Rezim Dolar dan Perdagangan Dunia
Oleh : Taufik Dwidjowinarto
There is no free lunch, demikian sebuah ungkapan yang berlaku umum dalam zaman Neo-Liberalisme. Namun ungkapan itu hanya cocok buat negara pinggiran diluar AS. Berkat “kelihaian” (mungkin juga dapat disebut sebagai kelicikan) Paman Sam selama ini mampu membuat pengecualian, sehingga ungkapan ini tak berlaku untuk perekonomian negara AS, negara Sang Adidaya Ekonomi dan Militer sejagad. Bagaimana bisa ?.
“...Perdagangan dunia sekarang, tak lebih dari sekedar permainan dimana AS menyediakan Dolar dan negara lainnya menyediakan Komoditas yang bisa dibeli dengan Dolar. Dunia yang begitu terbelit ekonominya satu sama lainnya, berupaya keras untuk melakukan hubungan dagang dengan harapan memperoleh keuntungan komparatif. Mereka bersaing denga menggenjot eksport untuk sebesar-besarnya mendapatkan Dolar, yang pada akhirnya bisa dipakai untuk membayar utang negara dalam bentuk Dolar, dan untuk mempertebal cadangan devisa agar nilai tukar Mata Uang Domestiknya terpelihara...” Demikian yang ditulis Asia Times pada 11 April 2002.
Paman Sam yang pemalas dalam menabung, ingin semua kebutuhan dan keinginannya lancar terpenuhi. Tak sekedar ingin tercukupi saja, tapi ingin berlebih. Setiap hari kerjanya hanya menulis cek, selanjutnya dengan cek itu apa pun juga di-“beli”-nya. Termasuk untuk membeli “pemerintahan sebuah negara”, bahkan mungkin termasuk juga untuk membeli “kedaulatan sebuah negara”.
Kaya-Raya-kah Paman Sam ?, tidak juga. Dia sesungguhnya tidak punya cukup uang direkeningnya, sebanyak jumlah nominal cek yang dikeluarkannya itu. Bisa disebut cek yang ditulisnya itu adalah “cek kosong yang ajaib”. Disebut ajaib, karena semestinya cek ini ditolak mentah-mentah oleh oleh bank-bank. Walau pun dia mempunyai aset dan kekayaan, namun jumlah uang direkeningnya ditambah dengan aset dan kekayaannya itu, sebenarnya jumlahnya itu “tidak sepadan” untuk menjamin cek yang dikeluarkannya itu.
Namun seluruh pedagang minyak -sebuah kartel dagang paling digdaya sejagad- terkenal sangat fanatik dengan jenis cek yang ditulis oleh si Paman Sam ini- sejak tahun 1971 -dibawah naungan perjanjian OPEC- seluruh anggotanya telah dengan “ikhlas dan sukarela” menjadikan Dolar sebagai satu-satunya alat tukar dalam transaksi jual-beli minyaknya. Sehingga untuk keperluan pembayaran seluruh produksi “emas hitam”-nya itu, para anggota Negara-Negara Pengekspor Minyak hanya mau menerima pembayaran dengan cek jenis ini. Para pedagang komoditas lainnya diluar minyak, juga ikut-ikutan latah, dalam transaksinya hanya memakai cek ini sebagai alat tukar.
Produksi minyak mentah dunia kurang lebih 75 Trilyun Barel per Tahun, jika diasumsikan harganya 50 Dolar per Barel, maka itu berarti dalam setahunnya, dunia membelanjakan Dolar dalam perdagangan minyak sebesar 3.750 Trilyun Dolar. Konsumsi minyak AS diperkirakan sebesar 25 % dari total produksi minyak mentah dunia, maka andil negara-negara diluar AS dalam membelanjakan Dolar untuk minyak setahunnya sebesar kurang lebih 2.800 Trilyun Dolar. Tahun 1995, menurut data UNCTAD-WB-WTO, mata uang eksport dunia dalam Dolar sebesar 47,6 %, dalam DM 15,3 %, dalam Yen 4,8 %.
Satu hal yang tak pernah dilakukan oleh para penerima cek itu, yaitu tidak pernah ada diantara para penerima cek itu yang datang ke bank untuk mencairkan atau menagihnya. Entah mengapa, mungkin karena para penerima cek Paman Sam ini merasa tak memerlukannya, bisa jadi juga karena terhipnotis oleh daya sihirnya sehingga haqqul yakin dengan jaminan nilai cek Paman Sam itu. Ini berarti, setiap penerima cek akhirnya hanya menimbun saja cek itu, bahkan ada beberapa penerima cek yang menjadikan cek kosong nan ajaib ini hanya bagaikan barang koleksi saja.
Tahun 1995, menurut data UNCTAD-WB-WTO, “Koleksi” Dolar di negara-negara berkembang dalam cadangan devisanya sebanyak 63,5 %, dalam DM sebesar 15,6 %, dalam Yen sebesar 8,3 %. “Jeratan” utang dalam bentuk Dolar di negara-negara berkembang sebesar 50 %, sedangkan “belitan” utang dalam Yen sebesar 18 %. Simpanan bank asing dalam bentuk Dolar sebesar 47,5 %, dalam DM sebesar 18,4 %, dalam Yen sebesar 4,2 %.
Dengan kata lain, selama ini Paman Sam sesungguhnya telah membukukan “utang” dalam catatan buku akutansi para penerima cek itu. Namun selama cek itu tak pernah sampai ke bank untuk dicairkan, maka Paman Sam “terbebas” dari kewajibannya membayar utangnya. Sementara utang-utangnya terus bertambah, Paman Sam terus asyik menuliskan cek alias terus mencetak lebih banyak lagi Dolar. Sementara negara-negara lain harus berlomba-lomba menyediakan komoditi yang kompetitif -tuna dan kayu dari Indonesia, karet dan sawit dari Malaysia, kopi dari Brazilia, minyak dari Timur Tengah dan Kaspia- untuk dapat ditukar dengan lembaran “cek kosong” yang bernama Dolar, dimana sesungguhnya “secara instrinsik nilainya amat sangat murah sekali”. Dengan –strategi Makan Gratis dan Utang Tak Dibayar- inilah Paman Sam yang “flamboyan sekaligus juga jumawa dan arogan” dapat membeli apa saja keperluan dan semua kebutuhan serta segala keinginannya secara “gratis”.
Sampai kapan Paman Sam dengan Dolar-nya akan terus mendominasi dunia ?. Secara teoritis, akan terus mendominasi sampai pada suatu masa dimana muncul “pesaing”-nya. Pesaing yang akan mampu mengimbanginya haruslah didukung oleh suatu negara atau sekumpulan negara yang mempunyai fundamental ekonomi yang cukup baik, diimbangi dengan produk domestik brutto yang cukup besar, disertai penguasaan pangsa perdagangan yang besarnya sejajar atau digunakan dalam perdagangan global dunia dengan porsi yang besarnya sebanding.
Apakah fundamental ekonomi AS sedemikian bagus ?. Sebenarnya tidak juga, sebagai raksasa ekonomi, AS menghadapi banyak “kontradiksi” didalam perekonomiannya. Defisit neraca transaksi berjalan yang menggila (tahun 2000 mendekati 400 Milyar Dolar), utang-nya luar biasa besar, rendahnya tabungan pemerintah yang diiringi penurunan tajam tabungan swasta, semakin kempisnya investasi internasional bersih (akhir tahun 2000 pada nilai pasar mencapai negatif 1,583 Trilyun Dolar dan akhir tahun 2001 melonjak menjadi negatif 2,309 Trilyun Dolar), tingkat pertumbuhan ekonomi secara riil melambat disertai tingkat pengangguran yang makin merebak, dan sebagainya.
