Kisah - Kisah Tsunami
Ono (31 th), Batu karas / Madasari 003
Waktu sedang mendorong perahu. Tiba-tiba kulihat air laut sangat surut, dan tak lama berselang air laut sangat besar datang tidak seperti biasanya. “Ke, ari ieu, cai beukah lain?” tanyaku dalam hati. “Akh, ini pasti tsunami” kataku selanjutnya. Aku langsung terbayang anak dan istri serta orang tua di Bulak Benda (Bulbend). Tak lama kemudian terdengar suara ledakan yang berasal dari perahu jet yang pecah.
Oleh karena itu aku langsung lari ke arah motor. Dengan kecepatan yang tinggi aku susuri jalan yang masih bisa dilewati. Sementara jalan sudah dikepung oleh gelombang. Keyakinanku waktu itu hanya satu, pasti Bulbend lebih parah daripada di sini (Batu karas). Maka, sepanjang jalan pantai Batu karas aku tidak menoleh kanan kiri lagi, termasuk permintaan orang yang mau ikut bonceng tak kuhiraukan.
“Mang, milu. Mang, milu” teriakan orang dari belakang.
“Akh, moal bener ieu mah”. Kataku dalam hati. Da Cai geus ngudag, jangkung pisan. Jojongor Pasir Legok Pari arek buni ku cai laut. Anu ngajaring oge baruni di seblok ku lambak di daerah Nyangkalang Batu Karas sebelahnya Perumahan Cijulang Permai.
Di depan Pondok Puteri, air 2 gelombang besar air laut itu menghalangi perjalanan. Air gelombang tersebut terlihat semu hideung.
Suatu ketika, aku menabrak seorang anak perempuan dengan kerasnya, tetapi dalam keadaan panik itu aku tidak banyak berpikir apa-apa. Kulihat sekilas anak tersebut berguling-guling di jalan-raya. Motor aku gas lagi dengan sekuat tenaga. Teriakan orang-orang tak kuhiraukan lagi.
Setelah jarak agak jauh, ternyata sepanjang jalan sangat sesak dipenuhi oleh berbagai macam orang yang sedang menyelamatkan diri. Ada yang jalan kaki, ada yang pakai motor, pakai mobil, dan juga sepeda. Namun kebanyakan jalan kaki. Untuk menghindari kejaran orang yang minta boncengan, akhirnya aku berhenti dengan memboncengkan salah seorang diantara pejalan kaki itu. Maka perjalananku menjadi sedikit lancar karena tidak terganggu dengan permintaan boncengan. Setelah kira-kira aman, orang Batu karas tersebut aku turunkan di daerah Mandala.
Sepanjang perjalanan semua orang paciweuh menyelamatkan diri terutama lari ke bukit-bukit yang ada sepanjang jalan. Suasana paling paciweuh yaitu di Masawah, ibu kota desaku. Di sana kulihat orang pada ribut semua.
“Ulah ka Bulben. Ulah ka Bulbend. Cai naek” salah seorang dari mereka mencegatku.
“Ah, da urang mah inget anak pemajikan” jawabku.
Tapi tekadku sudah bulat, aku harus mencari anak dan istriku. Apapun keadaannya, kataku dalam hati. Maka, nasehat-nasehat mereka tak kuhiraukan. Aku tetap menuju bulbend. Motorku tetap ku gas dan meluncur ke Bulak benda, kampung halamanku. Perjalananku dari Batu karas ke Bulben kuperkirakan 10 - 15 menit, padahal jarak antar keduanya kalau melewati jalan raya tidak kurang dari 15 km.
Sesampainya di bulbend ternyata air laut masih tinggi. Maka motor kusimpan di pinggir jalan. Aku langsung menuju ke lapangan sakola dekat rumahku walaupun air masih setinggi perutku. Aku tidak sendirian, aku bersama-sama dengan baladan nene Mi’ah Ma’sum kokoyoran mencari anak istri ke sana ke mari.
Yang aku cari baru ketemu kira-kira maghrib, itu pun aku diberi tahu oleh Bi Surati.
“No, budak maneh mah, Si Angga, aya di pasir. Tuh di ditu!” Kata Bi Surati sambil menunjuk ke arah pasir injut. “Lamun teu salah mah jeung si Mia, Helda, jeung si Asep” lanjutnya.
Sambil mencari anak istri aku juga sambil mencari kedua orang tuaku. Aku bertemu dengan istri dan anakku di Pasir Injut, dan keduanya selamat.
“Ema – Bapa teu kapanggih-panggih, anjeun di marana?” tanyaku pada setiap sudut di kampungku. Akhirnya aku baru dapat menemukan kedua orang tuaku sore itu, namun mereka sudah dalam kondisi ajal menjemput. Aku tak dapat mencegahnya. Mungkin inilah pertemuan terakhirku dengan kedua orang tua yang telah melahirkan dan merawatku sejak kecil. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.
