SILAT SUNDA - Rujukan
To: kisunda@yahoogroups .com; sws-stttelkom@ yahoogroups. com
Sent: Saturday, September 13, 2008 3:10:24 PM
Subject: Re: [kisunda] SILAT SUNDA - Rujukan
Sahbandar
Maenpo Sahbandar akan sedikit saya uraikan dari segi usik lahir, sedangkan untuk usik bathin sepertinya Kisawung lebih tepat. Walaupun begitu, saya sangat membutuhkan informasi-informasi lainnya mengenai Mama Kosim dan Sahbandar, jujur saja... informasi yang saya miliki mengenai Sahbandar cukup terbatas.
Sejarah
Maenpo Sahbandar (Syahbandar/ Sabandar) pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad Kosim (lebih dikenal sebagai Mama Kosim, Mama adalah panggilan hormat untuk ulama besar atau guru besar. (bahasa sunda - Red)). Seperti juga tokoh dari aliran lainnya, asal dari Mama Kosim sendiri dan Maenpo yang diajarkan memiliki banyak versi. Meskipun begitu, semua versi menyebutkan bahwa beliau adalah keturunan keluarga terkemuka dari Sumatra Barat, cuma masih dipertentangkan apakah berasal dari Solok, pesisir Padang, Pagaruyung atau Bukit Tinggi.
Disamping itu tentu saja banyak pertanyaan mengenai asal dari Maenpo yang diajarkan oleh Mama Kosim. Ini berkaitan perbedaan jumlah jurus dari beberapa pewaris Maenpo aliran Sahbandar ini, pendapat ini akhirnya sampai pada kesimpulan tentang kemurnian Maenpo yang diajarkan oleh Mama Kosim didasarkan kepada aliran asalnya.
Tetapi, kali ini saya tidak akan menuliskan versi-versi cerita yang beredar mengenai Mama Kosim, tetapi akan langsung menuliskan apa yang sering diceritakan di lingkungan keluarga kami secara turun temurun.
Keberadaan Mama Kosim mulai ramai diperbincangkan ketika secara tidak sengaja salah satu murid dari Maenpo Cikalong menjadi muridnya. Saat itu diceritakan bahwa Mama Kosim tinggal di Kampung Sahbandar – Karang Tengah – Cianjur dan beliau merupakan santri dari Ajengan Cirata. Beliau belajar Tarekat Nasbandaqiyah di bawah bimbingan Ajengan Cirata. Sejak diangkatnya menjadi murid salah seorang murid Maenpo Cikalong oleh Mama Kosim, dan juga sejak pertemuan Mama Kosim dengan Rd. H. Ibrahim, nama Mama Kosim mulai dikenal secara luas di kalangan bangsawan-bangsawan Sunda dan santri-santri di daerah Jawa Barat. Mulai saat itulah orang-orang mengenal apa yang dinamakan sebagai Maenpo Sahbandar dan mulai saat itu juga cukup banyak yang berguru ke Mama Kosim, termasuk santri-santri di pesantrennya Ajengan Cirata, bahkan Ajengan Cirata sendiri merupakan murid Maenpo nya Mama Kosim. Meskipun begitu, latihannya sendiri saat itu masih tertutup untuk umum. Jadi hanya murid-murid dari Maenpo Cikalong dan kalangan santri dari Pesantren Ajengan Cirata. (Catatan: Ajengan adalah bahasa Sunda yang harfiahnya hampir sama seperti Gus di Jawa Tengah atau Timur).
Mama Kosim sendiri digambarkan sebagai orang yang sangat teguh pendirian, sabar dan lembut. Keteguhan hatinya digambarkan ketika beliau mengikuti kepindahan Ajengan Cirata ke Sindang Kasih di Purwakarta. Kesabaran dan kelembutannya bisa dilihat dari Maenpo yang diajarkannya. Setelah istrinya meninggal di Sindang Kasih, Mama Kosim memutuskan untuk pindah dan menetap di Wanayasa. Wanayasa terletak masih di daerah Purwakarta. Alasan kepindahannya bukan hanya karena kesedihan ditinggal istri, tetapi juga tujuan dakwah. Saat itu Wanayasa dikenal sebagai kota baru yang dinamis. Mama Kosim mengajar ilmu agama di Mesjid Agung Wanayasa dan juga mengembangkan lebih jauh Maenponya di sana. Di kota kecil ini juga beliau menikah kembali dengan kerabat Menak dari Cianjur (Menak = bangsawan), ini semakin mempererat hubungan antara Mama Kosim dan keluarga besar Maenpo Cikalong. Beliau mengajar ilmu agama dan Maenpo Sahbandar di Wanayasa sampai meninggal di tahun 1880.
Pengaruh Ajengan Cirata.
Salah satu sebab keberagaman (perbedaan jumlah jurus) dari Sahbandar menurut para sesepuh adalah pengaruh dari Ajengan Cirata. Karena itulah ada kepercayaan, Sahbandar dengan jumlah jurus yang banyak (Jurus 21 seperti Devnull, Jurus 25 di Sukabumi) adalah Sahbandar yang diajarkan khusus untuk Santri-santri, dengan tujuan... meskipun jumlah jurus banyak... tetapi lebih mudah dimengerti. Sedangkan Sahbandar dengan jurus yang sedikit (Jurus Lima seperti yang dipelajari Kisawung, Jurus Tujuh seperti yang diajarkan Mama Musthofa di Gobras – Tasikmalaya, Jurus Sebelas di daerah Garut) dipercaya sebagai jurus-jurus awal (Jurus Lima dan Jurus Tujuh) dan jurus akhir (Jurus Sebelas). Jurus awal maksudnya adalah jurus ketika pertama dikenalnya Mama Kosim, sehingga yang menguasai jurus ini kebanyakan dari kalangan Maenpo Cikalong (meskipun begitu cukup banyak juga komunitas Maenpo Cikalong yang menguasai jurus dengan jumlah banyak). Dan jurus akhir adalah jurus yang diajarkan ketika beliau mau meninggalkan Sindang Kasih dan menetap di Wanayasa. Perlu untuk dicatat: Jurus 21, Jurus Lima, Jurus Tujuh dan Jurus Sebelas mengandung makna filosofis. InsyaAllah saya mengundang Kisawung untuk menjelaskannya.
Penelusuran Pak Rais (Bpk. Adung Rais)
Pak Rais pernah melakukan suatu penelusuran kecil ke daerah Pagaruyung dan Solok, dengan tujuan melacak asal dari Maenpo Sahbandar. Ternyata, bentuk-bentuk jurus yang sekarang diajarkan di sana dan diduga sebagai asal Maenpo Sahbandar sudah berbeda sekali dengan Maenpo Sahbandar yang diajarkan di daerah Jawa Barat. Ini mungkin disebabkan karena Mama Kosim sendiri terus mengembangkan Maenpo nya, dipengaruhi oleh Tarekat Nasbandaqiyah, dan juga persahabatannya dengan tokoh-tokoh silat di Betawi dan tanah Pasundan saat itu (Mama Kosim bersahabat sangat akrab dengan Bang Madi, Bang Kari dan Rd. H. Ibrahim. Kisawung juga pernah menyebutkan bahwa Mama Kosim mempunyai hubungan yang erat dengan Abah Khaer). Pengembangan Maenpo nya inilah yang menyebabkan Mama Kosim menyebut Maenpo nya sebagai Maenpo Sahbandar (informasi K.H. Musthofa dan Mama Hisbulloh
"Ngagupay lawan", a basic concept of Sahbandar style
Ngagupay lawan yang dalam bahasa Indonesia berarti "menarik lawan" atau "mengajak lawan" adalah suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan dasar dari gerak Sahbandar. Seperti lazimnya orang yang mengajak, gerakan "mengajak" dilakukan secara lembut seakan-akan tanpa tenaga sehingga lawan tertarik untuk masuk ke daerah serang kita, gerakan juga dilakukan dengan halus dan melambai, seperti kain sutra tertiup angin, akan tetapi di balik kelembutan itu tersembunyi suatu kekuatan yang diibaratkan seperti batu karang. Gerakan Sahbandar juga dimisalkan seperti gerakan Cambuk... melambai cepat dan lentur tetapi meledak dan keras di ujung. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam ada baiknya dibahas dulu apa itu Tangtungan Leuleus (Jurus Alif) dan Tiga pembagian tenaga (Prinsip Keseimbangan)
Tangtungan Leuleus
Setelah saya melihat gambar-gambar yang di post oleh Kisawung, ternyata apa yang oleh Kisawung disebutkan sebagai Tangtungan Alif berlainan dengan apa yang dipahami oleh saya sebagai Tangtungan Leuleus (Jurus Alif). Awalnya, ketika Kisawung menceritakan soal Tangtungan Alif, saya berpikir bahwa kita membahas hal yang sama, tetapi ternyata berbeda.
Jadi untuk selanjutnya saya akan memakai istilah Tangtungan Leuleus (Tangtungan = postur, leuleus = lemas. Tangtungan Leuleus = postur lemas) sebagai ganti Jurus Alif. Takutnya apabila saya tetap memakai nama Jurus Alif untuk Tangtungan Leuleus, apa yang saya bahas tertukar dengan Tangtungan Alif yang Kisawung bahas. Tangtungan Leuleus sendiri dilatih awal sekali untuk merasakan sensitifitas tubuh. Kenapa dinamakan Tangtungan Leuleus? Karena kita harus mengalahkan "ego" badan kita untuk memakai tenaga kasar. Lalu kenapa disebut juga Jurus Alif? Karena dilakukan dengan melakukan gerakan berdiri tegak seperti hurup Alif yang lama dan intens dengan penuh konsentrasi dan dalam keadaan lemas.
Ini langkah-langkah untuk melakukan Tangtungan Leuleus:
1. Berdiri tegak dengan kedua tumit rapat dan bagian depan telapak kaki terbuka sekitar 30 derajat. Tangan diletakan samping badan, keadaan lemas, pundak juga lemas, tidak tegak dan tidak diangkat, leher tegak, tetapi kepala tidak berarti ditarik terlalu jauh ke belakang, dan kepala lemas juga tidak berarti menunduk. Pandangan lurus ke depan, penuh konsentrasi dan tajam tetapi tidak menjadi tegang. Napas dilakukan dengan halus. Ingat, ini Tangtungan Leuleus. Abah yang ngajarin ini bilang, kalau ini ngga bisa... maka jurus-jurus berikutnya juga akan terlewatkan begitu saja.. digambarkan dengan kata-kata: "dilakukan tetapi tidak mendapat maknanya".
2. Gerakan kedua dilakukan apabila tubuh sudah bisa merasakan denyut-denyut di setiap simpul nadi. Gerakan kedua adalah mengangkat kedua tangan dikepalkan di depan dada dengan sangat perlahan. Ujung-ujung sikut tetap menempel ke badan. Badan secara keseluruhan juga tetap lemas, konsentrasi tetap terjaga, ritme napas tetap sama.
3. Gerakan ketiga adalah mengangkat salah satu tangan (anggap kali ini tangan kanan, sehingga di gerakan keempat yang bergerak adalah kaki kiri) tegak lurus ke atas dengan jari-jari terbuka lebar, telapak menghadap ke depan (Untuk yang tahu Xing-Yi, tangan terbuka itu seperti Xing-Yi). Keadaan yang lainnya tidak berubah.
4. Gerakan keempat, kaki kiri dijinjit secara perlahan, sehingga semua berat tubuh ada di kaki kanan. Di sini mulai diterapkan Prinsip Keseimbangan (Tiga Pembagian Tenaga yang akan dijelaskan selanjutnya) Ingat: konsentrasi jangan buyar.
5. Gerakan penutup yaitu pukulan serentak ke depan dengan cara menghentakkan kaki yang jingjit ke samping kiri depan. Tangan digerakan memakai prinsif "halus-keras" . Halus ketika bergerak dan keras diujung gerakan. Dilakukan dari atas ke bawah membentuk lintasan melengkung. (Bukan gerakan menonjok atau menusuk, tetapi memukul dari atas ke bawah). Meletup seperti cambuk.
6. Penutup. Kaki kanan ditarik, sehingga kembali ke posisi 2.
Tangtungan Leuleus sendiri adalah suatu bentuk latihan conditioning untuk melatih konsentrasi dan kepekaan dasar, sehingga nantinya timbul apa yang disebut "rasa". Ini penting dilakukan sebelum kita melangkah ke jurus sesungguhnya, atau ke hal-hal aplikatip seperti tempelan atau banbanan.
-Melatih Rasa-
Di beberapa aliran cikalong cara melatih rasa adalah dengan usik, yang pernah saya lihat adalah dengan berlatih jurus susun yang dilakukan secara berpasangan dengan saling mendorong untuk mengetahui kapan tenaga lawan kosong dan isi.
cara ini cukup efektif untuk mengetahui kapan harus membendung tenaga lawan (menggunakan Kari) atau menyalurkan tenaga lawan (menggunakan syahbandar) atau menyerang balik ketika tenaga lawan habis (nungtung atau tenaga ujung untuk kemudian menyerang menggunakan kari).
teknik berlatih susun ini juga memungkinkan kita mengasah rasa dekat (deukeut) atau rasa nempel kita.
Meski pada akhirnya tingkatan rasa akan sangat menentukan, tetapi dengan melatih Jurus susun ini akan secara tidak langsung menularkan rasa dari pesilat yang sudah tinggi tingkatan rasanya pada pasangannya.
ciri bahwa rasanya sudah tinggi adalah kontrol tenaganya yang sudah sempurna. contoh yang paling gampang kalo di banting tidak terasa namun jatuhnya enak maka yang membanting tingkatan rasanya sudah tinggi. kalo masih ngadurugdug, alias engak mulus biasanya tingkatannya belum terlalu tinggi.
makanya dalam maenpo ada tiga hal penting yang harus dijadikan patokan dalam menguasai jurus penca silat yaitu: Kecepatan, Ketepatan dan Rasa
2008/9/14 Wahyudi <rakeyan@gmail. com>
Sampurasun, assalamu alaikum
pami teu lepat kirang langkung sababaraha taun katukang mangsa simkuring masih keneh sok babrengan jeung adi-adi nonoman mahasiswa Sunda STTTelkom (SWS : Swara Waditra Sunda), harita kungsi bareng ngayakeun panalungtikeun budaya-budaya anu ampir punah salah sawiosna Silat Sunda. Riset budaya ieu diluluguan ku Disbudpar anu harita dicepeng ku Kang Memet HAmdan Gawe Reujeung sareng Lembaga Panalungtikan UNPAD (LPKM ???) anu di pimpin ku Kang Ganjar Kurnia (samemeh ka Prancis anu ayeuna janten Rektor).
Manawi Kang Ganjar tiasa ngagujubarkeun hasil panalungtikan lengkepna.
Mung ieu aya sababaraha artikel (duka timana wae ... da harita teh kukurilinga, aya anu ti Internet aya anu kapangan/ka Cianjur, aya anu tina majalah Duel, oge ka para tokoh Silat nu tiasa di tepungan).
1. Cimande
2. Cikalong
3. Syahbandar (Sahbandar)
4. Maenpo Peupeuhan "Adung Rais"
5. Maenpo H. Marzuk
(Bral geura guar budaya urang sunda!)
Terminology
Silat sunda dalam bahasa aslinya disebut Maenpo. Dan tiap perguruan mengartikan Maenpo itu lain-lain. Ini yang saya tahu:
1. Maenpo berasal dari kata Maen dan Peupeuh (Peu = Po) atau Maen dan Po, yang berarti "maen pukulan". Peupeuh = Pukulan. Untuk kata Po sendiri ada yang menduga kata ini berasal dari kosa kata china.
2. Maenpo berasal dari kata "Maen anu tara mere tempo". Artinya, permainan yang tidak memberi tempo kepada lawan, sehingga lawan tidak bisa mengembangkan jurusnya.
3. Maenpo berasal dari kata "Maen Poho". Poho dalam bahasa Indonesia berarti lupa. Jadi Maenpo diartikan maen sampai kita lupa bagaimana bentuk jurus itu. Maksudnya, badan kita digerakan bukan lagi oleh kemauan, tetapi oleh badan itu sendiri (refleks dan rileks).
Perkembangannya sendiri meliputi daerah Jawa Barat bagian tengah dan priangan timur. (Dari Bogor dan Cianjur menyebar ke Purwakarta, lalu Sukabumi-Bandung- Garut-tasikmalay a, dst). Di banten sendiri, istilah Maenpo ini kurang dikenal, oleh karena itulah Terumbu disebut Terumbu, bukan Maenpo Terumbu. Lain dengan misalnya kalau orang menyebut Maenpo Cikaret, Maenpo Cimande, Maenpo Cikalong... tetapi sekarang orang-orang juga lebih sering menyebut langsung saja. (Cikaret, Cimande, Cikalong, dsb).
Maenpo juga sering disebut beserta nama orang yang mengembangkannya, contoh Maenpo Peupeuhan Adung Rais, Maenpo H. Marzuk, Maenpo Ki Abu, dsb.
Cimande (Sejarah)
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather) . Tetapi yang sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering diperdebatkan, yaitu:
1. Versi Pertama
Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan. Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak menemukan istrinya ada di rumah... padahal saat itu sudah menjelang sore hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Beliau menunggu dan menunggu... sampai merasa jengkel dan khawatir... jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum datang juga. Akhirnya tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir... yang ada tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya... "ti mana maneh?" (Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul... tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan menyadari kekhilafannya. .. dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus "ti mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?" (Dari mana kamu? Lalu dari mana kamu bisa "Main"?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2 ekor monyet. (Salah satu monyet memegang ranting pohon.) Saking indahnya perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun berlatih sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya (Hapal), dan itu menjelang tengah malam.
Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa. Beliau berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa beliau bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau membangun reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih:
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan yang "black magic" dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini. ).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande sendiri dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab "ti indung" (dari ibu), karena memang mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri (sekitar akhir 1800 - awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan) , Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk, jaman penjajahan Belanda), dll.
Cimande (Sejarah)
2. Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di Indonesia Tengah). Abah Bugis sendiri adalah salah seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui, karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah merupakan "pengotoran" akan kesucian tanah Badui.
Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu'un) meminta Abah Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati... Abah Khaer pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor. Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih... menunjukan pun tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk "menghaluskan" Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan, dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya kalau mereka memberi barang... misal beras, ayam, gula merah atau tembakau sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb). Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di US oleh orang Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.
Cimande (Sejarah)
3. Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang "sedikit" ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan beliau di Kampung Tarik Kolot - Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana "leluhur" dalam bahasa Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri terpisah, darimana beliau belajar Maenpo ini... apakah hasil perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut... tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande ini... Abah Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok... tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari China dan juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya yang matang dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dasyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai "pamuk" (pamuk=guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut) . Satu nama yang patut dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena beliaulah yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang "menciptakan" aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di Bogor. Mulai saat itulah beliau tinggal di Kampung Tarik Kolot - Cimande sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
Dan ini adalah gambaran dari salah seorang anak Rd. Aria Wiratanudatar VI, yaitu Aom Abas, yang setelah menjadi Bupati di Limbangan Garut juga bergelar Rd. Aria Wiratanudatar.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa beliau: "selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga beliau selalu memakai ikat kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika beliau "ibing" di atas panggung penampilannya sangat expressif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika "ibing" (menari) seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang ("Nincak kana kendang" - istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus diperbincangkan. " (dari cerita/buku Pangeran Kornel, legenda dari Sumedang, dalam salah satu bagian yang menceritakan kedatangan Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam bahasa Sunda, pengarang Rd Memed Sastradiprawira) .
Jurus-jurus Cimande
Secara garis besar jurus-jurus Maenpo Cimande dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Jurus Kelid Cimande (33 Jurus)
2. Jurus Pepedangan
3. Tepak Selancar ("Ibing" khas Cimande)
1. Jurus Kelid Cimande
Jurus Kelid Cimande dibagi menjadi 33 Jurus yang dilatih secara tunggal dan berulang-ulang. Latihan diawali dengan posisi duduk dan biasanya berpasang-pasangan. Latihan posisi duduk dimaksudkan agar murid konsentrasi terlebih dahulu kepada gerakan tangan, dan tidak memikirkan dahulu langkah kaki atau kuda-kuda. Nantinya, ketika murid sudah memiliki "rasa", baru latihan dilanjutkan dengan berdiri.
Kuda-kuda Cimande termasuk salah satu kuda-kuda rendah, ini katanya disebabkan karena awalnya Cimande dikembangkan di tanah yang licin, sehingga diperlukan kuda-kuda yang rendah dengan langkah yang sangat berhati-hati sekali, beberapa malah memakai langkah "seser". Walaupun begitu, hal ini tidak mengurangi "mobilitas" dan kecepatan gerak dari pesilat. Perputaran tumpuan kaki di jurus Cimande tidak terpaku ke tumit atau kaki bagian depan, tetapi saling mengimbangi.
Ada yang menganggap bahwa aliran Cimande "cukup keras mengadu tangan" ketika menangkis, padahal kalau digali lebih jauh sebenarnya tidak. Salah satu ciri khas Cimande ketika menangkis adalah posisi tangan yang dirapatkan ke dada (menempel ke ketiak, dari siku ke pergelangan melindungi dada, dengan telapak tangan saling berhadapan, jari-jari mengarah ke luar). Tangkisan ini dilakukan tidak semata-mata "membenturkan" badan/tangan dengan serangan lawan. Tetapi dilakukan berbarengan dengan perputaran kuda-kuda, dilanjutkan perputaran bagian tubuh dari pinggang ke atas, lalu perputaran dari siku tangan sampai pergelangan (sehingga timbul gesekan antara ketiak dan lengan bagian atas), perputaran telapak tangan dan diakhiri tekanan/dorongan ke luar atau ke bawah (dalam hitungan detik). Efek yang dirasakan adalah "seakan-akan" tidak ada benturan antara serangan lawan dan tangkisan kita, malah lawan tertarik dan kehilangan keseimbangan. Ini saya rasakan sendiri ketika bertamu ke guru di Tasikmalaya, waktu itu saya sampai jatuh berguling-guling dan merasa sangat malu sekali, tetapi hal itu selalu membuat saya ingat dan bersyukur. (Nuhun Pak...)
Berikut ini nama ke-33 Jurus Kelid Cimande:
1. Tonjok Bareng.
2. Tonjok Sabeulah.
3. Kelid Selup.
4. Timpah Sabeulah.
5. Timpah Serong.
6. Timpah Duakali.
7. Bateukan.
8. Teke Tampa.
9. Teke Purilit.
10. Geuweukan.
11. Kedutan.
12. Guaran.
13. Kedut Guar.
14. Kelid Dibeulah.
15. Selup Dibeulah.
16. Kelid Tonjok.
17. Selup Tonjok.
18. Kelid Tilu.
19. Selup Tilu.
20. Kelid Lima.
21. Selup Lima.
22. Peuncitan.
23. Timpah Bohong.
24. Serong Panggul.
25. Serong Gawil.
26. Serong Guar.
27. Singgul Serong.
28. Singgul Sabeulah.
29. Sabet Pedang.
30. Beulit Kacang.
31. Beulit Jalak Pengkor.
32. Pakala Leutik.
33. Pakala Gede.
Beberapa perguruan, terutama yang mengajarkan juga aliran lain, sudah tidak mengajarkan ke-33 jurus itu secara asli, tetapi dicampurkan dengan jurus-jurus lainnya, maka jangan heran apabila ada perguruan Cimande yang mengajarkan Jurus Cimande hanya 18 atau 28. Tetapi juga tidak sedikit perguruan yang masih mengajarkan ke-33 Jurus itu secara original.
2. Jurus Pepedangan
Untuk bagian ini saya tidak akan banyak menjelaskan, karena memang belum belajar (hanya sempat melihat). Saya hanya akan sedikit menceritakan bahwa ada anggapan bahwa jurus ini terinspirasi oleh monyet yang memegang ranting dalam Sejarah Cimande Versi 1. Dan perputaran yang saya jelaskan di atas (soal tangkisan) tetap diaplikasikan. Untuk Jurus Pepedangan ini saya sangat mengharapkan Master-master Cimande di Forum ini untuk menjelaskan lebih jauh.
3. Tepak Selancar
Tepak Selancar adalah "Ibing Penca" khas Cimande. Mungkin bagi sebagian orang Ibingan ini dianggap sepele, begitu juga saya ketika pertama kali belajar, tetapi ternyata manfaat yang didapat sangat bernilai sekali. Ibingan Cimande (dan juga dalam Maenpo lainnya) bukan hanya sekedar tarian untuk hiburan, tetapi merupakan rangkaian jurus yang sudah disatukan secara terpadu dan dipikirkan matang-matang. Bagi beberapa pesilat, ibingan ini adalah pertarungan real "tanpa lawan", karena itu mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh sekali (dengan rasa) seakan-akan dalam pertarungan sesungguhnya.
On Sat, Sep 13, 2008 at 9:57 PM, mh <khs579@gmail. com> wrote:
Baraya, keur ngalegaan totoongan perkara SILAT, ieu aya referensi
mangrupa desertasi urang Ostrali,
Tuan Ian Douglas Wilson, judulna "The Politics of Inner Power: The
Practice of Pencak Silat in
Sabuku lengkep, tiasa di-download.
http://wwwlib. murdoch.edu. au/adt/browse/ view/adt- MU20040210. 100853
salam,
mh
No Response to "SILAT SUNDA - Rujukan"
Posting Komentar