Robert Mundel, profesor ekonomi Universitas Columbia, yang juga peraih nobel bidang ekonomi tahun 1999, mengatakan : “...selama lima belas tahun terakhir, neraca pembayaran AS mengalami defisit yang mengubah AS dari negara kreditor jadi negara debitor, pengutang terbesar. Rendahnya tabungan, yang diperburuk dengan tingginya utang, suatu hari nanti akan balik menikam. Akan tiba masa ketika penumpukan utang internasional itu membuat kepercayaan terhadap dolar tidak bisa dipertahankan...”
Apakah tak ada satupun negara yang mempunyai fundamental ekonomi yang lebih baik daripada AS ?. Ada, bahkan ada beberapa, namun mereka tak mempunyai produk nasional yang besarnya sebanding dengan PDB-nya AS.
Bagaimana defisitnya akan dibiayai oleh AS ?. Mungkin hal itu mudah saja bagi Paman Sam, salah satunya dibiayai dengan cara mencetak Dolar sebanyak-banyaknya yang dibutuhkannya. Apakah tak menimbulkan inflasi ?. Mungkin memang akan begitu, tetapi asalkan Dolar masih tetap dijadikan mata uang jangkar dalam sistem moneter dunia, sedangkan mata uang lainnya nilainya ditetapkan terhadap Dolar. Serta Dolar masih tetap dijadikan alat tukar utama dalam perdagangan dunia, dimana orang-orang berpergian, Dolar yang pertama diterima, investasi masih dikaitkan dengan Dolar, utang antar negara masih didenominasikan dengan Dolar, transaksi perdagangan antar negara masih mengutamakan menggunakan Dolar, yang mana “kepercayaan” dunia terhadap AS masih sangat “terpatri” kuat sehingga mereka masih menerima-menggunakan-menyimpan Dolar, maka Paman Sam mungkin memang tak perlu musti merasa untuk perlu terlalu khawatir.
Apakah sekarang ini tak ada yang berpotensi untuk menjadi pesaingnya yang tangguh ?. Bisa jadi sudah ada, Euro berpotensi untuk itu. Sebab secara teoritis, Euro sebagai mata uang tunggal beberapa negara Masyarakat Ekonomi Eropa, memiliki modal awal persyaratan menjadi pesaing Dolar. Dimana Euro didukung sekumpulan negara yang memiliki fundamental ekonomi cukup baik, serta gabungan produk domestik bruttonya cukup besar. Hanya Euro masih perlu lebih memperbesar lagi penguasaan pangsa perdagangan. Serta belajar dari Jepang yang sebetulnya secara GDP dan share perdagangannya besar namun gagal menjadi mata uang utama dunia, maka Euro harus lebih ekstra keras lagi “berjuang” untuk memperbesar porsi digunakannya sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan dunia.
Pada tahun 1969, Profesor Robert Mundel, pernah meramalkan bahwa melalui penyatuan mata uang di Eropa, akan lahir mata uang baru yang bisa menjadi pesaing Dolar. Tahun 1998, dalam rangka menyongsong kelahiran Euro, ia mengatakan : “...Euro akan menjadi penantang posisi Dolar. Ini bagian terpenting bagi sejarah sistem moneter internasional sejak Dolar mengambil alih supremasi Poundsterling sebagai alat tukar yang dominan di penjuru jagad setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama...”
Bagaimana peta kekuatan antara Dolar dengan Euro ?. Menurut data UNCTAD-WB-WTO, secara keseluruhan Dolar masih lebih unggul. Pertama, dilihat dari sisi out put produksi dan GDP serta nilai perdagangan barang dan jasa, antara AS dengan Uni Eropa maka Uni Eropa lebih unggul dibandingkan AS. Namun jika diperbandingkan antara negara Uni Eropa yang masuk dalam mata uang tunggal Euro dengan AS, maka Euro masih kalah dibandingkan Dolar. Kedua, dalam pangsa pasar mata uang yang beredar maka Dolar masih lebih unggul dibanding Euro. Ketiga, dalam mata uang eksport-import, penguasaan aset swasta internasional, Dolar masih unggul tipis dibandingkan Euro.
Bagaimana kurs diantara keduanya ?. 4 (empat) hari setelah peluncuran Euro tanggal 1 Januari 1999, nilai Euro di pasar mencapai 1,19 Dolar. Pada 3 Desember 1999, Euro terhempas dibawah 1 (satu) Dolar. Kemudian, Euro kembali menguat. Namun di penghujung tahun 2000 Euro sempat terperosok sampai mencapai 0,85 per Dolar. Penguatan Euro berjalan terus, sampai kemudian per 19 Maret 2003 mencapai 1,063 per Dolar.
Apakah trend penguatan Euro akan berjalan terus ?. Sulit diramalkan secara pasti, namun apabila semakin banyak negara yang melakukan transaksi perdagangan antar negara dengan memakai Euro, atau semakin banyak komoditas perdagangan yang dalam transaksi perdagangannya menggunakan Euro sebagai alat tukarnya, maka trend penguatan Euro akan berjalan terus dan ketergantungan dunia terhadap Dolar akan menjadi berkurang.
Komoditas perdagangan dunia apa yang paling potensial dan paling strategis untuk diperjuangkan oleh negara-negara Euro agar dapat didenominasikan dengan Euro, sehingga dapat membuat semakin kuat posisi Euro dimasa depan sebagai alat tukar utama dunia ?. Perdagangan komoditas minyak mentah, jika diasumsikan harga minyak adalah 50 Dolar per Barel maka negara diluar AS dalam membelanjakan Dolar untuk minyak setahunnya sebesar kurang lebih 2.800 Trilyun Dolar. Selain itu, Minyak adalah komoditas penting dalam perdagangan antar negara. Jika harga minyak didenominasikan dengan Euro, maka akan mendorong Euro untuk lebih diterima sebagai alat tukar perdagangan dunia.
Bagaimana peluang Euro untuk digunakan oleh OPEC ?. OPEC tidak mempunyai kontrol terhadap para penentu harga minyak dunia, serta seluruh infrastruktur di pasar minyak telah dikondisikan dengan Dolar sedemikian rupa agar sulit untuk dirubah begitu saja. Menambahi hal itu, mengutip pendapat Javad Yarjani, kepala Departemen Analisis Pasar Minyak OPEC, yang mengatakan bahwa menentukan untuk tetap memilih Dolar atau beralih ke Euro tidaklah mudah. AS harus menanggung defisit neraca berjalan, sedangkan Euro-Zone relatif memiliki neraca pembayaran yang berimbang. AS adalah pengekspor minyak yang besar sekaligus pengimpor minyak yang besar pula, namun Euro-Zone adalah pengimpor minyak terbesar di dunia. Hubungan minyak dengan Dolar sudah sedemikian kentalnya, peluang OPEC menggunakan Euro sangat terkait dengan sistem penilaian harga minyak saat ini. Sistem untuk penilaian harga minyak didasarkan pada formula yang dihasilkan oleh para penghasil minyak mentah sperti Brent, WTI,
atau Dubai, yang semuanya menggunakan Dolar sebagai alat tukar pembelian minyak, dan menggunakan upaya lindung nilai (hedging) dalam Dolar, serta menggunakan kontrak minyak mentah dengan Dolar. Maka dengan merujuk skim ini, kecil kemungkinan OPEC menerima mata uang selain Dolar. Kecuali masing-masing mereka sendiri yang melakukan switch.
Bagaimana dengan negara-negara Eropa penghasil minyak ?. Tergantung dari produsen minyak utama Eropa, yaitu Inggris dan Norwegia. Bila dua negara ini sepakat menggunakan Euro atau sepakat bergabung ke Euro-Zone maka switch ke Euro hanya tinggal menunggu waktu saja, karena Inggris lah yang menentukan harga Brent yang dijadikan Benchmark bagi produsen lainnya. Saat ini satu-satunya pasar spot yang sudah menggunakan Euro barulah Hamburg saja.
Apakah tak ada anggota OPEC yang mau menerima Euro ?. Pernah ada, yaitu Irak semasa pemerintahan rezim Saddam Hussein. Waktu Saddam pertama kali memelopori pemakian Euro sebagai alat pembayaran minyak produksi negaranya, Euro nilainya baru 0,82 per Dolar. Seiring dengan terkereknya Euro hingga sebesar 22,5%, ikut terkerek pula keuntungan dari kelebihan kurs yang didapatkan Saddam, sampai mencapai ratusan juta Dolar. The Observer pada 26 Februari 2003 memuji langkah cerdik ini dengan menurunkan artikel yang berjudul “Iraq nets handsome profit by dumping Dolar for Euro”.
Apakah ada negara anggota lainnya yang mengikuti langkah ini ?. Langkah ini rupanya diikuti beberapa negara lainnya. Gubernur Bank Sentral Iran segera mengajukan proposal ke parlemen agar disetujui untuk melakukan penjualan hasil minyak hanya dalam Euro. Bahkan separo dari cadangan mata uang negara itu telah dikonversi menjadi Euro. Libya pun mulai mempertimbangkan untuk mengikuti langkah serupa, mendenominasikan pembayaran minyaknya dari Dolar ke Euro. Bahkan Venezuela juga sudah mulai menujukkan tanda-tanda minat terhadap Euro bagi perdagangan minyaknya. Selepas Saddam mengubah penerimaan minyaknya dalam Euro, disusuli dengan serangkaian langkah “simpatik” negara-negara Euro-Zone terhadap masalah Palestina-Israel, menjadi semacam booster bagi terciptanya suatu “unifikasi” bisnis antara beberapa negara arab (non Kuwait dan Arab Saudi) dengan negara-negara Euro-Zone. Mesir-Yordania-Maroko-Tunisia-Algeria-Lebanon-Libya-Mauritania-Palestina-Syria mulai menunjukkan
tanda-tanda untuk mulai merintis kearah pembicaraan pembentukan blok perdagangan baru di kawasan itu. Cina yang “sakit hati” gara-gara Taliban “ditumpas” oleh AS sehingga rencana jaringan pipa minyak dari Asia Tengah ke Cina yang melewati wilayah Afghanistan menjadi buyar, juga mulai mempertimbangkan Euro bagi perdagangan minyaknya, dan berencana mengkonversikan 141 Miliar Dolar cadangan devisanya kedalam Euro. Sergey Ignatyev, Gubernur Russian Central Bank, mulai ancang-ancang menambah cadangan mata uang Euro dalam cadangan devisanya. Kapasitas cadangan Rusia atas mata uang Euro hanya dalam hitungan kurang dari 5 (lima) bulan mulai dari Januari 2003 sampai Mei 2003 meningkat sebesar 2,13 %.
Apa dampak serangkaian langkah terobosan Euro ini terhadap kelangsungan “hegemoni rezim Dolar” di masa mendatang ?. Langkah gerilya Euro ini, dapat menjadi pintu bagi terciptanya “kiamat finansial” bagi AS. Belanja minyak mentah menempati porsi yang sedemikian strategis dan sangat signifikan dalam perdagangan dunia. Jika kemudian sebagian besar anggota OPEC mengkonversikan transaksi minyaknya kedalam Euro, maka Dolar akan terdepresiasi secara drastis.
Dampak lanjutnya adalah negara-negara konsumen minyak pun akan terpaksa menarik cadangan Dolarnya dan digantikan dengan Euro. Jepang, salah satu misalnya, mau tak mau harus menambah cadangan Euro dalam jumlah yang besar untuk pembelian minyaknya. Jepang akan menarik portofolio Dolarnya dan dibelikan Euro, dan yang paling mungkin ditarik adalah Treasury Bills miliknya yang besarnya mencapai 500 Milyar Dolar. Penarikan T-Bills secara besar-besaran ini akan menjadi bencana bagi keuangan AS karena 15 % T-Bills AS dimiliki oleh Jepang. Bola salju rangkaian penggembosan rezim Dolar ini akan menjadikan rush terhadap Dolar, konsekuensinya hegemoni Dolar dalam perdagangan dunia menjadi hilang dan masa keemasan dari nikmatnya Makan Tak Perlu Bayar dan Utang pun Ngemplang bagi Paman Sam, akan berakhir. Lebih buruk lagi, bila dulu dengan Dolarnya, Soros and his gank sangat gemar mempermainkan nasib kehidupan ratusan juta bahkan milyaran rakyat di negara-negara yang mata uangnya
dilemahkannya melalui Dolar, maka hal yang sama mungkin akan berbalik menimpa negara Paman Sam.
Apa reaksi AS terhadap hal ini ?. Serangkaian peristiwa ini oleh beberapa tokoh AS dilihat sebagai sinyal buruk bagi AS. Salah satunya, Henry Kissinger, mantan menlu AS masa pemerintahan Presiden Nixon, mengirimkan nota peringatan yang ditujukannya kepada Washington. Dalam nota tersebut disampaikannya bahwa kejadian sambung-menyambung ini dapat menjadi pangkal “bertambahnya ketegangan” di kawasan Timur Tengah.
Apa kelanjutan dari “gerilya” Euro tersebut ?. Setelah serangkaian langkah terobosan “Euro for Oil” yang terhenti “paksa” seiring dengan kemunculan “era 911” karya cipta kreasinya “Little Bush”, yang kemudian dilanjutkannya dengan invasi ilegal yang dilakukan AS atas kedaulatan Irak. Ke-“jenius”-an “Yunior-nya Bush Senior” ini terbukti begitu digdaya dalam menjarah minyak, merampas kedaulatan sebuah negara yang berdaulat sekaligus juga berarti menggembosi Euro. Selepas itu sampai dengan saat ini belum tercatat Euro telah melakukan lagi serangkaian langkah-langkah terobosan baru yang signifikan.
Apakah andai saja “Rezim Euro” suatu saat nanti berhasil menghabisi hegemoni “Rezim Dolar” maka perdagangan dunia akan lebih berkeadilan ?. Jika arsitektur sistem moneter dunia masih tetap mengacu dengan skim yang sama, hanya beralih juragan yang “diper-tuan-nya” saja, maka kata keadilan belum dalam skala prioritas untuk terwujud. Perdagangan dunia dengan arsitektur sistem moneter sekarang ini yang bias dalam nilai intrinsik dan nilai tukarnya, seringkali sangat merugikan negara-negara pinggiran seperti negara berkembang karena resiko kurs yang kerapkali naik-turun dengan liar. Belum lagi karena bias dalam nilai tukar menjadikannya rentan menjadi subyek dan obyek tindakan-tindakan spekulatif-manipulatif seperti yang dilakukan oleh para spekulan seperti geng-nya Soros yang bagaikan segerombolan “Vampire” yang dahaganya tak pernah terpuaskan, bergentayangan menghisap “Darah” dan mencabuti “Nyawa” rakyat-rakyat di negara-negara ketiga.
Mata uang yang bagaimanakah yang ideal agar perdagangan dunia lebih berkeadilan ?. Pertama, mata uang itu harus stabil serta terjaga dari pergerakan kurs yang liar. Kedua, mata uang ini harus tahan dari inflasi untuk jangka waktu yang panjang. Ketiga, mata uang itu mempunyai nilai instrinsik yang bisa menjamin dirinya sendiri dan tetap bernilai dimanapun tempatnya. Keempat, mata uang itu tidak menyulitkan dalam pemakaian dan penyimpanannya.
Apakah Dolar dan Euro tak mempunyai kriteria-kriteria itu ?. Pertama, soal kestabilan nilai dan kurs. Dolar maupun Euro memang “relatif” stabil dibandingkan Yen apalagi dengan mata uang dunia ketiga. Namun persoalannya adalah seberapa stabilkah ?. Saat ini memang Euro terapresiasi terhadap Dolar, namun apabila dikemudian hari, ekonominya mengalami kemerosotan kinerja seperti AS sekarang ini maka euro pun akan mempunyai potensi besar untuk tergerogoti nilainya dan kursnya pun akan berpotensi naik-turun dengan liar. Kedua, soal inflasi. Dolar maupun Euro relatif amat tidak kebal inflasi, apalagi Rupiah lebih amat sangat rentan sekali terhadap inflasi. Tahun 1972,dalam sistim Bretton Wood, tiap ounce emas setara dengan 35 Dolar. Tahun 2001, satu ounce emas kira-kira nilainya sama dengan 274 Dolar. Berarti selama 30 tahun, nilai Dolar mengalami inflasi sampai sebesar 800 % . Ketiga, Dolar maupun Euro dan juga hampir seluruh mata uang kertas didunia saat ini, memiliki
nilai intrisik yang amat sangat rendah sekali dibandingkan dengan nilai nominalnya. Selembar uang kertas 100 Dolar mempunyai nilai nominal sesuai yang tertera dalam lembaran uang itu yaitu 100 Dolar, namun lembaran uang kertas itu nilai intrinsik dilihat dari harga kertas uangnya dan ongkos pembuatannya mungkin hanya beberapa Sen Dolar saja. Keadaan ini sangat rentan menjadi subyek manipulasi, seperti yang dialami dunia ketiga pada krisis keuangan Asia yang lalu, dimana bilur-bilur lukanya masih menganga dan menyakitkan. Apalagi perlu diingat bahwa semenjak tahun 1934, perputaran uang kertas diseluruh AS tak lagi mendapat jaminan atau tak lagi mencerminkan atau mewakili suatu nilai dari emas atau perak, tergantung dari demand and supply saja.
Apa konsekuensi dari sitem moneter yang berfalsafahkan Demand and Supply semata itu ?. Dengan keadaan kompleksitas sistem moneter model ini, maka The Fed dapat mencetak uang lebih banyak dengan konsekuensi yang berbeda dengan negara-negara ketiga, maka tak pelak lagi, tentu yang teruntungkan hanya Paman Sam beserta para juragan-juragan dinegara maju saja. Keempat, soal kepraktisan. Boleh dikatakan memang semua mata uang kertas sangat praktis untuk dibawa, disimpan, maupun digunakan. Maka dari empat kriteria, boleh dikatakan mata uang yang ada saat ini hanya memenuhi kriteria dari segi kepraktisan saja.
Apakah kira-kira ada yang berpotensi mempunyai memenuhi keempat kriteria itu ?. Secara teoritis, Emas juga Perak, paling tidak memenuhi tiga kriteria sebagai mata uang yang ideal dan berkeadilan, hanya dari segi kepraktisannya saja masih dianggap dirasakan relatif masih kurang -walau sesungguhnya tak terlalu menggangu- perlu dicarikan solusinya. Emas dan Perak terbukti sangat tahan inflasi. Sebagai contoh ekstrimnya, pada zaman Nabi Muhammad SAW, harga seekor ayam bisa dibeli dengan harga 1 Dirham. 1 (satu) Dirham adalah Perak Murni 95 % seberat 3 (tiga) Gram. Setelah 1.400 tahun kemudian, Desember 2002, harga ayam masih terbeli dengan 1 Dirham, setara dengan Rp.11.158,00. Mana ada mata uang lainnya yang mampu mempunyai nilai nominal sekaligus nilai intrinsik yang sedemikian tegar sepanjang masa seperti itu ?. Selain itu, emas dan perak juga tak memerlukan intervensi Bank Sentral untuk menjamin nilainya, fungsi uang dikembalikan kepada fungsi aslinya, sehingga menutup
ruang untuk tindakan spekulatif-manipulatif.
Mengapa jika sedemikian ideal dan berkeadilan, justru tidak ada yang berniat dengan sesungguh hati untuk memakainya kembali sebagai mata uang ?. Banyak dalih argumen yang dilontarkan oleh para penentangnya, antara lain dalam soal kepraktisan, dan menutup peluang keunggulan kompetitifnya sebuah produk. Dikatakan ada resiko bagi pemakai emas dan perak sebagai mata uang, dimana mata uang itu akan mengalami apresiasi yang berlebihan dibandingkan dengan mata uang lainnya. Sebagai akibat apresiasi yang berlebihan tersebut maka negara pemakai akan mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya, contohnya adalah Jepang akan terugikan jika Yen menguat terlalu tinggi terhadap Dolar. Memang mungkin dalam jangka pendek ada potensi resiko itu, namun dengan karakter dasarnya yang tahan terhadap inflasi maka dalam jangka menengah dan jangka panjang justru akan merupakan keunggulan yang akan menguntungkan pemasaran produknya. Namun terlepas dari semua itu, ada soal “ketidakrelaan”
yang “manusiawi” dari para juragan-juragan termasuk Paman Sam untuk melepaskan kenikmatan tiada tara yang mereka dapatkan dalam sistem moneter yang berlaku saat ini, sekalipun itu berarti juga sebuah penghisapan yang dibungkus dengan santun dan sistematis. Juga tak dapat dilepaskan faktor “keengganan” dari para “juragan cilik” yang berkuasa di negara-negara ketiga sebagai akibat lanjut dari Paman Sam yang membelanjakan ceknya untuk membeli apa saja, termasuk -tak dapat dinafikan kemungkinannya- digunakan juga untuk membeli “pemerintahan sebuah negara” beserta “kedaulatan negara-nya”.
Akhirulkalam, tidak ada “nujum” yang sedemikian ampuh yang tahu masa depan dengan “pasti”, namun yang terlihat jelas adalah Paman Sam melalui “911” dan “operasi pembebasan”-nya di Irak telah memberikan “pesan” yang sangat jelas bagi para “pembangkang”-nya. Dan dengan semakin mengglobalnya perdagangan dunia dimana dunia yang begitu terbelit ekonominya satu sama lainnya, maka sepertinya mendung ketidakadilan masih akan melingkupi dunia, dan dunia pun masih harus tetap ”menghamba” kepada rezim Dolar yang masih akan terus mencengkeram perdagangan dunia dan menjarah kekayaan dunia. Sementara itu dalam waktu dekat ini belum terlihat ada yang mempunyai cukup kemauan dan kekuatan yang dapat memberikan “perlawanan” yang cukup berarti bagi Sang Adidaya Ekonomi dan Militer se-Jagad Raya ini.
Wallahu’alambishawab.
***
Tulisan ini disadur dari buku “ Dolar vs Euro : Awal Kebangkrutan AS ? “ yang ditulis oleh M. Luthfi Hamidi dan diterbitkan oleh Senayan Abadi Publishing - Jakarta ,
***
sumber :
mailis syiar-islam@yahoogroups.com
There is no free lunch, demikian sebuah ungkapan yang berlaku umum dalam zaman Neo-Liberalisme. Namun ungkapan itu hanya cocok buat negara pinggiran diluar AS. Berkat “kelihaian” (mungkin juga dapat disebut sebagai kelicikan) Paman Sam selama ini mampu membuat pengecualian, sehingga ungkapan ini tak berlaku untuk perekonomian negara AS, negara Sang Adidaya Ekonomi dan Militer sejagad. Bagaimana bisa ?.
“...Perdagangan dunia sekarang, tak lebih dari sekedar permainan dimana AS menyediakan Dolar dan negara lainnya menyediakan Komoditas yang bisa dibeli dengan Dolar. Dunia yang begitu terbelit ekonominya satu sama lainnya, berupaya keras untuk melakukan hubungan dagang dengan harapan memperoleh keuntungan komparatif. Mereka bersaing denga menggenjot eksport untuk sebesar-besarnya mendapatkan Dolar, yang pada akhirnya bisa dipakai untuk membayar utang negara dalam bentuk Dolar, dan untuk mempertebal cadangan devisa agar nilai tukar Mata Uang Domestiknya terpelihara...” Demikian yang ditulis Asia Times pada 11 April 2002.
Paman Sam yang pemalas dalam menabung, ingin semua kebutuhan dan keinginannya lancar terpenuhi. Tak sekedar ingin tercukupi saja, tapi ingin berlebih. Setiap hari kerjanya hanya menulis cek, selanjutnya dengan cek itu apa pun juga di-“beli”-nya. Termasuk untuk membeli “pemerintahan sebuah negara”, bahkan mungkin termasuk juga untuk membeli “kedaulatan sebuah negara”.
Kaya-Raya-kah Paman Sam ?, tidak juga. Dia sesungguhnya tidak punya cukup uang direkeningnya, sebanyak jumlah nominal cek yang dikeluarkannya itu. Bisa disebut cek yang ditulisnya itu adalah “cek kosong yang ajaib”. Disebut ajaib, karena semestinya cek ini ditolak mentah-mentah oleh oleh bank-bank. Walau pun dia mempunyai aset dan kekayaan, namun jumlah uang direkeningnya ditambah dengan aset dan kekayaannya itu, sebenarnya jumlahnya itu “tidak sepadan” untuk menjamin cek yang dikeluarkannya itu.
Namun seluruh pedagang minyak -sebuah kartel dagang paling digdaya sejagad- terkenal sangat fanatik dengan jenis cek yang ditulis oleh si Paman Sam ini- sejak tahun 1971 -dibawah naungan perjanjian OPEC- seluruh anggotanya telah dengan “ikhlas dan sukarela” menjadikan Dolar sebagai satu-satunya alat tukar dalam transaksi jual-beli minyaknya. Sehingga untuk keperluan pembayaran seluruh produksi “emas hitam”-nya itu, para anggota Negara-Negara Pengekspor Minyak hanya mau menerima pembayaran dengan cek jenis ini. Para pedagang komoditas lainnya diluar minyak, juga ikut-ikutan latah, dalam transaksinya hanya memakai cek ini sebagai alat tukar.
Produksi minyak mentah dunia kurang lebih 75 Trilyun Barel per Tahun, jika diasumsikan harganya 50 Dolar per Barel, maka itu berarti dalam setahunnya, dunia membelanjakan Dolar dalam perdagangan minyak sebesar 3.750 Trilyun Dolar. Konsumsi minyak AS diperkirakan sebesar 25 % dari total produksi minyak mentah dunia, maka andil negara-negara diluar AS dalam membelanjakan Dolar untuk minyak setahunnya sebesar kurang lebih 2.800 Trilyun Dolar. Tahun 1995, menurut data UNCTAD-WB-WTO, mata uang eksport dunia dalam Dolar sebesar 47,6 %, dalam DM 15,3 %, dalam Yen 4,8 %.
Satu hal yang tak pernah dilakukan oleh para penerima cek itu, yaitu tidak pernah ada diantara para penerima cek itu yang datang ke bank untuk mencairkan atau menagihnya. Entah mengapa, mungkin karena para penerima cek Paman Sam ini merasa tak memerlukannya, bisa jadi juga karena terhipnotis oleh daya sihirnya sehingga haqqul yakin dengan jaminan nilai cek Paman Sam itu. Ini berarti, setiap penerima cek akhirnya hanya menimbun saja cek itu, bahkan ada beberapa penerima cek yang menjadikan cek kosong nan ajaib ini hanya bagaikan barang koleksi saja.
Tahun 1995, menurut data UNCTAD-WB-WTO, “Koleksi” Dolar di negara-negara berkembang dalam cadangan devisanya sebanyak 63,5 %, dalam DM sebesar 15,6 %, dalam Yen sebesar 8,3 %. “Jeratan” utang dalam bentuk Dolar di negara-negara berkembang sebesar 50 %, sedangkan “belitan” utang dalam Yen sebesar 18 %. Simpanan bank asing dalam bentuk Dolar sebesar 47,5 %, dalam DM sebesar 18,4 %, dalam Yen sebesar 4,2 %.
Dengan kata lain, selama ini Paman Sam sesungguhnya telah membukukan “utang” dalam catatan buku akutansi para penerima cek itu. Namun selama cek itu tak pernah sampai ke bank untuk dicairkan, maka Paman Sam “terbebas” dari kewajibannya membayar utangnya. Sementara utang-utangnya terus bertambah, Paman Sam terus asyik menuliskan cek alias terus mencetak lebih banyak lagi Dolar. Sementara negara-negara lain harus berlomba-lomba menyediakan komoditi yang kompetitif -tuna dan kayu dari Indonesia, karet dan sawit dari Malaysia, kopi dari Brazilia, minyak dari Timur Tengah dan Kaspia- untuk dapat ditukar dengan lembaran “cek kosong” yang bernama Dolar, dimana sesungguhnya “secara instrinsik nilainya amat sangat murah sekali”. Dengan –strategi Makan Gratis dan Utang Tak Dibayar- inilah Paman Sam yang “flamboyan sekaligus juga jumawa dan arogan” dapat membeli apa saja keperluan dan semua kebutuhan serta segala keinginannya secara “gratis”.
Sampai kapan Paman Sam dengan Dolar-nya akan terus mendominasi dunia ?. Secara teoritis, akan terus mendominasi sampai pada suatu masa dimana muncul “pesaing”-nya. Pesaing yang akan mampu mengimbanginya haruslah didukung oleh suatu negara atau sekumpulan negara yang mempunyai fundamental ekonomi yang cukup baik, diimbangi dengan produk domestik brutto yang cukup besar, disertai penguasaan pangsa perdagangan yang besarnya sejajar atau digunakan dalam perdagangan global dunia dengan porsi yang besarnya sebanding.
Apakah fundamental ekonomi AS sedemikian bagus ?. Sebenarnya tidak juga, sebagai raksasa ekonomi, AS menghadapi banyak “kontradiksi” didalam perekonomiannya. Defisit neraca transaksi berjalan yang menggila (tahun 2000 mendekati 400 Milyar Dolar), utang-nya luar biasa besar, rendahnya tabungan pemerintah yang diiringi penurunan tajam tabungan swasta, semakin kempisnya investasi internasional bersih (akhir tahun 2000 pada nilai pasar mencapai negatif 1,583 Trilyun Dolar dan akhir tahun 2001 melonjak menjadi negatif 2,309 Trilyun Dolar), tingkat pertumbuhan ekonomi secara riil melambat disertai tingkat pengangguran yang makin merebak, dan sebagainya.
Robert Mundel, profesor ekonomi Universitas Columbia, yang juga peraih nobel bidang ekonomi tahun 1999, mengatakan : “...selama lima belas tahun terakhir, neraca pembayaran AS mengalami defisit yang mengubah AS dari negara kreditor jadi negara debitor, pengutang terbesar. Rendahnya tabungan, yang diperburuk dengan tingginya utang, suatu hari nanti akan balik menikam. Akan tiba masa ketika penumpukan utang internasional itu membuat kepercayaan terhadap dolar tidak bisa dipertahankan...”
Apakah tak ada satupun negara yang mempunyai fundamental ekonomi yang lebih baik daripada AS ?. Ada, bahkan ada beberapa, namun mereka tak mempunyai produk nasional yang besarnya sebanding dengan PDB-nya AS.
Bagaimana defisitnya akan dibiayai oleh AS ?. Mungkin hal itu mudah saja bagi Paman Sam, salah satunya dibiayai dengan cara mencetak Dolar sebanyak-banyaknya yang dibutuhkannya. Apakah tak menimbulkan inflasi ?. Mungkin memang akan begitu, tetapi asalkan Dolar masih tetap dijadikan mata uang jangkar dalam sistem moneter dunia, sedangkan mata uang lainnya nilainya ditetapkan terhadap Dolar. Serta Dolar masih tetap dijadikan alat tukar utama dalam perdagangan dunia, dimana orang-orang berpergian, Dolar yang pertama diterima, investasi masih dikaitkan dengan Dolar, utang antar negara masih didenominasikan dengan Dolar, transaksi perdagangan antar negara masih mengutamakan menggunakan Dolar, yang mana “kepercayaan” dunia terhadap AS masih sangat “terpatri” kuat sehingga mereka masih menerima-menggunakan-menyimpan Dolar, maka Paman Sam mungkin memang tak perlu musti merasa untuk perlu terlalu khawatir.
Apakah sekarang ini tak ada yang berpotensi untuk menjadi pesaingnya yang tangguh ?. Bisa jadi sudah ada, Euro berpotensi untuk itu. Sebab secara teoritis, Euro sebagai mata uang tunggal beberapa negara Masyarakat Ekonomi Eropa, memiliki modal awal persyaratan menjadi pesaing Dolar. Dimana Euro didukung sekumpulan negara yang memiliki fundamental ekonomi cukup baik, serta gabungan produk domestik bruttonya cukup besar. Hanya Euro masih perlu lebih memperbesar lagi penguasaan pangsa perdagangan. Serta belajar dari Jepang yang sebetulnya secara GDP dan share perdagangannya besar namun gagal menjadi mata uang utama dunia, maka Euro harus lebih ekstra keras lagi “berjuang” untuk memperbesar porsi digunakannya sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan dunia.
Pada tahun 1969, Profesor Robert Mundel, pernah meramalkan bahwa melalui penyatuan mata uang di Eropa, akan lahir mata uang baru yang bisa menjadi pesaing Dolar. Tahun 1998, dalam rangka menyongsong kelahiran Euro, ia mengatakan : “...Euro akan menjadi penantang posisi Dolar. Ini bagian terpenting bagi sejarah sistem moneter internasional sejak Dolar mengambil alih supremasi Poundsterling sebagai alat tukar yang dominan di penjuru jagad setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama...”
Bagaimana peta kekuatan antara Dolar dengan Euro ?. Menurut data UNCTAD-WB-WTO, secara keseluruhan Dolar masih lebih unggul. Pertama, dilihat dari sisi out put produksi dan GDP serta nilai perdagangan barang dan jasa, antara AS dengan Uni Eropa maka Uni Eropa lebih unggul dibandingkan AS. Namun jika diperbandingkan antara negara Uni Eropa yang masuk dalam mata uang tunggal Euro dengan AS, maka Euro masih kalah dibandingkan Dolar. Kedua, dalam pangsa pasar mata uang yang beredar maka Dolar masih lebih unggul dibanding Euro. Ketiga, dalam mata uang eksport-import, penguasaan aset swasta internasional, Dolar masih unggul tipis dibandingkan Euro.
Bagaimana kurs diantara keduanya ?. 4 (empat) hari setelah peluncuran Euro tanggal 1 Januari 1999, nilai Euro di pasar mencapai 1,19 Dolar. Pada 3 Desember 1999, Euro terhempas dibawah 1 (satu) Dolar. Kemudian, Euro kembali menguat. Namun di penghujung tahun 2000 Euro sempat terperosok sampai mencapai 0,85 per Dolar. Penguatan Euro berjalan terus, sampai kemudian per 19 Maret 2003 mencapai 1,063 per Dolar.
Apakah trend penguatan Euro akan berjalan terus ?. Sulit diramalkan secara pasti, namun apabila semakin banyak negara yang melakukan transaksi perdagangan antar negara dengan memakai Euro, atau semakin banyak komoditas perdagangan yang dalam transaksi perdagangannya menggunakan Euro sebagai alat tukarnya, maka trend penguatan Euro akan berjalan terus dan ketergantungan dunia terhadap Dolar akan menjadi berkurang.
Komoditas perdagangan dunia apa yang paling potensial dan paling strategis untuk diperjuangkan oleh negara-negara Euro agar dapat didenominasikan dengan Euro, sehingga dapat membuat semakin kuat posisi Euro dimasa depan sebagai alat tukar utama dunia ?. Perdagangan komoditas minyak mentah, jika diasumsikan harga minyak adalah 50 Dolar per Barel maka negara diluar AS dalam membelanjakan Dolar untuk minyak setahunnya sebesar kurang lebih 2.800 Trilyun Dolar. Selain itu, Minyak adalah komoditas penting dalam perdagangan antar negara. Jika harga minyak didenominasikan dengan Euro, maka akan mendorong Euro untuk lebih diterima sebagai alat tukar perdagangan dunia.
Bagaimana peluang Euro untuk digunakan oleh OPEC ?. OPEC tidak mempunyai kontrol terhadap para penentu harga minyak dunia, serta seluruh infrastruktur di pasar minyak telah dikondisikan dengan Dolar sedemikian rupa agar sulit untuk dirubah begitu saja. Menambahi hal itu, mengutip pendapat Javad Yarjani, kepala Departemen Analisis Pasar Minyak OPEC, yang mengatakan bahwa menentukan untuk tetap memilih Dolar atau beralih ke Euro tidaklah mudah. AS harus menanggung defisit neraca berjalan, sedangkan Euro-Zone relatif memiliki neraca pembayaran yang berimbang. AS adalah pengekspor minyak yang besar sekaligus pengimpor minyak yang besar pula, namun Euro-Zone adalah pengimpor minyak terbesar di dunia. Hubungan minyak dengan Dolar sudah sedemikian kentalnya, peluang OPEC menggunakan Euro sangat terkait dengan sistem penilaian harga minyak saat ini. Sistem untuk penilaian harga minyak didasarkan pada formula yang dihasilkan oleh para penghasil minyak mentah sperti Brent, WTI,
atau Dubai, yang semuanya menggunakan Dolar sebagai alat tukar pembelian minyak, dan menggunakan upaya lindung nilai (hedging) dalam Dolar, serta menggunakan kontrak minyak mentah dengan Dolar. Maka dengan merujuk skim ini, kecil kemungkinan OPEC menerima mata uang selain Dolar. Kecuali masing-masing mereka sendiri yang melakukan switch.
Bagaimana dengan negara-negara Eropa penghasil minyak ?. Tergantung dari produsen minyak utama Eropa, yaitu Inggris dan Norwegia. Bila dua negara ini sepakat menggunakan Euro atau sepakat bergabung ke Euro-Zone maka switch ke Euro hanya tinggal menunggu waktu saja, karena Inggris lah yang menentukan harga Brent yang dijadikan Benchmark bagi produsen lainnya. Saat ini satu-satunya pasar spot yang sudah menggunakan Euro barulah Hamburg saja.
Apakah tak ada anggota OPEC yang mau menerima Euro ?. Pernah ada, yaitu Irak semasa pemerintahan rezim Saddam Hussein. Waktu Saddam pertama kali memelopori pemakian Euro sebagai alat pembayaran minyak produksi negaranya, Euro nilainya baru 0,82 per Dolar. Seiring dengan terkereknya Euro hingga sebesar 22,5%, ikut terkerek pula keuntungan dari kelebihan kurs yang didapatkan Saddam, sampai mencapai ratusan juta Dolar. The Observer pada 26 Februari 2003 memuji langkah cerdik ini dengan menurunkan artikel yang berjudul “Iraq nets handsome profit by dumping Dolar for Euro”.
Apakah ada negara anggota lainnya yang mengikuti langkah ini ?. Langkah ini rupanya diikuti beberapa negara lainnya. Gubernur Bank Sentral Iran segera mengajukan proposal ke parlemen agar disetujui untuk melakukan penjualan hasil minyak hanya dalam Euro. Bahkan separo dari cadangan mata uang negara itu telah dikonversi menjadi Euro. Libya pun mulai mempertimbangkan untuk mengikuti langkah serupa, mendenominasikan pembayaran minyaknya dari Dolar ke Euro. Bahkan Venezuela juga sudah mulai menujukkan tanda-tanda minat terhadap Euro bagi perdagangan minyaknya. Selepas Saddam mengubah penerimaan minyaknya dalam Euro, disusuli dengan serangkaian langkah “simpatik” negara-negara Euro-Zone terhadap masalah Palestina-Israel, menjadi semacam booster bagi terciptanya suatu “unifikasi” bisnis antara beberapa negara arab (non Kuwait dan Arab Saudi) dengan negara-negara Euro-Zone. Mesir-Yordania-Maroko-Tunisia-Algeria-Lebanon-Libya-Mauritania-Palestina-Syria mulai menunjukkan
tanda-tanda untuk mulai merintis kearah pembicaraan pembentukan blok perdagangan baru di kawasan itu. Cina yang “sakit hati” gara-gara Taliban “ditumpas” oleh AS sehingga rencana jaringan pipa minyak dari Asia Tengah ke Cina yang melewati wilayah Afghanistan menjadi buyar, juga mulai mempertimbangkan Euro bagi perdagangan minyaknya, dan berencana mengkonversikan 141 Miliar Dolar cadangan devisanya kedalam Euro. Sergey Ignatyev, Gubernur Russian Central Bank, mulai ancang-ancang menambah cadangan mata uang Euro dalam cadangan devisanya. Kapasitas cadangan Rusia atas mata uang Euro hanya dalam hitungan kurang dari 5 (lima) bulan mulai dari Januari 2003 sampai Mei 2003 meningkat sebesar 2,13 %.
Apa dampak serangkaian langkah terobosan Euro ini terhadap kelangsungan “hegemoni rezim Dolar” di masa mendatang ?. Langkah gerilya Euro ini, dapat menjadi pintu bagi terciptanya “kiamat finansial” bagi AS. Belanja minyak mentah menempati porsi yang sedemikian strategis dan sangat signifikan dalam perdagangan dunia. Jika kemudian sebagian besar anggota OPEC mengkonversikan transaksi minyaknya kedalam Euro, maka Dolar akan terdepresiasi secara drastis.
Dampak lanjutnya adalah negara-negara konsumen minyak pun akan terpaksa menarik cadangan Dolarnya dan digantikan dengan Euro. Jepang, salah satu misalnya, mau tak mau harus menambah cadangan Euro dalam jumlah yang besar untuk pembelian minyaknya. Jepang akan menarik portofolio Dolarnya dan dibelikan Euro, dan yang paling mungkin ditarik adalah Treasury Bills miliknya yang besarnya mencapai 500 Milyar Dolar. Penarikan T-Bills secara besar-besaran ini akan menjadi bencana bagi keuangan AS karena 15 % T-Bills AS dimiliki oleh Jepang. Bola salju rangkaian penggembosan rezim Dolar ini akan menjadikan rush terhadap Dolar, konsekuensinya hegemoni Dolar dalam perdagangan dunia menjadi hilang dan masa keemasan dari nikmatnya Makan Tak Perlu Bayar dan Utang pun Ngemplang bagi Paman Sam, akan berakhir. Lebih buruk lagi, bila dulu dengan Dolarnya, Soros and his gank sangat gemar mempermainkan nasib kehidupan ratusan juta bahkan milyaran rakyat di negara-negara yang mata uangnya
dilemahkannya melalui Dolar, maka hal yang sama mungkin akan berbalik menimpa negara Paman Sam.
Apa reaksi AS terhadap hal ini ?. Serangkaian peristiwa ini oleh beberapa tokoh AS dilihat sebagai sinyal buruk bagi AS. Salah satunya, Henry Kissinger, mantan menlu AS masa pemerintahan Presiden Nixon, mengirimkan nota peringatan yang ditujukannya kepada Washington. Dalam nota tersebut disampaikannya bahwa kejadian sambung-menyambung ini dapat menjadi pangkal “bertambahnya ketegangan” di kawasan Timur Tengah.
Apa kelanjutan dari “gerilya” Euro tersebut ?. Setelah serangkaian langkah terobosan “Euro for Oil” yang terhenti “paksa” seiring dengan kemunculan “era 911” karya cipta kreasinya “Little Bush”, yang kemudian dilanjutkannya dengan invasi ilegal yang dilakukan AS atas kedaulatan Irak. Ke-“jenius”-an “Yunior-nya Bush Senior” ini terbukti begitu digdaya dalam menjarah minyak, merampas kedaulatan sebuah negara yang berdaulat sekaligus juga berarti menggembosi Euro. Selepas itu sampai dengan saat ini belum tercatat Euro telah melakukan lagi serangkaian langkah-langkah terobosan baru yang signifikan.
Apakah andai saja “Rezim Euro” suatu saat nanti berhasil menghabisi hegemoni “Rezim Dolar” maka perdagangan dunia akan lebih berkeadilan ?. Jika arsitektur sistem moneter dunia masih tetap mengacu dengan skim yang sama, hanya beralih juragan yang “diper-tuan-nya” saja, maka kata keadilan belum dalam skala prioritas untuk terwujud. Perdagangan dunia dengan arsitektur sistem moneter sekarang ini yang bias dalam nilai intrinsik dan nilai tukarnya, seringkali sangat merugikan negara-negara pinggiran seperti negara berkembang karena resiko kurs yang kerapkali naik-turun dengan liar. Belum lagi karena bias dalam nilai tukar menjadikannya rentan menjadi subyek dan obyek tindakan-tindakan spekulatif-manipulatif seperti yang dilakukan oleh para spekulan seperti geng-nya Soros yang bagaikan segerombolan “Vampire” yang dahaganya tak pernah terpuaskan, bergentayangan menghisap “Darah” dan mencabuti “Nyawa” rakyat-rakyat di negara-negara ketiga.
Mata uang yang bagaimanakah yang ideal agar perdagangan dunia lebih berkeadilan ?. Pertama, mata uang itu harus stabil serta terjaga dari pergerakan kurs yang liar. Kedua, mata uang ini harus tahan dari inflasi untuk jangka waktu yang panjang. Ketiga, mata uang itu mempunyai nilai instrinsik yang bisa menjamin dirinya sendiri dan tetap bernilai dimanapun tempatnya. Keempat, mata uang itu tidak menyulitkan dalam pemakaian dan penyimpanannya.
Apakah Dolar dan Euro tak mempunyai kriteria-kriteria itu ?. Pertama, soal kestabilan nilai dan kurs. Dolar maupun Euro memang “relatif” stabil dibandingkan Yen apalagi dengan mata uang dunia ketiga. Namun persoalannya adalah seberapa stabilkah ?. Saat ini memang Euro terapresiasi terhadap Dolar, namun apabila dikemudian hari, ekonominya mengalami kemerosotan kinerja seperti AS sekarang ini maka euro pun akan mempunyai potensi besar untuk tergerogoti nilainya dan kursnya pun akan berpotensi naik-turun dengan liar. Kedua, soal inflasi. Dolar maupun Euro relatif amat tidak kebal inflasi, apalagi Rupiah lebih amat sangat rentan sekali terhadap inflasi. Tahun 1972,dalam sistim Bretton Wood, tiap ounce emas setara dengan 35 Dolar. Tahun 2001, satu ounce emas kira-kira nilainya sama dengan 274 Dolar. Berarti selama 30 tahun, nilai Dolar mengalami inflasi sampai sebesar 800 % . Ketiga, Dolar maupun Euro dan juga hampir seluruh mata uang kertas didunia saat ini, memiliki
nilai intrisik yang amat sangat rendah sekali dibandingkan dengan nilai nominalnya. Selembar uang kertas 100 Dolar mempunyai nilai nominal sesuai yang tertera dalam lembaran uang itu yaitu 100 Dolar, namun lembaran uang kertas itu nilai intrinsik dilihat dari harga kertas uangnya dan ongkos pembuatannya mungkin hanya beberapa Sen Dolar saja. Keadaan ini sangat rentan menjadi subyek manipulasi, seperti yang dialami dunia ketiga pada krisis keuangan Asia yang lalu, dimana bilur-bilur lukanya masih menganga dan menyakitkan. Apalagi perlu diingat bahwa semenjak tahun 1934, perputaran uang kertas diseluruh AS tak lagi mendapat jaminan atau tak lagi mencerminkan atau mewakili suatu nilai dari emas atau perak, tergantung dari demand and supply saja.
Apa konsekuensi dari sitem moneter yang berfalsafahkan Demand and Supply semata itu ?. Dengan keadaan kompleksitas sistem moneter model ini, maka The Fed dapat mencetak uang lebih banyak dengan konsekuensi yang berbeda dengan negara-negara ketiga, maka tak pelak lagi, tentu yang teruntungkan hanya Paman Sam beserta para juragan-juragan dinegara maju saja. Keempat, soal kepraktisan. Boleh dikatakan memang semua mata uang kertas sangat praktis untuk dibawa, disimpan, maupun digunakan. Maka dari empat kriteria, boleh dikatakan mata uang yang ada saat ini hanya memenuhi kriteria dari segi kepraktisan saja.
Apakah kira-kira ada yang berpotensi mempunyai memenuhi keempat kriteria itu ?. Secara teoritis, Emas juga Perak, paling tidak memenuhi tiga kriteria sebagai mata uang yang ideal dan berkeadilan, hanya dari segi kepraktisannya saja masih dianggap dirasakan relatif masih kurang -walau sesungguhnya tak terlalu menggangu- perlu dicarikan solusinya. Emas dan Perak terbukti sangat tahan inflasi. Sebagai contoh ekstrimnya, pada zaman Nabi Muhammad SAW, harga seekor ayam bisa dibeli dengan harga 1 Dirham. 1 (satu) Dirham adalah Perak Murni 95 % seberat 3 (tiga) Gram. Setelah 1.400 tahun kemudian, Desember 2002, harga ayam masih terbeli dengan 1 Dirham, setara dengan Rp.11.158,00. Mana ada mata uang lainnya yang mampu mempunyai nilai nominal sekaligus nilai intrinsik yang sedemikian tegar sepanjang masa seperti itu ?. Selain itu, emas dan perak juga tak memerlukan intervensi Bank Sentral untuk menjamin nilainya, fungsi uang dikembalikan kepada fungsi aslinya, sehingga menutup
ruang untuk tindakan spekulatif-manipulatif.
Mengapa jika sedemikian ideal dan berkeadilan, justru tidak ada yang berniat dengan sesungguh hati untuk memakainya kembali sebagai mata uang ?. Banyak dalih argumen yang dilontarkan oleh para penentangnya, antara lain dalam soal kepraktisan, dan menutup peluang keunggulan kompetitifnya sebuah produk. Dikatakan ada resiko bagi pemakai emas dan perak sebagai mata uang, dimana mata uang itu akan mengalami apresiasi yang berlebihan dibandingkan dengan mata uang lainnya. Sebagai akibat apresiasi yang berlebihan tersebut maka negara pemakai akan mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya, contohnya adalah Jepang akan terugikan jika Yen menguat terlalu tinggi terhadap Dolar. Memang mungkin dalam jangka pendek ada potensi resiko itu, namun dengan karakter dasarnya yang tahan terhadap inflasi maka dalam jangka menengah dan jangka panjang justru akan merupakan keunggulan yang akan menguntungkan pemasaran produknya. Namun terlepas dari semua itu, ada soal “ketidakrelaan”
yang “manusiawi” dari para juragan-juragan termasuk Paman Sam untuk melepaskan kenikmatan tiada tara yang mereka dapatkan dalam sistem moneter yang berlaku saat ini, sekalipun itu berarti juga sebuah penghisapan yang dibungkus dengan santun dan sistematis. Juga tak dapat dilepaskan faktor “keengganan” dari para “juragan cilik” yang berkuasa di negara-negara ketiga sebagai akibat lanjut dari Paman Sam yang membelanjakan ceknya untuk membeli apa saja, termasuk -tak dapat dinafikan kemungkinannya- digunakan juga untuk membeli “pemerintahan sebuah negara” beserta “kedaulatan negara-nya”.
Akhirulkalam, tidak ada “nujum” yang sedemikian ampuh yang tahu masa depan dengan “pasti”, namun yang terlihat jelas adalah Paman Sam melalui “911” dan “operasi pembebasan”-nya di Irak telah memberikan “pesan” yang sangat jelas bagi para “pembangkang”-nya. Dan dengan semakin mengglobalnya perdagangan dunia dimana dunia yang begitu terbelit ekonominya satu sama lainnya, maka sepertinya mendung ketidakadilan masih akan melingkupi dunia, dan dunia pun masih harus tetap ”menghamba” kepada rezim Dolar yang masih akan terus mencengkeram perdagangan dunia dan menjarah kekayaan dunia. Sementara itu dalam waktu dekat ini belum terlihat ada yang mempunyai cukup kemauan dan kekuatan yang dapat memberikan “perlawanan” yang cukup berarti bagi Sang Adidaya Ekonomi dan Militer se-Jagad Raya ini.
Wallahu’alambishawab.
***
Tulisan ini disadur dari buku “ Dolar vs Euro : Awal Kebangkrutan AS ? “ yang ditulis oleh M. Luthfi Hamidi dan diterbitkan oleh Senayan Abadi Publishing - Jakarta ,
***
sumber :
mailis syiar-islam@yahoogroups.com
Label:
Issue global
No Response to "Rezim Dolar dan Perdagangan Dunia"
Posting Komentar