Ema – Bapa teu Panggih-panggih
Waktu sedang mendorong perahu. Tiba-tiba kulihat air laut sangat surut, dan tak lama berselang air laut sangat besar datang tidak seperti biasanya. “Ke, ari ieu, cai beukah lain?” tanyaku dalam hati. “Akh, ini pasti tsunami” kataku selanjutnya. Aku langsung terbayang anak dan istri serta orang tua di Bulak Benda (Bulbend). Tak lama kemudian terdengar suara ledakan yang berasal dari perahu jet yang pecah.
Oleh karena itu aku langsung lari ke arah motor. Dengan kecepatan yang tinggi aku susuri jalan yang masih bisa dilewati. Sementara jalan sudah dikepung oleh gelombang. Keyakinanku waktu itu hanya satu, pasti Bulbend lebih parah daripada di sini (Batu karas). Maka, sepanjang jalan pantai Batu karas aku tidak menoleh kanan kiri lagi, termasuk permintaan orang yang mau ikut bonceng tak kuhiraukan.
“Mang, milu. Mang, milu” teriakan orang dari belakang.
“Akh, moal bener ieu mah”. Kataku dalam hati. Da Cai geus ngudag, jangkung pisan. Jojongor Pasir Legok Pari arek buni ku cai laut. Anu ngajaring oge baruni di seblok ku lambak di daerah Nyangkalang Batu Karas sebelahnya Perumahan Cijulang Permai.
Di depan Pondok Puteri, air 2 gelombang besar air laut itu menghalangi perjalanan. Air gelombang tersebut terlihat semu hideung.
Suatu ketika, aku menabrak seorang anak perempuan dengan kerasnya, tetapi dalam keadaan panik itu aku tidak banyak berpikir apa-apa. Kulihat sekilas anak tersebut berguling-guling di jalan-raya. Motor aku gas lagi dengan sekuat tenaga. Teriakan orang-orang tak kuhiraukan lagi.
Setelah jarak agak jauh, ternyata sepanjang jalan sangat sesak dipenuhi oleh berbagai macam orang yang sedang menyelamatkan diri. Ada yang jalan kaki, ada yang pakai motor, pakai mobil, dan juga sepeda. Namun kebanyakan jalan kaki. Untuk menghindari kejaran orang yang minta boncengan, akhirnya aku berhenti dengan memboncengkan salah seorang diantara pejalan kaki itu. Maka perjalananku menjadi sedikit lancar karena tidak terganggu dengan permintaan boncengan. Setelah kira-kira aman, orang Batu karas tersebut aku turunkan di daerah Mandala.
Sepanjang perjalanan semua orang paciweuh menyelamatkan diri terutama lari ke bukit-bukit yang ada sepanjang jalan. Suasana paling paciweuh yaitu di Masawah, ibu kota desaku. Di sana kulihat orang pada ribut semua.
“Ulah ka Bulben. Ulah ka Bulbend. Cai naek” salah seorang dari mereka mencegatku.
“Ah, da urang mah inget anak pemajikan” jawabku.
Tapi tekadku sudah bulat, aku harus mencari anak dan istriku. Apapun keadaannya, kataku dalam hati. Maka, nasehat-nasehat mereka tak kuhiraukan. Aku tetap menuju bulbend. Motorku tetap ku gas dan meluncur ke Bulak benda, kampung halamanku. Perjalananku dari Batu karas ke Bulben kuperkirakan 10 - 15 menit, padahal jarak antar keduanya kalau melewati jalan raya tidak kurang dari 15 km.
Sesampainya di bulbend ternyata air laut masih tinggi. Maka motor kusimpan di pinggir jalan. Aku langsung menuju ke lapangan sakola dekat rumahku walaupun air masih setinggi perutku. Aku tidak sendirian, aku bersama-sama dengan baladan nene Mi’ah Ma’sum kokoyoran mencari anak istri ke sana ke mari.
Yang aku cari baru ketemu kira-kira maghrib, itu pun aku diberi tahu oleh Bi Surati.
“No, budak maneh mah, Si Angga, aya di pasir. Tuh di ditu!” Kata Bi Surati sambil menunjuk ke arah pasir injut. “Lamun teu salah mah jeung si Mia, Helda, jeung si Asep” lanjutnya.
Sambil mencari anak istri aku juga sambil mencari kedua orang tuaku. Aku bertemu dengan istri dan anakku di Pasir Injut, dan keduanya selamat.
“Ema – Bapa teu kapanggih-panggih, anjeun di marana?” tanyaku pada setiap sudut di kampungku. Akhirnya aku baru dapat menemukan kedua orang tuaku sore itu, namun mereka sudah dalam kondisi ajal menjemput. Aku tak dapat mencegahnya. Mungkin inilah pertemuan terakhirku dengan kedua orang tua yang telah melahirkan dan merawatku sejak kecil. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar