Kisah - Kisah Tsunami
Turiman (33 th), Pangandaran / Madasari 004
Waktu itu aku sedang di pesisir Pangandaran sedang ngayuman parel / jaring. Waktu kira-kira menunjukkan pukul 15.30 WIB, aku nempo ka laut. Ombak bet beda tara ti sasari, bet kitu. Terus curiga, dan aku berfirasat, “Boa-boa tsunami ieu euy”.
Setelah aku yakin bahwa terjadi tsunami, maka aku lari sekencang-kencangnya dan teriak-teriak memberitahu orang lain, “Tsunami-tsunami….” Teriakku sambil berlari menuju ke dunungan, Pak Endang.
Sementara orang lain masih terlihat ragu. Aku tak hiraukan keraguan mereka, tekadku aku harus selamat dan aku harus beritahu dunungan supaya lari dan mengungsi ke tempat yang aman. Sesampainya di rumah dunungan kuberitahu mereka dan setelah itu kita lari dan mengungsi ke daerah Pager Gunung, daerah pegunungan di belakang Pangandaran dari arah laut wetan.
Setelah sampai di pengungsian, aku baru teringat dengan lembur Bulak benda (Madasari), “Pangandaran tsunami, pasti bulbend oge leuwih-leuwih” pikirku waktu itu. Besoknya, aku mulang dari Pangandaran selasa jam 11.00 siang walaupun diperjalanan sangat susah dengan mobil (kendaraan). Setelah aku berjalan cukup lama, ternyata ada mobil dari Pager Gunung ke Pangandaran, aku ikut dan turun di Pangandaran. Sebetulnya mobil tersebut sedang berjalan, tapi aku berusaha nangkel sampai tujuan.
Sesampainya di jalan raya Pangandaran, ternyata tidak ada bus satupun. Apalagi bus jurusan Pangandaran – Bulbend. Yang ada hanyalah mobil kolbak dan truck. Aku berusaha untuk mencegat mobil-mobil tersebut, tapi tak satupun mobil yang berhenti. Pada hitungan mobil yang ke empat barulah ada truck yang berhenti. Aku naik dan ikut mobil tersebut sampai pasar Parigi. Di pasar parigi megat mobil tidak ada terus.
Daripada menunggu yang tidak pasti, aku berjalan sampai dengan Polsek Parigi. Ketika aku berjalan, ada motor lewat sambil ngajak. Aku ngojek dari Polsek Parigi sampai ke bengkel di Cimerak, ibu kota kecamatanku. Ongkos ojeg aku bayar Rp. 15.000,00 walaupun tukang ojeg mintanya Rp. 20.000. Tapi tukang ojegpun mau ketika tahu bahwa Pangandaran dan kampungku, Bulak benda sedang kena musibah.
Dari bengkel aku berjalan lagi hingga sampai di pertigaan, Cimerak – Masawah, jaraknya kira-kira 500 meter. Di situ ada mobil TNI. Aku naik mobil tersebut dan turun di desa (Masawah). Di desa, aku bertemu dengan keluarga, anak dan bojo.
Hari rabu pagi-pagi jam 08.00 WIB bareng dengan adik ipar, Ono, aku pergi ke lembur. Ketika sampai di lembur dekat rumahnya Diana di RT 05/01, ternyata lembur sudah rata dengan tanah. Di situ, mataku nggak kuat lagi menahan tangis dan tumpahlah air mataku dengan derasnya. Ceurik nalangsa. Nu tadina kampong teh rame jadi rata. Bangsa sakola, bale kampung, imah, madrasah jeung pasar teh euweuh. Teu kuat ngalagragkeun cimata. Komo ngadenge kabar, mitoha euweuh mah. Jam 10an kapanggih layon mitoha. Ti dinya mah percaya yen mitoha teh teu ngungsi ka pasir, tapi geus jadi layon. Padahal asalna ka unggal pasir diteangan.
Setelah ketemu bet aya isu sekitar jam 10.30an lewat SMS katanya mau ada tsunami susulan. Aku lari mencari tempat yang aman yaitu ke perbukitan. Orang-orang pabaliut / pabeulit ikut lari ke pasir. Setelah itu terus aku balik deui ka desa. Teu kosi lila mayit-mayit di diantarkan ke desa. Aku milu mulasara indung bapak di desa. Hari rabu itu ada sekitar 7 mayat yang dikubur dalam satu lobang, baik anak-anak, orang tua, laki-laki maupun perempuan.
Di desa belum ada tenda, maka pengungsi tidur di rumah-rumah penduduk Masawah. Ada 3 buah tenda yang besar dan saung-saung darurat. Selama di pengungsian, aku merasakan henteu betah. Sare teu tibra da ngumara di imah batur. Bera kasakit, seperti batuk, filek, demam, panas tiris, dan lain-lain.
Teu betah cicing di tenda desa. Maka aku dan keluarga turun ke camp tenda Injut. Di camp Injut selama dua minggu. Lama kelamaan aku juga tidak kerasan di tenda Injut, maka aku pindah lagi ke Camp Bungur selama 1,5 bulan. Di camp Bungur inilah aku baru bisa beberes jeung memener rumah yang rusak kena tsunami. Dari camp Bungur baru pindah ke rumah ketika bulan puasa. Bari jeung teu tibra sare, da rareuwas bae. Rumahku sekarang jadi pang wetana, yaitu yang paling dekat dengan laut di RT 7 (Blok Bungur - Sodong Gede).
Ombak bet beda tara ti Sasari
Waktu itu aku sedang di pesisir Pangandaran sedang ngayuman parel / jaring. Waktu kira-kira menunjukkan pukul 15.30 WIB, aku nempo ka laut. Ombak bet beda tara ti sasari, bet kitu. Terus curiga, dan aku berfirasat, “Boa-boa tsunami ieu euy”.
Setelah aku yakin bahwa terjadi tsunami, maka aku lari sekencang-kencangnya dan teriak-teriak memberitahu orang lain, “Tsunami-tsunami….” Teriakku sambil berlari menuju ke dunungan, Pak Endang.
Sementara orang lain masih terlihat ragu. Aku tak hiraukan keraguan mereka, tekadku aku harus selamat dan aku harus beritahu dunungan supaya lari dan mengungsi ke tempat yang aman. Sesampainya di rumah dunungan kuberitahu mereka dan setelah itu kita lari dan mengungsi ke daerah Pager Gunung, daerah pegunungan di belakang Pangandaran dari arah laut wetan.
Setelah sampai di pengungsian, aku baru teringat dengan lembur Bulak benda (Madasari), “Pangandaran tsunami, pasti bulbend oge leuwih-leuwih” pikirku waktu itu. Besoknya, aku mulang dari Pangandaran selasa jam 11.00 siang walaupun diperjalanan sangat susah dengan mobil (kendaraan). Setelah aku berjalan cukup lama, ternyata ada mobil dari Pager Gunung ke Pangandaran, aku ikut dan turun di Pangandaran. Sebetulnya mobil tersebut sedang berjalan, tapi aku berusaha nangkel sampai tujuan.
Sesampainya di jalan raya Pangandaran, ternyata tidak ada bus satupun. Apalagi bus jurusan Pangandaran – Bulbend. Yang ada hanyalah mobil kolbak dan truck. Aku berusaha untuk mencegat mobil-mobil tersebut, tapi tak satupun mobil yang berhenti. Pada hitungan mobil yang ke empat barulah ada truck yang berhenti. Aku naik dan ikut mobil tersebut sampai pasar Parigi. Di pasar parigi megat mobil tidak ada terus.
Daripada menunggu yang tidak pasti, aku berjalan sampai dengan Polsek Parigi. Ketika aku berjalan, ada motor lewat sambil ngajak. Aku ngojek dari Polsek Parigi sampai ke bengkel di Cimerak, ibu kota kecamatanku. Ongkos ojeg aku bayar Rp. 15.000,00 walaupun tukang ojeg mintanya Rp. 20.000. Tapi tukang ojegpun mau ketika tahu bahwa Pangandaran dan kampungku, Bulak benda sedang kena musibah.
Dari bengkel aku berjalan lagi hingga sampai di pertigaan, Cimerak – Masawah, jaraknya kira-kira 500 meter. Di situ ada mobil TNI. Aku naik mobil tersebut dan turun di desa (Masawah). Di desa, aku bertemu dengan keluarga, anak dan bojo.
Hari rabu pagi-pagi jam 08.00 WIB bareng dengan adik ipar, Ono, aku pergi ke lembur. Ketika sampai di lembur dekat rumahnya Diana di RT 05/01, ternyata lembur sudah rata dengan tanah. Di situ, mataku nggak kuat lagi menahan tangis dan tumpahlah air mataku dengan derasnya. Ceurik nalangsa. Nu tadina kampong teh rame jadi rata. Bangsa sakola, bale kampung, imah, madrasah jeung pasar teh euweuh. Teu kuat ngalagragkeun cimata. Komo ngadenge kabar, mitoha euweuh mah. Jam 10an kapanggih layon mitoha. Ti dinya mah percaya yen mitoha teh teu ngungsi ka pasir, tapi geus jadi layon. Padahal asalna ka unggal pasir diteangan.
Setelah ketemu bet aya isu sekitar jam 10.30an lewat SMS katanya mau ada tsunami susulan. Aku lari mencari tempat yang aman yaitu ke perbukitan. Orang-orang pabaliut / pabeulit ikut lari ke pasir. Setelah itu terus aku balik deui ka desa. Teu kosi lila mayit-mayit di diantarkan ke desa. Aku milu mulasara indung bapak di desa. Hari rabu itu ada sekitar 7 mayat yang dikubur dalam satu lobang, baik anak-anak, orang tua, laki-laki maupun perempuan.
Di desa belum ada tenda, maka pengungsi tidur di rumah-rumah penduduk Masawah. Ada 3 buah tenda yang besar dan saung-saung darurat. Selama di pengungsian, aku merasakan henteu betah. Sare teu tibra da ngumara di imah batur. Bera kasakit, seperti batuk, filek, demam, panas tiris, dan lain-lain.
Teu betah cicing di tenda desa. Maka aku dan keluarga turun ke camp tenda Injut. Di camp Injut selama dua minggu. Lama kelamaan aku juga tidak kerasan di tenda Injut, maka aku pindah lagi ke Camp Bungur selama 1,5 bulan. Di camp Bungur inilah aku baru bisa beberes jeung memener rumah yang rusak kena tsunami. Dari camp Bungur baru pindah ke rumah ketika bulan puasa. Bari jeung teu tibra sare, da rareuwas bae. Rumahku sekarang jadi pang wetana, yaitu yang paling dekat dengan laut di RT 7 (Blok Bungur - Sodong Gede).
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar