Kisah - Kisah Tsunami
Alan (61 th), Cidadap - Legok Jawa 006
Hari itu aku sudah siap-siap mau Nyatus. Yaitu selamatan setelah kematian Areng, anakku, yang ke seratus harinya. Telah kusiapkan beas ketan dan umbu rampe lainnya sebagaimana layaknya mau ngadakan selamatan.
Siang itu, kira-kira jam 11 siang aku berencana mau ngarontog ke Tamburan. Arek ka sawah teu hayang, teu purun. Baru sekitar jam 1.30 aku berangkat ke sawah. Setelah selesai ngarontog, aku pulang ke rumah. Tapi belum sampai rumah, baru saja sampai gegenteng. Aku mendengar suara yang sangat keras seperti motor.
“Alan, ulah balik aya tsunami” seseorang memberi tahuku. Mendengar itu aku tidak lantas percaya karena belum melihat apa-apa.
“Oh, mungkin suara motor itu adalah gelombang tsunami”, kataku dalam hati.
Sepeda ditanggeuhkeun dina tangkal kalapa. Bawaan jeung cai diturunkeun kana taneuh terus cangogo. Setelah itu aku melihat-lihat ke arah perkampungan, ternyata betul.
“Asss, geuning kosong ti wetan” lanjutku.
Kulihat air gelombang yang menghitam dari arah wetan bergulung-gulung. Ada tiga gelombang air laut yang datang bergantian, masing-masing seolah-olah mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Gelombang pertama berbentuk bulat (buleud) kira-kira ketinggiannya mencapai 6 meter seolah-olah berfungsi untuk menghancurkan apa saja yang ada di depannya, bangunan, rumah, maupun pohon-pohon serta tanaman yang ada. Gelombang ini diikuti dengan suara gemuruh yang ditimbulkan dari bangunan-bangunan dan pohon-pohon yang roboh serta kepulan asap dari tanah yang terceos oleh air laut yang panas..
Gelombang kedua dengan ketinggian sekitar 15 meter dengan kecepakatan yang sangat tinggi. Gelombang ini seolah-olah berfungsi mendorong gelombang yang pertama yang meluluh lantakkan apa saja yang ditempanya. Kecepatan gelombang ini diperkirakan 400 km / jam.
Sedangkan gelombang yang ketiga kira-kira ketinggiannya 5 meteran seolah-olah berfungsi ngimeutan (membersihkan) sisa-sisa dari kedua gelombang sebelumnya.
Ketiga air gelombang tersebut penuh dengan sampah, kulihat juga ada yang teuleum - muncul, teuleum - muncul beberapa kali. Ternyata dia adalah orang yang tergulung ombak besar itu, tapi aku tidak dapat mengenal orangnya karena seluruh kepalanya di penuhi dengan sampah. Waktu itu pula, kulihat warung Mang Ilin kakara bru, tumbang terseret gelombang besar itu.
Berbarengan dengan itu, aku menghirup bau yang sangat menyengat, dan bau ini baru pertama kali aku menemukannya. Bau ancal kalah dengan bau air ini. Sangat bau, seperti bau walirang (belerang). Can manggih bau siga kitu mah. Cai teh hideung pisan.
Srog ke perkampungan, dekat bukit, kudengar orang lain cacarawakan geus nepi ka pasir (bukit). Waktu itu air sekitar1,20 meteran. Air dari kaler mantul ke Bukit. Kemudian air tersebut kembali lagi dan ngageblug (pecah) lagi. Melihat kejadian yang sekejap mata tersebut, akhirnya aku beserta warga kampung yang selamat lainnya mengungsi ke perbukitan, kebetulan dusun kami juga di kelilingi oleh perbukitan yang cukup untuk menyelamatkan diri.
Setelah dikira aman, kamipun besok harinya berduyun-duyun menuju pengungsian di Desa Masawah, tetangga desa kami. Di sana kami bergabung dengan para pengungsi dari Dusun Madasari, Desa Masawah.
