KOMUNIKASI PEMASARAN DALAM ECONOMIC RECOVERY PROGRAM MASYARAKAT
KAWASAN OBJEK WISATA PANGANDARAN PASCA GEMPA DAN TSUNAMI 17 JULI 2006
S. Bekti Istiyanto
ABSTRACT
Pangandaran as one of a part important economic growth area in
Key words : economic recovery program, tourism, marketing communication
PENDAHULUAN
Bagi Indonesia, pariwisata telah menjadi sektor strategis dalam memperkuat perekonomian negara maupun sebagai elemen pemerataan pembangunan dari aspek kewilayahan. Kontribusi dari aspek ekonomi menunjukkan bahwa pariwisata ini merupakan sektor penghasil utama devisa negara nonmigas. Peran dan kontribusi signifikan tersebut telah semakin mengukuhkan pariwisata sebagai sektor strategis yang memiliki potensi dan peluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan menjadi lokomotif bagi upaya pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat serta revitalisasi perekonomian Indonesia.
Salah satu kawasan pariwisata andalan Propinsi Jawa Barat yang memiliki prioritas untuk dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Ciamis adalah objek wisata Pangandaran. Terbukti dengan jumlah kunjungan rata-rata pertahun sekitar 1,5 juta kunjungan wisatawan nusantara dan sekitar 10 ribuan wisatawan mancanegara (http://www.mediacenter.or.id). Program pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Ciamis termasuk salah satu program pembangunan daerah dalam bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat, mewujudkan azas pemerataan dalam pembangunan, penciptaan lapangan kerja, dan perluasan kesempatan berusaha dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
Peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 mengakibatkan berbagai permasalahan di kawasan ini. Pantai Pangandaran merupakan kawasan yang paling parah diterjang gelombang tsunami. Sejumlah sarana dan prasarana penunjang pariwisata di daerah tersebut luluh lantak ditelan ganasnya gelombang ini. Tidak hanya masalah pembangunan fisik, akan tetapi menyangkut seluruh ekosistem yang ada di sana, baik keadaan alam maupun sosial yang sangat memprihatinkan. Data yang diperoleh dari posko bencana Pangandaran, bencana gempa dan tsunami tersebut ditaksir menimbulkan kerugian material masyarakat Kabupaten Ciamis, kurang lebih mencapai Rp 500 miliar. Dengan adanya bencana gempa dan tsunami yang terjadi di wilayah Ciamis selatan ini secara otomatis mempengaruhi Pendapatan Daerah Kabupaten Ciamis yang merupakan modal dasar bagi penyelenggaraan pembangunan, apalagi pada era otonomi daerah seperti sekarang ini. Hancurnya potensi pariwisata yang ada di Pangandaran ini secara otomatis juga menghancurkan potensi bidang yang lainnya di Pantai Pangandaran, seperti; perdagangan, perhotelan, dan kegiatan industri lainnya.
Dari pemaparan di atas, dapat dirumuskan sebuah permasalahan penelitian yaitu: “Bagaimana Ketepatan Komunikasi Pemasaran Dalam Economic Recovery Program Masyarakat Kawasan Objek Wisata Pangandaran Pasca Gempa dan Tsunami 17 Juli 2006 dilakukan”.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui dan menggambarkan perbaikan ekonomi masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran pasca gempa dan tsunami 17 Juli 2006 untuk memulihkan/membangun kembali aktivitas perekonomian masyarakat melalui strategi komunikasi pemasaran pariwisata yang tepat di kawasan objek wisata pangandaran (pembangunan regional kepariwisataan).
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang strategi pariwisata melalui operasionalisasi konsep komunikasi pemasaran dan komunikasi pembangunan mengenai revitalisasi suatu kawasan (pembangunan/pemulihan kembali suatu kawasan yang mengalami degradasi), khususnya mengenai revitalisasi suatu kawasan wisata (revitalisasi pariwisata).
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam melakukan revitalisasi suatu kawasan, khususnya revitalisasi kawasan wisata (revitalisasi pariwisata). Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada lembaga yang merupakan Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) yang menangani revitalisasi kawasan Pangandaran secara langsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Konsep komunikasi pembangunan menurut Nasution (2004) dapat dilihat dalam arti yang luas dan terbatas. Dalam arti yang luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal-balik) diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan, dan penilaian terhadap pembangunan. Sedang dalam arti yang sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan keterampilan-keterampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan tadi.
Bencana gempa dan tsunami yang merusak beberapa wilayah di pantai selatan Jawa baru-baru ini, semakin menyadarkan pentingnya menjaga wilayah pantai. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 antara lain menyebutkan kewenangan daerah di wilayah laut bahwa dalam sudut pandang lingkungan, kewenangan kabupaten dalam pengelolaan wilayah laut tak sebatas wilayah dengan lebar 4 mil saja, namun juga termasuk wilayah pesisir karena wilayah ini merupakan wilayah dengan tingkat sensitivitas yang tinggi. Di kawasan pesisir tekanan terus terjadi, terutama akibat pertumbuhan jumlah penduduk, pembudidayaan pantai yang dapat menimbulkan limbah, perkapalan, wisata, serta berbagai pembukaan lahan-lahan baru yang membabat berbagai biota laut dan pesisir. Dapat diamati bahwa perubahan tata guna lahan di wilayah pantai untuk keperluan ekonomi dan pariwisata seperti di Pangandaran, Pelabuhan Ratu, dan pantai lainnya, sangat pesat. Fakta ini menunjukkan kegiatan di wilayah pantai merupakan kegiatan yang multi kompleks sehingga pemerintah kabupaten harus dapat memahami dan merencanakannya dengan baik.
Partisipasi dan Pembinaan Masyarakat Dalam Pembangunan Pariwisata
Partisipasi dapat diartikan sebagai ambil bagian, ikut, atau turut. Istilah ini lebih populer dalam mengartikan ikutnya seseorang atau badan dalam satu pekerjaan atau rencana besar (Marbun, 2002:407). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan keikutsertaan masyarakat dalam suatu project pembangunan.
Ada beberapa alasan yang mendasari partisipasi masyarakat dalam pembangunan:
- Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut.
- Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat.
- Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan.
- Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.
- Partisipasi memperluas zone (kawasan ) penerimaan proyek pembangunan.
- Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah.
- Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri (Moeljarto, 1987:48-49).
Dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan perlu dilakukan juga pembinaan terhadap masyarakat pesisir. Pembinaan masyarakat pesisir bertujuan memberi perlindungan sosial dan memulihkan sumber daya sehingga masyarakat pesisir memiliki pilihan leluasa untuk meningkatkan produktivitasnya. Kegiatannya bersifat meluas meliputi kegiatan-kegiatan pembinaan sumber daya alam, penguasaan teknologi dan informasi, dan peningkatan produksi. Meskipun demikian, kebijakan ditekankan pada pendekatan swadaya yang melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan dengan intensif dari pemerintah ataupun komponen masyarakat sendiri. Dengan demikian, kata kunci kebijakan terletak pada keberpihakan karena tidak mungkin mengajak mereka berkompetisi dalam lapangan ekonomi. Melalui pembinaan intensif masyarakt pesisir secara bertahap akan menjadi mandiri, berpendapatan meningkat, dan terbebas dari kemiskinan (Nugroho dan Dahuri, 2004: 290).
METODE PENELITIAN
Penelitian terfokus pada pemulihan ekonomi masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran pasca gempa dan tsunami 17 Juli 2006. Penelitian ini telah dilakukan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) termasuk Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Ciamis Selatan, yang merupakan lembaga pengelola pariwisata Pangandaran di bawah dinas tersebut, Dinas Pemukiman dan Prasarana Daerah (Kimprasda), serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ciamis, dan masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran.
Metode penelitian yang digunakan adalah bentuk deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari informan yang mewakili keseluruhan sumber data. Seperti yang diungkapkan Bogdan Taylor (dalam Moleong 2000:3) metode kualitatif sebagai suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik dan menyeluruh. Melihat metode penelitian yang deskriptif kualitatif, maka teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling. Untuk teknik pengumpulan data digunakan wawancara mendalam (Indepth Interview), pengamatan (Observasi) dan dokumentasi .
Dalam menguji keabsahan data penelitian, peneliti menggunakan teknik triangulasi data. Triangulasi data yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data-data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2000:178). Untuk menguji keabsahan data pada penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Program Economic Recovery Kawasan Wisata Pangandaran Pasca Gempa dan Tsunami 17 Juli 2006
Pembangunan Pangandaran pasca bencana pertengahan bulan Juli 2006 lalu, hanyalah sebatas moment yang tepat saja. Jika tidak ada bencana, mungkin pembangunan di wilayah ini hanya bersifat monoton dan pemerintah cenderung acuh tak acuh dalam memperhatikan kawasan ini, padahal kawasan ini adalah kawasan potensial yang banyak memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat. Pangandaran mampu memberikan sumbangan rata-rata di atas Rp 2 milyar per tahun. Bahkan pada tahun 2002, Pemerintah Kabupaten Ciamis memperoleh sekitar Rp 2,3 miliar atau 71,875 persen dari total retribusi yang diperoleh oleh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata dari seluruh objek wisata yang ada di Ciamis yang besarnya Rp 3,2 miliar. Jika seluruh retribusi dan pajak digabungkan, kontribusi yang diberikan Pangandaran ke Pemkab Ciamis mencapai sekitar Rp 4,5 miliar per tahun, atau 23,7 persen dari seluruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Ciamis yang pada tahun 2003 ditargetkan mendapat Rp 19 miliar.
Dalam pelaksanaan revitalisasi di Pangandaran ini tidak hanya dilakukan oleh satu institusi, akan tetapi lintas sektoral. Ada sekitar delapan institusi yang menangani kawasan Pangandaran. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Drs.H.M.Soekiman, Ketua Bidang Bina Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis:
” Ini bukan tanggung jawab satu SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah), karena berbagai fasilitas, maka perlu keterpaduan program antara semua dinas instansi terkait, tapi harus ada koordinasi lintas sektoral”
Ditambahkan oleh Bapak Tino Amriyanto LS, ST, M.Si dari Kimprasda:
” ...koordinasinya adalah lintas dinas sektoral. Untuk rencana dipegang oleh Bappeda, pelaksanaan pembangunan fisik dipegang oleh Kimprasda, pengelolaan wisata oleh Disbudpar, energi dipegang oleh Distamben....Tidak bisa dipegang oleh satu institusi”
Pembangunan pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami di kawasan Pangandaran dan sekitarnya dilakukan secara efektif dan terarah sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Dalam pelaksanaannya secara global dilakukan secara bertahap dalam empat fase, yaitu fase response atau penyelamatan, fase revitalisasi atau pemulihan kembali, fase recontruction atau rehabilitasi, dan fase development atau pembangunan. Semua fase tersebut diperkirakan akan memerlukan biaya sebesar Rp.387.339.976.000,00.
Untuk mengembalikan image atau citra Pangandaran sebagai tempat wisata yang indah, serta menumbuhkan rasa aman bagi para wisatawan dan para pelaku wisata lainnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata telah melakukan berbagai upaya, diantaranya adalah dengan melakukan berbagai kegiatan seperti promosi melalui booklet, poster, vcd, dan berbagai media massa lainnya, pameran, dan expose. Disbudpar juga melakukan road show ke beberapa kota, yang dianggap sebagai daerah kantung – kantung wisata, diantaranya yang sudah dilakukan yaitu ke Yogyakarta untuk melakukan pembicaraan dengan beberapa kalangan (stakeholder) yang biasa membawa turis ke Pangandaran. Stakeholder tersebut diantaranya adalah Asosiasi Travel Seluruh Indonesia (Asita), PHRI (Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia), para guide, biro wisata, dan organisasi kepariwisataan lainnya. Daerah kantung yang akan dikunjungi adalah Medan, Bali, Jogjakarta, Bandung, Depok, Batam dan daerah kantung lainnya.
Drs H.M. Soekiman menjelaskan kepada peneliti:
” Untuk mengembalikan image/citra Pangandaran telah dilakukan berbagai kegiatan seperti promosi dan pameran-pameran, melalui booklet, poster, dan media lainnya. Kita juga ada road show, seperti yang sudah dilakukan, ke jogja, tuk membicarakan dengan beberapa kalangan yang biasa membawa turis ke Pangandaran, seperti Asita, guide, dan organisasi kepariwisataan lainnya”.
Ditegaskan oleh Bapak Rahman, SE, Kepala Seksi Promosi dan Daya Tarik Wisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Ciamis:
” Kita melakukan road show, pameran, promosi melaui media, vcd, booklet, untuk menarik kembali wisatawan. Rencana kita akan ke Medan, Bali, Jogja, Bandung, Depok dan daerah kantung yang lain. Melakukan expose, door to door, eye catchernya tsunami, kita berupaya, mencari wisatawan pasca gempa dan tsunami ini. Menjelaskan kepada mereka bahwa Pangandaran aman, dan masih tetap indah untuk dikunjungi. Paling tidak orang masuk ke Pangandaran. Kita juga menjalin hubungan dengan para stakeholder ya, diantaranya PHRI, Asita, biro-biro wisata Dana berasal dari dana penanggulangan tsunami”.
Selain event pertunjukkan yang sifatnya live instrumental, pemerintah juga mengadakan pameran-pameran. Diantaranya adalah Pangandaran Expo 2006, yang dilaksanakan pada tanggal 1-4 Desember 2006. Expo ini merupakan upaya dari pemerintah untuk menunjukkan potensi Pangandaran yang bisa dijual kepada masyarakat luas. Dalam expo ini, tidak hanya menjual produk wisata saja, tetapi berbagai produk unggulan yang lain, seperti potensi perdagangan, potensi pertanian, dan lain-lain.
Melihat potensi pariwisata yang cukup menjual dari kawasan ini, pemerintah juga akan melakukan berbagai program pemulihan ekonomi menarik sebagai investasi pariwisata. Sejauh ini sudah ada investor yang berasal dari Malaysia. Rencana investasi untuk membangun resort di Madasari, salah satu objek wisata yang masih berada di kawasan Pangandaran, akan tetapi ini perlu pengkajian dan pendalaman yang lebih jauh karena fasilitas pasca gempa dan tsunami yang belum memadai. Untuk kawasan Pangandaran sendiri, akan dibangun penambahan wahana wisata yaitu pengadaan kereta gantung dan kapal pesiar dan pembuatan dermaga baru. Jadi jalur kunjungan wisatawan akan bertambah banyak, tidak hanya lewat darat dan udara (Bandara Nusa Wiru, Cijulang), tapi juga lewat laut.
Untuk mengembalikan image Pangandaran sebagai salah satu daerah tujuan wisata, tentu saja memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak pelaku pariwisata. Salah satunya adalah dengan pihak perhotelan. Pasca Bencana ini, upaya dari pemerintah yaitu dengan melakukan diskusi dengan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Pemerintah berusaha menjembatani kebutuhan hotel untuk diserap aspirasinya, untuk difasilitasi oleh perbankan. Mengenai keringanan kredit bagi para pelaku pariwisata khususnya pihak perhotelan, peneliti berusaha mengkonfirmasikannya kepada ketua PHRI, Pangandaran, Bapak H. Adang Hadani:
”Belum pernah ada sosialisasi keringanan kredit itu, yang ada hanya penjadwalan ulang, maksudnya, yang tadinya kreditnya dua tahun menjadi lima tahun, itu pun baru mau”.
Menurut Chendra Yadi:
”Keringanan pemerintah terhadap perhotelan, hanya belum dikenakan pajak kamar sampai batas waktu yang belum ditentukan, biasanya ada kontrol dari pemerintah setiap malam untuk mengecek berapa jumlah kamar yang terisi. Untuk kerusakan hotel akibat tsunami tidak ada bantuan dari pemerintah. Kita jalan sendiri”
Program yang ditujukan pemerintah kepada pihak perhotelan adalah dengan diadakannya pembinaan dan pelatihan dari dirjen pariwisata, agar karyawan dan karyawati perhotelan jadi lebih profesional. Usaha untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia, masyarakat yang berada di kawasan wisata juga sudah dilakukan oleh pemerintah. Setiap tahunnya selalu ada penyuluhan sapta pesona dan pemberdayaan masyarakat. Upaya mengembalikan citra juga dilakukan dengan membuat Tourism Media Center dengan tujuan utama untuk meluruskan informasi agar tidak ada kekeliruan pemahaman bagi wisatawan yang akan berkunjung.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemerintah kurang maksimal dalam mengkomunikasikan setiap program yang dilaksanakan. Program itu harus disosialisasikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada sehingga implementasi program itu bisa lebih terarah. Bukan berarti jika salah satu proyek sudah dilaksanakan berarti sudah selesai, harus ada sosialisasi lebih lanjut dan terjadwal. Ketika ada sebuah program mengenai perbaikan kawasan wisata, maka harus disosialisasikam kepada seluruh elemen pelaku wisata, sedangkan sasaran Media Tourism Center memang ditujukan untuk wisatawan. Akan tetapi program ini juga akan berjalan lebih baik jika semua pihak mengetahuinya sehingga daya dukung para pelaku pariwisata kepada program yang sedang berjalan akan lebih tinggi dan membantu pelaksanaan program.
Mengenai program-program yang akan dilaksanakan, pasca tsunami ini tetap mengacu pada rencana strategi yang sedang berjalan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis. Secara mental dan infrastruktur, pembangunan pariwisata itu bisa terlihat dari misi yang sedang dijalankan oleh Disbudpar Kabupaten Ciamis. Selain program-program yang ditujukan kepada masyarakat luas pasca bencana ini, Pemerintah khususnya Disbudpar, juga melakukan pelatihan untuk perangkat pariwisata yakni pelatihan untuk balawista atau pengaman laut. Sehingga wisatawan merasa aman ketika berenang di laut.
Penataan Pangandaran dan sekitarnya sebagai pusat pengembangan pariwisata Ciamis Selatan dengan prioritas untuk kegiatan wisata alam dan pantai meliputi : Agro dan Eko Wisata (Eco Tourism) yaitu :
1. “ Eko Wisata” Pangandaran
Pembangunan tiga lokasi Taman Pantai Percontohan seluas 3 X 1.000 m2 = 3.000 m2 (di ujung Toll Gate utama didepan Hotel Percontohan dan Hotel Pananjung Sari).
2. “Agro Wisata” Pangandaran
Penghijauan Pantai dengan penanaman pohon kelapa, sepanjang 3 Km x 20 m = 60.000 m2 atau 6 Ha (dari mulai ujung Toll Gate Utama sampai Pamugaran). Penanaman pohon di sepanjang pembatas pantai dengan pohon Cendrawasih.
3. “Agro Wisata” Batu Karas
Penghijauan pantai dengan penanaman pohon kelapa dan Barington di objek wisata Batukaras Cijulang dengan luas 30.000 m2 (3 hektar).
Mengenai penataan kawasan di zoning wisata inti yang merupakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL), pasca bencana ini merupakan momentum yang tepat bagi dunia pariwisata, khususnya pariwisata Jawa Barat, untuk membuat pantai Pangandaran bersih dari pedagang kaki lima. Pasca tsunami, para PKL belum terlalu ramai berjualan di pantai karena mengalami rasa trauma. Pemerintah sebenarnya telah menyediakan pasar wisata, akan tetapi kurang berfungsi dengan baik karena lokasinya yang jauh dari tempat wisatawan berkumpul.
2 Partisipasi Masyarakat Dalam Program Economic Recovery Kawasan Wisata Pangandaran
Revitalisasi pariwisata bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, akan tetapi harus disertai dengan peningkatan ekonomi masyarakat dan mentalitas yang lain. Perlu keterlibatan masyarakat, dimana keterlibatan itu tidak hanya mendukung aspek formalitasnya saja. Selain itu, masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan setempat, tapi juga masyarakat luas. Semuanya memerlukan mekanisme yang jelas. Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multidimensi, disiplin serta berkelanjutan. Aspek yang sangat penting dalam proses revitalisasi yaitu penggunaaan teknologi informasi khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk menunjang kegiatan revitalisasi, dan komunikasi juga memegang peranan penting dalam ranah-ranah tersebut.
Dalam pembangunan wilayah Pangandaran ternyata melibatkan masyarakat dalam proses perencanaanya dan juga berdasarkan tinjauan di lapangan mengenai kebutuhan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Bapak H.Setia, S.E,M.P, salah satu staf di Bappeda Kabupaten Ciamis yang menangani kawasan bencana Pangandaran ;
” dalam proses perencanaannya tentu saja melibatkan masyarakat sebagai salah satu objek pembangunan, karena pembangunan yang dilakukan di kawasan ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka...”
Bapak H. Setia, S.E, MP juga menjelaskan proses perencanaan untuk pembangunan di wilayah ini.
”...ada beberapa media dalam menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan..., mulai dari menjaring aspirasi masyarakat pada tingkat yang paling kecil hingga pada tingkat yang lebih tinggi ”.
Mengenai diikutsertakannya masyarakat dalam perencanaan pembangunan Pangandaran tersebut, dibenarkan oleh Bapak H. Adang Hadani, seorang pengusaha hotel yang merupakan warga asli Pangandaran (sekaligus juga sebagai ketua asosiasi Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia, Pangandaran) dan juga tokoh masyarakat setempatmengatakan :
” Kalau sekarang semua dilibatkan, baik dalam sosialisasi maupun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, sudah terjalin dengan baik. Ada pertemuan-pertemuan yang dilakukan, baik dalam merencanakan side plan/master plan yang baku. Bahkan bupati pun langsung turun...”.
Bapak Drs. Trisno, selaku Sekretaris Camat Pangandaran mengatakan:
” Dalam membangun Pangandaran pasca tsunami melibatkan semua pihak, tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat”
Untuk mensosialisasikan program dan menggerakan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan, dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai macam media. Sosialisasi dilakukan baik secara langsung maupun menggunakan media massa. Untuk sosialisasi yang sifatnya langsung biasanya dilakukan melalui pertemuan-pertemuan seperti temu kader, temu usaha, dan yang lainnya.
KESIMPULAN
- Program Economic Recovery Kawasan Wisata Pangandaran telah ada dan merupakan bagian dari upaya pemulihan aktivitas pariwisata secara integral, termasuk dalam kegiatan komunikasi pemasaran meskipun dalam pelaksanaannya masih kurang maksimal. Karenanya dibutuhkan strategi perencanaan program pemulihan ekonomi masyarakat sebagai bagian pembangunan pariwisata yang tepat dan dilakukan secara lintas sektoral. Dalam tahap perencanaan pembangunan kembali Pangandaran pasca bencana gempa dan tsunami telah dilaksanakan keterpaduan program antara semua dinas instansi terkait, namun dalam tahap pelaksanaannya masih terjadi pembagian tugas yang dirasakan masyarakat belum menjadi keputusan satu atap.
- Pelaksanaan pembangunan Pangandaran pasca gempa dan tsunami secara global dilakukan secara bertahap dalam empat fase, yaitu fase response atau penyelamatan, fase recovery atau pemulihan kembali, fase recontruction atau rehabilitasi, dan fase development atau pembangunan.
- Dalam pelaksanaan perencanaan program pembangunan kawasan wisata ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat sebagai objek pembangunan sekaligus pelaku utama aktivitas pariwisata. Karenanya sosialisasi program mejadi mutlak harus dilakukan pemerintah. Namun dalam proses program lebih lanjut masih terjadi ketidak jelasan di pihak masyarakat, sehingga sering terjadi miss communication. Karenanya, pelibatan masyarakat sebagai penentu pelaksanaan program pembangunan harus bersifat kontinyu dan interaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B.N. 2002. Kamus Politik. CV Muliasari. Jakarta.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan Ke-12. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Moeljarto, T. 1987. Politik Pembangunan. PT Bayu Indra Grafika. Yogyakarta.
Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan Penerapannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nugroho, Iwan dan Rokhim Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Sumber lain :
http://www.mediacenter.or.id. diakses tanggal 30 Juli 2006.
*****Sumber :
sbektiistiyanto.files.wordpress.com/2008/02/jurnal-pangandaran.doc
No Response to "KOMUNIKASI PEMASARAN DALAM ECONOMIC RECOVERY PROGRAM MASYARAKAT"
Posting Komentar