Kisah - Kisah Tsunami
Sapti (52 th), Madasari 001
“Geuning teu dek Jebul?”
Hari itu, Senin (17/7/06) sore. Waktu kira-kira menunjukkan pukul 15.30 WIB. Sore ini, tak seperti biasanya aku, Saodah, dan Bi Panem ngobrol-ngobrol di teras rumah Bi Saodah. Sementara Kang Kidin (53 th), suamiku sedang buat tali dari bambu di bale rumah Saodah, kira-kira jaraknya 10 meteran dari tempat kami bercengkrama.
Tiba-tiba, aku merasakan adanya lini (gempa). Kalaupun geterannya tidak begitu kuat.
“Dah, aji lini. Geura rasakeun!” kataku pada Saodah.
“Geuning… heueuh nya” Saodah menimpali.
Setelah merasakan gempa tersebut, kami akhirnya pindah tempat mendekati kang Kidin yang sedang asyik membuat tali untuk pagar kebun. Waktu itu, Mang Oong dan istrinya lewat di depan kami.
“Bledug” tiba-tiba terdengar suara ledakan dan berselang beberapa waktu disusul dengan suara gemuruh dari timur, dari arah hanjatan madasari.
“Naon ieu, mobil?” kata Saodah bertanya-tanya.
“Heueuh sorana mah!”
“Tapi geuning teu dek jebul?”
Culak-cileuk. Lihat ke sana ke mari. Tapi tidak ada yang terlihat mencurigakan. Semuanya biasa-biasa saja.
“Geuning euwueh mobil?”
Kang Kidin nyeluk (manggil) sambil menuju ke rumah. Jarak rumah Saodah dengan rumahku kira-kira 50 meter. Rumahku lebih dekat dengan laut.
“Cai naek - cai naek. Tsunami…!! Hayu lumpat !!” kata Kang Kidin, “Bertha kaluar!” tambahnya. Kebetulan rumahku dengan bertha berdekatan dan bersampingan.
Aku ngarawu budakna Berta, menantuku. Sementara Kang Kidin ngabejaan si Ondok, anakku yang sedang tidur nyenyak di dalam rumah.
“Budak, (Ondok - red) bijil ! aya cai naek!” panggil Kang Kidin sambil menengok ke dalam rumah. Sementara air dari arah laut (pesisir) terlihat menghitam dengan ketinggian sekitar 2,5 meter.
Pada gelombang pertama, di rumahku air setinggi lar kaca rumah depan. Rumah-rumah dan bangunan di sebelah timur terlihat roboh berjatuhan.
“Berebet-berebet. Beledug” suara itu bercampur gemuruh air bersautan dari arah timur. Berbarengan dengan itu, akhirnya aku, suamiku, dan anak serta mantuku lari ke arah sawah dan bukit di belakang perkampungan.
Seluruh warga kampungku berlarian ke arah yang sama. Ada beberapa titik pengungsian yang kami anggap aman, yaitu Pasir Bunut, Bunut Kulon (Sageruk), Benteli, dan Genteng kaso. Di tempat-tempat inilah saya dan seluruh warga menyelamatkan diri.
Aku di sini ngendong sapeuting. Kemudian besoknya ngungsi ke desa selama 2 hari, dan hari ketiga aku dan keluargaku pindah ngungsi lagi ke Cibanten, asal kampung Kang Kidin (kira-kira 10 Km dari Desa Masawah atau 17 km dari lokasi) selama 5-6 hari.
Tiba-tiba, aku merasakan adanya lini (gempa). Kalaupun geterannya tidak begitu kuat.
“Dah, aji lini. Geura rasakeun!” kataku pada Saodah.
“Geuning… heueuh nya” Saodah menimpali.
Setelah merasakan gempa tersebut, kami akhirnya pindah tempat mendekati kang Kidin yang sedang asyik membuat tali untuk pagar kebun. Waktu itu, Mang Oong dan istrinya lewat di depan kami.
“Bledug” tiba-tiba terdengar suara ledakan dan berselang beberapa waktu disusul dengan suara gemuruh dari timur, dari arah hanjatan madasari.
“Naon ieu, mobil?” kata Saodah bertanya-tanya.
“Heueuh sorana mah!”
“Tapi geuning teu dek jebul?”
Culak-cileuk. Lihat ke sana ke mari. Tapi tidak ada yang terlihat mencurigakan. Semuanya biasa-biasa saja.
“Geuning euwueh mobil?”
Kang Kidin nyeluk (manggil) sambil menuju ke rumah. Jarak rumah Saodah dengan rumahku kira-kira 50 meter. Rumahku lebih dekat dengan laut.
“Cai naek - cai naek. Tsunami…!! Hayu lumpat !!” kata Kang Kidin, “Bertha kaluar!” tambahnya. Kebetulan rumahku dengan bertha berdekatan dan bersampingan.
Aku ngarawu budakna Berta, menantuku. Sementara Kang Kidin ngabejaan si Ondok, anakku yang sedang tidur nyenyak di dalam rumah.
“Budak, (Ondok - red) bijil ! aya cai naek!” panggil Kang Kidin sambil menengok ke dalam rumah. Sementara air dari arah laut (pesisir) terlihat menghitam dengan ketinggian sekitar 2,5 meter.
Pada gelombang pertama, di rumahku air setinggi lar kaca rumah depan. Rumah-rumah dan bangunan di sebelah timur terlihat roboh berjatuhan.
“Berebet-berebet. Beledug” suara itu bercampur gemuruh air bersautan dari arah timur. Berbarengan dengan itu, akhirnya aku, suamiku, dan anak serta mantuku lari ke arah sawah dan bukit di belakang perkampungan.
Seluruh warga kampungku berlarian ke arah yang sama. Ada beberapa titik pengungsian yang kami anggap aman, yaitu Pasir Bunut, Bunut Kulon (Sageruk), Benteli, dan Genteng kaso. Di tempat-tempat inilah saya dan seluruh warga menyelamatkan diri.
Aku di sini ngendong sapeuting. Kemudian besoknya ngungsi ke desa selama 2 hari, dan hari ketiga aku dan keluargaku pindah ngungsi lagi ke Cibanten, asal kampung Kang Kidin (kira-kira 10 Km dari Desa Masawah atau 17 km dari lokasi) selama 5-6 hari.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar