Kisah - Kisah Tsunami
Ejah (54 th), Cidadap - Legok Jawa, 007
Waktu kejadian aku baru saja selesai mandi. Tubuhku masih bersampingkan handuk. Air Sanyo belum tak matikan. Belum sempat ganti pakaian, dari arah wetan terdengar suara seperti kapal udara (helikopter) dan diikuti oleh teriakan-teriakan orang dengan sangat keras.
“Tsunami… tsunami …..” kata mereka sambil berlarian menuju ke perbukitan.
Dengan serta merta kusaut cucuku, Ari (6 th) dan lari sekencang-kencang sampai heleran. Aku hanya disasamping anduk. Dari sana kulihat air sudah berhasil merobohkan rumah Bi Eja tetanggaku. Maka aku naik ke bukit. Sesampainya di bukit kulihat air sudah kembali lagi dengan tujuan kedua arah, ada yang ke timur dan ke selatan.
Di bukit itu aku bergabung dengan warga yang selamat lainnya. Kulihat satu per satu warga yang ada di bukit itu. Kulihat banyak orang yang telanjang bulat, dan telanjang dada, karena waktu kejadian memang sedang musimnya mandi sore. Selain itu kalaupun ketika kejadian pakai pakaian, pakaian yang kita pakai juga akan melorot tersapu gelombang yang sangat dahsyat tersebut.
Yang lain, yang selamat dari gulungan ombak juga rata-rata luka, boborot ku getih. Ada yang terkena paku, terpukul kayu, patah tulang, ada yang patah tangan, kaki, dan sebagainya. Di sinilah aku bisa bertemu dengan suamiku, Alan (61 th) yang baru saja pulang dari sawah.
Di bukit dan di pengungsian itu pula aku berdoa kepada Alloh SWT agar supaya kejadian semacam ini tidak terulang lagi. “Mudah-mudahan musibah ini menjadi rohmat dan menjadi manusia dekat dengan Gusti Alloh”.
Setelah berdo’a alhamdulillah ternyata saya dan seluruh warga dapat bantuan berbagai macam kebutuhan selama di pengungsian, seperti : makanan, pakaian, beras, dan juga ada yang membantu berupa uang.
Kami sebetulnya tidak mengharapkan bantuan banget dari luar, tapi kalau ada sih alhamdulillah akan kami terima. Seraya kami akan berdo’a supaya diberi ganti oleh Gusti yang lebih dari sekedar bantuan yang diberikan kepada kami.
Sekarang yang sangat kami butuhkan adalah bantuan untuk membuat saung untuk tempat tinggal. Apalagi pada waktu bulan puasa dan lebaran lalu, anak-anak cucu saya yang sedang pulang kampung tidurnya di sembarangan tempat karena kami sudah tidak punya rumah lagi. Mereka tidur di emper-emper rumah orang yang masih utuh rumahnya dan terkadang juga di masjid atau mushola.
Disasamping Anduk
Waktu kejadian aku baru saja selesai mandi. Tubuhku masih bersampingkan handuk. Air Sanyo belum tak matikan. Belum sempat ganti pakaian, dari arah wetan terdengar suara seperti kapal udara (helikopter) dan diikuti oleh teriakan-teriakan orang dengan sangat keras.
“Tsunami… tsunami …..” kata mereka sambil berlarian menuju ke perbukitan.
Dengan serta merta kusaut cucuku, Ari (6 th) dan lari sekencang-kencang sampai heleran. Aku hanya disasamping anduk. Dari sana kulihat air sudah berhasil merobohkan rumah Bi Eja tetanggaku. Maka aku naik ke bukit. Sesampainya di bukit kulihat air sudah kembali lagi dengan tujuan kedua arah, ada yang ke timur dan ke selatan.
Di bukit itu aku bergabung dengan warga yang selamat lainnya. Kulihat satu per satu warga yang ada di bukit itu. Kulihat banyak orang yang telanjang bulat, dan telanjang dada, karena waktu kejadian memang sedang musimnya mandi sore. Selain itu kalaupun ketika kejadian pakai pakaian, pakaian yang kita pakai juga akan melorot tersapu gelombang yang sangat dahsyat tersebut.
Yang lain, yang selamat dari gulungan ombak juga rata-rata luka, boborot ku getih. Ada yang terkena paku, terpukul kayu, patah tulang, ada yang patah tangan, kaki, dan sebagainya. Di sinilah aku bisa bertemu dengan suamiku, Alan (61 th) yang baru saja pulang dari sawah.
Di bukit dan di pengungsian itu pula aku berdoa kepada Alloh SWT agar supaya kejadian semacam ini tidak terulang lagi. “Mudah-mudahan musibah ini menjadi rohmat dan menjadi manusia dekat dengan Gusti Alloh”.
Setelah berdo’a alhamdulillah ternyata saya dan seluruh warga dapat bantuan berbagai macam kebutuhan selama di pengungsian, seperti : makanan, pakaian, beras, dan juga ada yang membantu berupa uang.
Kami sebetulnya tidak mengharapkan bantuan banget dari luar, tapi kalau ada sih alhamdulillah akan kami terima. Seraya kami akan berdo’a supaya diberi ganti oleh Gusti yang lebih dari sekedar bantuan yang diberikan kepada kami.
Sekarang yang sangat kami butuhkan adalah bantuan untuk membuat saung untuk tempat tinggal. Apalagi pada waktu bulan puasa dan lebaran lalu, anak-anak cucu saya yang sedang pulang kampung tidurnya di sembarangan tempat karena kami sudah tidak punya rumah lagi. Mereka tidur di emper-emper rumah orang yang masih utuh rumahnya dan terkadang juga di masjid atau mushola.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar