dari Amerika
Latin, seakan-akan di sekeliling kalian tidak ada orang menderita yang
bisa ditulis, nyatanya tetangga sebelah rumah kalian sendiri makan
saja susah kan? Kalau menulis mengenai bangsa yang terjajah adalah
menulis mengenai Bahama atau bangsa kepulauan-kepulauan Hibrida,
padahal bangsa kalian sampai kini dijajah dan ditindas oleh para
pemimpin kalian sendiri…''
"Nah, sekarang kalian dengarkan karya emas penyair yang kalian
sia-siakan ini. Penyair ini justru dihargai di luar negeri, di
Australia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan sebagainya,
bahkan puisi-puisi penyair ini dimuat di berbagai situs website puisi
dunia… nah coba kalian dengarkan."
Ulang tahun kebodohan
Kami selalu bernyanyi-nyanyi menyanyikan kebodohan kami
Kami selalu bertepuk tangan berirama, melagukan kemiskinan kami
Kami selalu menari dan berdansa merayakan masa depan suram kami
Selamat ulang tahun, selamat panjang umur
Wahai masa depan bangsa yang kabur
Kamilah bangsa keledai
Yang selalu jatuh ke lubang yang sama
Berkali-kali, berjuta-juta kali
Tapi entah kenapa
Tak sadar-sadar juga
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang benar
Jangan biarkan kami bagai domba-domba yang kesasar
Selesai membaca puisi, bidadari itu langsung melayang tinggi lalu
hilang. Tapi tak ada tepuk tangan, semua diam… hening… dan
tiba-tiba
satu per satu mereka mulai menangis mengguguk dan akhirnya pecahlah
tangis yang riuh rendah, memenuhi aula besar hingga suaranya bagaikan
koor jerit yang menyayat hati, menyesali kehidupan negeri mereka yang
bodoh dan biadab.
Dan air mata itu terus menggenang dan mengalir menuju ke selokan
surga, terus menuju pembuangan dan akhirnya dibuang menjadi hujan
deras yang turun ke bumi, menjadi hujan yang terasa aneh di bumi,
karena hujan ini membawa hawa dingin yang menyayat, dan jika turunnya
malam hari, hujan itu menyebarkan gairah bertobat kepada insan-insan
yang suka bangun dan salat malam.
Hujan itu membuat insan-insan itu juga ikut menangis, menangisi
negerinya yang tak kunjung sembuh dari kebodohan dan kemalangan yang
terus-menerus berlangsung hampir setiap hari.
Bahkan, wartawan media massa hampir tak pernah "mencari-cari atau
membuat" berita, karena berita telah datang sendiri, dan setiap berita
musibah amat layak tampil di halaman satu atau headlines.
Malahan, amat sangat sering juga satu hari terdapat lima puluh jenis
musibah sekaligus, sehingga ada harian Koran KREATIF yang sangat
kreatif, dengan memperpanjang ukuran halaman satunya hingga lima
meter, karena saking banyaknya berita musibah.
Musibah itu tentu bukan hanya musibah bencana alam, tetapi juga
musibah tahun ajaran baru, musibah liburan, musibah belanja, musibah
beras, musibah listrik, musibah BBM, musibah agama, bahkan hiburan pun
menjadi musibah, karena hiburan yang ada hampir 99,9% berupa hiburan
yang merusak moral bangsa.
Bahkan, sebuah malam amal "peduli musibah bangsa" pun menjadi musibah
bangsa juga, karena pada malam amal itu semua jenis pertunjukan
diwajibkan yang berjenis maksiat, karena budayawan yang menjadi
promotor malam amal itu berpendapat bahwa "tak semua musibah harus
ditangisi, ada kalanya musibah juga harus dirayakan."
Di surga sana, malaikat sudah membocorkan rahasia kepada korban-korban
tsunami yang sedang menangis dua hari dua malam itu:
"Heii, kuberi tahu yaa… tsunami itu bukan apa-apa, belum seberapa…
lihat saja… bangsamu masih saja banyak yang bermaksiat kok meski
tsunami bagi kaumku, kaum malaikat… sudah merupakan musibah yang amat
mengerikan…lihat saja…Allah sudah mulai menugasi kami menyiapkan
superbencana yang pernah membuat kami menangis setahun penuh… saking
beratnya kami melaksanakan tugas bencana itu…yaitu…KIAMAT
KUBRO….huaaaaawwww…huaawwwww….." Malaikat pun menangis sendiri
dengan
suara yang mengguntur dan seluruh tubuhnya bergetar hebat...
Seorang penyair di bumi mendengar suara tangis itu
mengguntur-menggeledek di sore hari yang mendung pekat tanggal 19
Januari 2005. Kini penyair itu menunggu…hitungan malaikat "SEGERA"
itu
apakah sehari lagi, sebulan lagi, setahun lagi atau seratus tahun
lagi???? Wallahua'lam bissawab.
Raya Ulujami, 19 Januari 2005
Viddy AD Daery
(Dari Sinar Harapan)
Korban-korban tsunami ramai-ramai digendong malaikat menuju surga, dan
setelah rasa "super jet-lag" mereka sudah reda, mereka disuruh memilih
istana-istana supermewah mereka sendiri, disambut bidadara-bidadari
tampan-jelita, ramah tamah, bikin mereka kikuk karena seumur-umur
hidup di negara kaya-raya, tapi tak pernah mereka rasakan nikmatnya,
karena kekayaan negara lebih banyak diangkut ke ibu kota negara, atau
ke kota-kota dunia tempat mukim para investor asing yang menjadi
begundal pejabat negara untuk memeras aneka tambang sampai hampir
ludes.
Hampir-hampir mereka lupa pada masalahnya, karena terlena oleh
fasilitas supermewah itu, jika tidak ada panggilan dari malaikat
koordinator:
"Apakah kalian tidak ingin melihat kota dan negeri kalian
pascatsunami? Jika ingin, maka segeralah berkumpul di aula besar!
Jangan terlambat!"
Maka berbondong-bondonglah korban tsunami itu menuju ruangan
superbesar dan sangat indah dan nyaman lengkap dengan segala
fasilitas, dan di dinding-dindingnya terpampang layar-layar tv raksasa
yang memperlihatkan tayangan-tayangan korban tsunami.
Kota yang dulunya indah kini remuk tak berbentuk, gedung-gedung
hancur, rumah-rumah rata menjadi sampah raksasa, dan ribuan mayat
bagaikan taburan bangkai akibat pembasmian massal (yaa… seperti kita
semua juga saksikan di layar-layar televisi dunialah).
"Lihat! Itu mayatku! Tertindih bangkai mobil!" teriak seseorang.
"Ya, ya… aku ingat, aku berlari di tengah air hitam yang makin
deras…
tiba-tiba aku merasa ditindih mobil yang terguling dan melibasku…
lalu
kami digulung air bah… lalu aku tak ingat apa-apa… dan aku
terbangun
justru telah dalam gendongan malaikat sudah hampir masuk gerbang surga
tanpa pemeriksaan hisab!" seru yang lain.
Seorang ibu-ibu berbaju mukena putih terus saja melihat layar-layar
itu sambil terus-menerus membaca ayat-ayat Alquran yang dihafalnya.
"Masya Allah… itu mayat-mayat orang-orang sedesaku… Cuma ditumpuk
begitu saja… lalu digaruk pakai traktor lantas dibuang ke sebuah
lubang besar… gilaa… waah, aku harus memberitahukan hal ini kepada
Said, Maskirbi, Nurgani Asyik… di mana mereka yaa… hmmm… ..ah,
pasti,
mereka juga tengah memelototi layar dan menyumpahi para serdadu yang
main garuk itu…gilaa…ini mengingatkan zaman DOM saja …"
Tiba-tiba terdengar suara malaikat yang melayang-layang di udara:
"Sudaah… sudaaah… tak usah disesali lagi apa pun yang terjadi
karena
memang semua kehidupan ini berada dalam surat takdir Allah SWT…
apakah
kalian menyesal dengan adanya tsunami? Apakah kalian tidak puas dengan
kenyataan dan kehidupan kalian sekarang di surga?"
"Insya Allah, kami puaassss, yaa malaikaaat…" seru orang-orang dengan
takzim.
"Mau melihat lagi negeri kalian sebelum tsunami? Nah lihat lagi layar
televisi," kata malaikat.
Dan terpampanglah gambar-gambar yang kita lihat sehari-hari di sekitar
rumah kita, atau malahan mungkin rumah kita sendiri… rumah-rumah yang
sumpek, reyot, halaman becek dan bau, tergenang air dan lumpur, tikus
dan ayam berebut makanan, sampah menumpuk di mana-mana. Aspal di ujung
gang juga becek dan berlubang-lubang, dan angkot-angkot berseliweran
saling senggol, dan sopirnya saling maki… di perempatan jalan tampak
polisi acuh tak acuh, dan di ujung perempatan, para preman justru
petentang-petenteng memalak angkot-angkot yang melintas dan sesekali
juga kepada pejalan kaki. Ya, saya kira persis yang kita lihat
sehari-harilah.
"Sebetulnya… negeri kami juga diberi Allah kekayaan, ya malaikat…
dan
kami berusaha bersyukur untuk itu, tapi kami belum pernah merasakan
nikmatnya sedikit pun, jangankan rumah mewah, rumah sederhana kami pun
selalu bocor di kala hujan, kena debu di kala kemarau… ..dan… kami
selalu takut di akhir bulan ditunggu aparat pajak, listrik, telepon,
ini-itu…belum lagi kerusuhan dan pertikaian antarserdadu
kelompok-kelompok yang bertikai…pokoknya kami tak pernah merasa
tenteram di negeri kami sendiri…"
"Ya, ya, ya… nah, apakah kalian ingin tahu ke mana uang-uang kekayaan
kalian dibawa para maling itu? Lihat layar televisi lagi!"
Dan terpampanglah sebuah "features" perjalanan uang, dari
tambang-tambang yang digaruk, lalu dijual ke perusahaan-perusahaan
multinasional, lalu uangnya "dimainin" dulu, sebagian kecil disetor ke
negara, sedangkan 99%-nya dibagi-bagi ke kantong para pejabat dan para
eksekutif perusahaan tambang.
Lalu para pejabat itu membeli tanah berhektare-hektare dan di atasnya
dibangun istana megah lengkap dengan lapangan luas, diapit kolam
renang, ruang makan, musala dan…ya…seperti yang kita lihat di
kompleks-kompleks pejabat perusahaan negaralah… dan kini hampir
setara
dengan istana yang kini diberikan Allah kepada rakyat korban tsunami
itu.
"Nah, sekarang aku mau tanya, para pejabat dan pemimpin itu sudah
berkali-kali menipu kalian, sudah ratusan kali mengkhianati kalian,
kok kalian masih saja memilih mereka menjadi pemimpin kalian dalam
setiap pemilu?"
Semua terdiam.
"Sebaliknya, para pemimpin yang mempunyai komitmen kuat hendak
menyelamatkan kalian dari bencana, malah kalian caci-maki, kalian
fitnah, bahkan nyaris kalian bunuh…''
Orang-orang itu semakin tertunduk malu.
"Sekarang, di surga memang tidak ada hukuman, tapi aku mau kalian
mendengar dan menyaksikan seorang bidadari membaca puisi bagus yang
bisa kalian renungkan untuk mengalkulasi kebodohan-kebodohan kalian."
Dan tampillah seorang bidadari jelita, yang kulitnya putih bersih
bagaikan susu, sedang susunya sendiri tampak besar dan mantap, sangat
mempesona, dengan tenang dan percaya diri serta berwibawa berkata:
"Ini aku akan bacakan puisi karya penyair yang disia-siakan di negeri
kalian sendiri, dicemooh di koran-koran maupun di forum-forum seniman,
karena memang negeri kalian negeri terkutuk, di sana umumnya para
penyair hanya memuja-muja sastrawan yang menulis puisi seks, atau
mengenai orang gila, atau bahkan cuma mengenai celana dalam, sarung
dan bahkan tak jarang membuang waktu bicara tiga hari tiga malam
mengenai "nonsense", yaitu suatu absurdisme yang sia-sia dan tak
memberi kepositifan apapun untuk kehidupan. Tapi kalian sangat memuja
hal-hal seperti itu. Kalian bilang; ''memberi sesuatu yang sia-sia…
memberi arti sesuatu yang kelak retak…'' Kalian memang pintar bicara,
tapi kelemahan kalian adalah salah atau tidak, kalian suka ngotot
minta dianggap paling benar..''
"Memang terkadang penyair yang kalian puja juga menulis mengenai
penderitaan, tetapi ironisnya yang ditulis adalah penderitaan bangsa
lain, seperti penderitaan Frida Kahlo atau Erendira dari Amerika
Latin, seakan-akan di sekeliling kalian tidak ada orang menderita yang
bisa ditulis, nyatanya tetangga sebelah rumah kalian sendiri makan
saja susah kan? Kalau menulis mengenai bangsa yang terjajah adalah
menulis mengenai Bahama atau bangsa kepulauan-kepulauan Hibrida,
padahal bangsa kalian sampai kini dijajah dan ditindas oleh para
pemimpin kalian sendiri…''
"Nah, sekarang kalian dengarkan karya emas penyair yang kalian
sia-siakan ini. Penyair ini justru dihargai di luar negeri, di
Australia, Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan sebagainya,
bahkan puisi-puisi penyair ini dimuat di berbagai situs website puisi
dunia… nah coba kalian dengarkan."
Ulang tahun kebodohan
Kami selalu bernyanyi-nyanyi menyanyikan kebodohan kami
Kami selalu bertepuk tangan berirama, melagukan kemiskinan kami
Kami selalu menari dan berdansa merayakan masa depan suram kami
Selamat ulang tahun, selamat panjang umur
Wahai masa depan bangsa yang kabur
Kamilah bangsa keledai
Yang selalu jatuh ke lubang yang sama
Berkali-kali, berjuta-juta kali
Tapi entah kenapa
Tak sadar-sadar juga
Ya Allah tunjukilah kami jalan yang benar
Jangan biarkan kami bagai domba-domba yang kesasar
Selesai membaca puisi, bidadari itu langsung melayang tinggi lalu
hilang. Tapi tak ada tepuk tangan, semua diam… hening… dan
tiba-tiba
satu per satu mereka mulai menangis mengguguk dan akhirnya pecahlah
tangis yang riuh rendah, memenuhi aula besar hingga suaranya bagaikan
koor jerit yang menyayat hati, menyesali kehidupan negeri mereka yang
bodoh dan biadab.
Dan air mata itu terus menggenang dan mengalir menuju ke selokan
surga, terus menuju pembuangan dan akhirnya dibuang menjadi hujan
deras yang turun ke bumi, menjadi hujan yang terasa aneh di bumi,
karena hujan ini membawa hawa dingin yang menyayat, dan jika turunnya
malam hari, hujan itu menyebarkan gairah bertobat kepada insan-insan
yang suka bangun dan salat malam.
Hujan itu membuat insan-insan itu juga ikut menangis, menangisi
negerinya yang tak kunjung sembuh dari kebodohan dan kemalangan yang
terus-menerus berlangsung hampir setiap hari.
Bahkan, wartawan media massa hampir tak pernah "mencari-cari atau
membuat" berita, karena berita telah datang sendiri, dan setiap berita
musibah amat layak tampil di halaman satu atau headlines.
Malahan, amat sangat sering juga satu hari terdapat lima puluh jenis
musibah sekaligus, sehingga ada harian Koran KREATIF yang sangat
kreatif, dengan memperpanjang ukuran halaman satunya hingga lima
meter, karena saking banyaknya berita musibah.
Musibah itu tentu bukan hanya musibah bencana alam, tetapi juga
musibah tahun ajaran baru, musibah liburan, musibah belanja, musibah
beras, musibah listrik, musibah BBM, musibah agama, bahkan hiburan pun
menjadi musibah, karena hiburan yang ada hampir 99,9% berupa hiburan
yang merusak moral bangsa.
Bahkan, sebuah malam amal "peduli musibah bangsa" pun menjadi musibah
bangsa juga, karena pada malam amal itu semua jenis pertunjukan
diwajibkan yang berjenis maksiat, karena budayawan yang menjadi
promotor malam amal itu berpendapat bahwa "tak semua musibah harus
ditangisi, ada kalanya musibah juga harus dirayakan."
Di surga sana, malaikat sudah membocorkan rahasia kepada korban-korban
tsunami yang sedang menangis dua hari dua malam itu:
"Heii, kuberi tahu yaa… tsunami itu bukan apa-apa, belum seberapa…
lihat saja… bangsamu masih saja banyak yang bermaksiat kok meski
tsunami bagi kaumku, kaum malaikat… sudah merupakan musibah yang amat
mengerikan…lihat saja…Allah sudah mulai menugasi kami menyiapkan
superbencana yang pernah membuat kami menangis setahun penuh… saking
beratnya kami melaksanakan tugas bencana itu…yaitu…KIAMAT
KUBRO….huaaaaawwww…huaawwwww….." Malaikat pun menangis sendiri
dengan
suara yang mengguntur dan seluruh tubuhnya bergetar hebat...
Seorang penyair di bumi mendengar suara tangis itu
mengguntur-menggeledek di sore hari yang mendung pekat tanggal 19
Januari 2005. Kini penyair itu menunggu…hitungan malaikat "SEGERA"
itu
apakah sehari lagi, sebulan lagi, setahun lagi atau seratus tahun
lagi???? Wallahua'lam bissawab.
Raya Ulujami, 19 Januari 2005
Label:
Cerita pendek
No Response to "Dari Tsunami ke Surga"
Posting Komentar