Teu Purun Ka Sawah
Hari itu aku sudah siap-siap mau Nyatus. Yaitu selamatan setelah kematian Areng, anakku, yang ke seratus harinya. Telah kusiapkan beas ketan dan umbu rampe lainnya sebagaimana layaknya mau ngadakan selamatan.
Siang itu, kira-kira jam 11 siang aku berencana mau ngarontog ke Tamburan. Arek ka sawah teu hayang, teu purun. Baru sekitar jam 1.30 aku berangkat ke sawah. Setelah selesai ngarontog, aku pulang ke rumah. Tapi belum sampai rumah, baru saja sampai gegenteng. Aku mendengar suara yang sangat keras seperti motor.
“Alan, ulah balik aya tsunami” seseorang memberi tahuku. Mendengar itu aku tidak lantas percaya karena belum melihat apa-apa.
“Oh, mungkin suara motor itu adalah gelombang tsunami”, kataku dalam hati.
Sepeda ditanggeuhkeun dina tangkal kalapa. Bawaan jeung cai diturunkeun kana taneuh terus cangogo. Setelah itu aku melihat-lihat ke arah perkampungan, ternyata betul.
“Asss, geuning kosong ti wetan” lanjutku.
Kulihat air gelombang yang menghitam dari arah wetan bergulung-gulung. Ada tiga gelombang air laut yang datang bergantian, masing-masing seolah-olah mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Gelombang pertama berbentuk bulat (buleud) kira-kira ketinggiannya mencapai 6 meter seolah-olah berfungsi untuk menghancurkan apa saja yang ada di depannya, bangunan, rumah, maupun pohon-pohon serta tanaman yang ada. Gelombang ini diikuti dengan suara gemuruh yang ditimbulkan dari bangunan-bangunan dan pohon-pohon yang roboh serta kepulan asap dari tanah yang terceos oleh air laut yang panas..
Gelombang kedua dengan ketinggian sekitar 15 meter dengan kecepakatan yang sangat tinggi. Gelombang ini seolah-olah berfungsi mendorong gelombang yang pertama yang meluluh lantakkan apa saja yang ditempanya. Kecepatan gelombang ini diperkirakan 400 km / jam.
Sedangkan gelombang yang ketiga kira-kira ketinggiannya 5 meteran seolah-olah berfungsi ngimeutan (membersihkan) sisa-sisa dari kedua gelombang sebelumnya.
Ketiga air gelombang tersebut penuh dengan sampah, kulihat juga ada yang teuleum - muncul, teuleum - muncul beberapa kali. Ternyata dia adalah orang yang tergulung ombak besar itu, tapi aku tidak dapat mengenal orangnya karena seluruh kepalanya di penuhi dengan sampah. Waktu itu pula, kulihat warung Mang Ilin kakara bru, tumbang terseret gelombang besar itu.
Berbarengan dengan itu, aku menghirup bau yang sangat menyengat, dan bau ini baru pertama kali aku menemukannya. Bau ancal kalah dengan bau air ini. Sangat bau, seperti bau walirang (belerang). Can manggih bau siga kitu mah. Cai teh hideung pisan.
Srog ke perkampungan, dekat bukit, kudengar orang lain cacarawakan geus nepi ka pasir (bukit). Waktu itu air sekitar1,20 meteran. Air dari kaler mantul ke Bukit. Kemudian air tersebut kembali lagi dan ngageblug (pecah) lagi. Melihat kejadian yang sekejap mata tersebut, akhirnya aku beserta warga kampung yang selamat lainnya mengungsi ke perbukitan, kebetulan dusun kami juga di kelilingi oleh perbukitan yang cukup untuk menyelamatkan diri.
Setelah dikira aman, kamipun besok harinya berduyun-duyun menuju pengungsian di Desa Masawah, tetangga desa kami. Di sana kami bergabung dengan para pengungsi dari Dusun Madasari, Desa Masawah.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar