Kisah - Kisah Tsunami
Isterinya Turiman (34 th), Madasari 005
Waktu itu aku sedang tidur-tiduran di rumah. Tiba-tiba aku lihat air laut melintasi jalan raya dan mengelilingi rumahku, maka aku langsung lari ke bukit yang kebetulan berada di belakang rumah.
Dari bukit yang jaraknya hanya sekitar lima meteran dari rumahku, kulihat 3 gelombang air laut berurut-urutan. Gelombang pertama dan kedua pendek paling-paling ketinggiannya hanya 1 – 2 meteran. Berbeda dengan gelombang yang ketiga, yaitu besar sekali kira-kira 5 – 6 meteran.
Dari bukit itu pulalah aku melihat Muhidin Kholisoh, warga RT 07 yang lain, dan sapi gembalaannya dikejar-kejar dan digulung-gulung oleh gelombang tsunami. Melihat kejadian tersebut, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Paling-paling hanya memanggil-manggil supaya naik ke bukit. Tapi dia tidak mengindahkan panggilanku. Dia tetap saja lari sepanjang jalan raya bersama sapinya. Sampai akhirnya menghilang dari pandanganku bersama gelombang tsunami yang sedang mengganas.
Sebelum kejadian aku tidak mendengar apa-apa dan juga tidak merasakan adanya gempa bumi. Setelah beberapa lama aku menyelamatkan diri di bukit, kira-kira jam 5 – 6 sore air laut sudah surut (saat) kembali.
Kemudian baru aku berani turun lagi ke rumah untuk mengambil barang-barang yang masih dapat dibawa dan diselamatkan diri terutama, uang yang masih ada, pakaian dan alat-alat sholat. Setelah itu aku jalan kaki sampai Paneureusan.
Di sana ternyata sudah ada kendaraan yang menjemput untuk mengungsi ke desa. Di desa inilah, aku baru dapat ketemu dengan anakku, Anang, dan suamiku yang merantau di Pangandaran rabu dua hari berikutnya. Di desa inilah aku berbulan-bulan mengungsi dengan sekitar 1.069 orang warga yang selamat lainnya.
Keur Gegelehean di Imah
Waktu itu aku sedang tidur-tiduran di rumah. Tiba-tiba aku lihat air laut melintasi jalan raya dan mengelilingi rumahku, maka aku langsung lari ke bukit yang kebetulan berada di belakang rumah.
Dari bukit yang jaraknya hanya sekitar lima meteran dari rumahku, kulihat 3 gelombang air laut berurut-urutan. Gelombang pertama dan kedua pendek paling-paling ketinggiannya hanya 1 – 2 meteran. Berbeda dengan gelombang yang ketiga, yaitu besar sekali kira-kira 5 – 6 meteran.
Dari bukit itu pulalah aku melihat Muhidin Kholisoh, warga RT 07 yang lain, dan sapi gembalaannya dikejar-kejar dan digulung-gulung oleh gelombang tsunami. Melihat kejadian tersebut, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Paling-paling hanya memanggil-manggil supaya naik ke bukit. Tapi dia tidak mengindahkan panggilanku. Dia tetap saja lari sepanjang jalan raya bersama sapinya. Sampai akhirnya menghilang dari pandanganku bersama gelombang tsunami yang sedang mengganas.
Sebelum kejadian aku tidak mendengar apa-apa dan juga tidak merasakan adanya gempa bumi. Setelah beberapa lama aku menyelamatkan diri di bukit, kira-kira jam 5 – 6 sore air laut sudah surut (saat) kembali.
Kemudian baru aku berani turun lagi ke rumah untuk mengambil barang-barang yang masih dapat dibawa dan diselamatkan diri terutama, uang yang masih ada, pakaian dan alat-alat sholat. Setelah itu aku jalan kaki sampai Paneureusan.
Di sana ternyata sudah ada kendaraan yang menjemput untuk mengungsi ke desa. Di desa inilah, aku baru dapat ketemu dengan anakku, Anang, dan suamiku yang merantau di Pangandaran rabu dua hari berikutnya. Di desa inilah aku berbulan-bulan mengungsi dengan sekitar 1.069 orang warga yang selamat lainnya.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar