Bersahabat dengan Bencana
TIM peneliti Geologi UGM melaporkan, daerah sepanjang Kecamatan Bambanglipuro dan Pleret Kabupaten Bantul dinyatakan sebagai daerah lintasan patahan kerak bumi sehingga rawan gempa bumi. Tentu cukup bijaksana apa yang disampaikan tim peneliti dan temuannya tersebut.
Mumpung masih hangat dengan suasana rekonstruksi dan rehabilitasi pasca-gempa 27 Mei 2006, hasil temuan tadi seharusnya lebih membumi dan lebih sederhana untuk disosialisasikan. Karena tidak terlalu sulit untuk memberikan contoh-contoh yang terkait dengan temuan tadi. Misalnya, di lapangan perlu ada marking yang ditunjukkan dengan bahasa awam bahwa titik atau lokasi tertentu di daerah tersebut merupakan jalur patahan. Karena tidak keseluruhan wilayah di 2 kecamatan tadi memiliki tingkat kerentanan yang sama terhadap bahaya gempa
bumi. Atau setidaknya dalam proses rekonstruksi dan perizinan pembangunan kembali rumah/infrastruktur pada jalur lintasan ini benar-benar memperhatikan kode bangunan (building code) sebagaimana yang disyaratkan. Lebih jauh lagi, seharusnya akses untuk mendapatkan informasi mengenai hal ini mudah bagi siapa saja termasuk masyarakat bawah sekalipun.
Dari sudut pandang kebencanaan khususnya bencana alam, secara umum wilayah DIY tidak hanya diancam gempa bumi. Wilayah ini termasuk multi-potensi bencana alam yaitu: gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, badai, dan tsunami. Selama dua dekade terakhir, setidaknya secara silih berganti bencana-bencana tadi datang menerpa wilayah DIY. Dari wilayah utara bencana datang akibat dari letusan Gunung Merapi (di samping bahaya lahar panas juga bisa membangkitkan gempa vulkanis yang merusak). Pernah banjir akibat luapan Sungai Gajah Wong dan Sungai Code yang melintasi Kota Yogyakarta. Gempa bumi yang meluluhlantakkan sebagian wilayah DIY, khususnya Bantul tahun 2006 lalu masih hangat dalam ingatan. Bencana tanah longsor dapat terjadi pada beberapa spot area pada musim hujan. Yang terakhir angin puting beliung atau lesus yang terjadi minggu lalu. Ditambah lagi bencana badai yang datang secara periodik setiap tahun di wilayah pesisir selatan Yogyakarta, serta tsunami yang melanda wilayah selatan DIY yang disebabkan gempa dasar Laut Selatan Ciamis 17 Juli 2006 lalu.
Khusus yang terakhir, tsunami, PPGL (Pusat Pengembangan Geologi Kelautan) memasukkan wilayah selatan Yogya ke dalam kategori risiko tsunami sedang. Tingkatan risiko ini merujuk pada pantai-pantai yang pernah mengalami hantaman tsunami yang merusak dengan ketinggian gelombang antara 2 sampai 6 m, letak episenter agak jauh dari pantai, dan dengan ciri yang memiliki morfologi pantai memajang tanpa lekukan (teluk). Hampir semua pantai di DIY rawan terhadap tsunami, kecuali wilayah dengan morfologi bertebing terjal. Setidaknya ada 5 kejadian tsunami yang tercatat pernah melanda Pantai Selatan antara Cilacap hingga Pacitan antara tahun 1840 hingga 2006. Seyogyanya ada upaya nyata dari semua (stakeholders) untuk memasyarakatkan hasil temuan-temuan riset ini agar tidak kehilangan momentum. Kenapa perlu disosialisasikan secara terus menerus, tidak berhenti sebatas peringatan atau warning?
Sudah diketahui bersama, secara umum masyarakat kita suka menggampangkan persoalan dan juga termasuk lemah ingatan akan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Di samping itu masyarakat kita termasuk miskin catatan detail suatu kejadian dan boleh dikatakan abai terhadap pelajaran masa lampau. Dikhawatirkan, tanpa upaya yang serius, masyarakat akan mengatakan gempa paling-paling akan datang setengah abad lagi. Ben sesuk wae le mikir. Padahal potensi ancaman boleh datang setiap saat.
Pola pikir ini berbahaya dan setidaknya dijumpai penulis ketika terlibat dalam program penataan wilayah Aceh pasca tsunami, khususnya wilayah Pantai Barat Aceh di Meulaboh. Baru kira-kira 1,5 tahun dari kejadian, di wilayah pesisir yang termasuk paling parah dihantam tsunami 26 Desember 2004, masyarakat sudah kembali membangun rumah-rumah pada zona kurang dari 100 meter dari garis pantai. Padahal dalam cetak biru yang diatur oleh pemerintah yang sudah melalui pengkajian mendalam dan melibatkan banyak pihak yang kompeten, daerah tersebut merupakan zona penyangga (buffer zone) terhadap bahaya tsunami dan tidak diizinkan adanya bangunan pemukiman. Siapa yang salah dalam hal ini? Tidak sepenuhnya warga masyarakat bisa dipersalahkan karena sebagian rumah tersebut juga ternyata dibangun atas biaya pemerintah dan LSM. Yang penting adalah, upaya sosialisasi, pemahaman dan penanaman nilai akan upaya mitigasi bencana alam harus terus dilakukan, bukan hanya sesaat setelah kejadian.
Makna apa yang dapat kita tarik dari bencana alam yang selalu hadir di tengah-tengah kita ini dan pelajaran apa yang bisa kita ambil dan kita wariskan kepada generasi yang akan datang agar tetap survive di daerah memang wilayah rawan bencana alam?
Kita sepakat, satu-satunya jalan mensyukuri dan ‘menikmati’ alam yang sudah given ini adalah mengakrabi kondisi alam. Akrab atau bersahabat dengan alam misalnya, sejauh mana kita memahami hubungan antara fenomena banjir atau tsunami dengan perencanaan rumah kita? Seyogyanya kita yang bertempat tinggal di daerah rawan tsunami atau rawan banjir, misalnya yang menempati daerah hilir sungai atau dekat/di bantaran sungai lebih memilih konstruksi rumah panggung ketimbang model konvensional rumah satu lantai. Rumah panggung (dengan bagian bawah kosong yang memungkinkan air lewat) merupakan salah satu solusi sederhana dalam upaya mitigasi bencana yang diakibatkan oleh air (banjir dan tsunami).
Dalam konteks mengakrabkan diri inilah maka hasil temuan ini seyogyanya tidak hanya menjadi dokumen terserak yang hanya menumpuk di rak-rak atau laboratorium lembaga penelitian. Harus ada tindak lanjut dan kepada pihak yang lebih berwenang (Pemda atau DPRD?) mau memanfaatkan hasil-hasil kajian ini. Caranya bisa dengan menjadikan hasil-hasil temuan/riset ini untuk diolah menjadi muatan lokal yang diajarkan di sekolah-sekolah bahkan sejak prasekolah. Saya yakin kalangan akademisi (tidak hanya di UGM tentunya) ataupun peneliti akan dengan senang hati memberikan kontribusinya tentang hal ini apabila diperlukan, baik diminta ataupun tidak.
Memberikan pemahaman komprehensif terhadap fenomena alam kepada setiap insan sejak dini merupakan upaya mitigasi bencana alam yang murah meriah dan juga ikut mencerdaskan masyarakat yang lebih terdidik dan beradab sebagai ciri khas warga
***
Sumber :
http://indocentris.com/web/index.php?id=273.
Diakses selasa, 16 September 2008
No Response to "Bersahabat dengan Bencana"
Posting Komentar