H. Syarif (80 th) dan Gugi (29 th), Madasari, 20
Wayahna be Bi, kami mah teu bisa….
Si Gugi, Samsudin, dan Si Ogah sedang di heler. Pas Samsudin sedang ngawadahan beas, Si Gugi lumpat ka kulon sambil teriak-teriak : “Tsunami.. tsunami…”.
Baru sampai di dekat kandang domba Mang Okos, kakara inget ka pasir. Baru dia naik ke Bukit Pasir Benda. Bukit itu berada persis di belakang rumahku. Aku heran, bumi (rumah) teh karasa brug breg. Aku mau kaluar keluar, “Geuning cai”
Di dapur dan jendela terdengar brug breg, suara air yang menghantam barang-barang di sana. Bawah pintu dapur jebol. Aku membuka pintu, pageuh, tidak bisa dibuka. Air waktu itu kena punggungku.
“Yah, Iyah, kade eta budak!” kataku pada Iyah istrinya Cucuku.
Ketika itu, tiba-tiba datang pane (dulang) dari luar mendekati lawang (pintu). “Kade eta budak. Keun bae, paeh hirup mah da kersaning Alloh. Ayeuna mah berdoa be !”, kataku ke Si Iyah.
Aku tidak ingat apa-apa, sementara rumah-rumah tetangga sudah pada ambruk. Di dalam rumah waktu itu, Air laut setinggi leher, sehingga aku hanya bisa melihat ke atas terus. Di sinilah aku teringat kembali ketika jaman revolusi, dulu yaitu ketika jaman gorombolan.
Waktu itu, mulutku ditodong pistol supaya bicara atau menunjukkan di mana letak atau keberadaan gorombolan. Tapi karena memang aku tidak tahu, maka aku jawab tidak tahu. Waktu itu, aku sudah pasrah, mau ditembak silahkan, yang jelas aku memang tidak tahu keberadaan gerombolan yang dimaksud. Di sinilah letak kekuasaan Alloh, aku selamat dan masih dapat hidup sampai sekarang ini.
Air laut di dalam rumah berputar-putar, aku tidak bisa berbuat banyak, aku hanya bisa pasrah dan berdo’a, “Ya, Alloh selamatkanlah hamba, dan juga anak cucu dan cicit hamba. Ampunilah dosa-dosa kami”
Sementara Si Iyah, berdiam diri di dekat pintu, sambil memegangi pane yang di atasnya diletakkan anak kecil.
Setelah air laut surut, baru kami mendengar Si Gugi, cucuku itu memanggil-manggil dari arah bukit Pasir Benda. Kebetulan bukit itu terletak persis di belakang rumah kami.
“Ma Olot, Ma olot, kadieu… Iyah kadieu, ka pasir !!”
Mendengar teriakan-teriakan itu, seperti Si Kabayan, kami baru keluar dari rumah dan lari naik ke Pasir Benda. Di pasir itu ternyata sudah banyak orang yang berhasil menyelamatkan diri, diantaranya ada Bi Saonah, Bi Amah Hadis, Si Rio, Bi Rasiti, dan beberapa orang lainnya. Sementara Gugi turun dan mengambil perbekalan pakaian yang masih dapat diselamatkan. Kami semalaman caricing di Pasir itu.
“Pak, tulungan abdi Pa…” Bi Saonah meminta tolong kepadaku. Tangannya yang sebelah kanan patah.
“Ah, wayahna be bi, kami mah teu bisa….” Jawabku ketika melihat bahwa tangannya patah terkena benturan benda-benda keras selama pelarian menuju ke pasir tersebut.
Katanya dia, ketika gelombang air laut datang, dia lari lewat pipir sumurnya Mang Kultum, namun naas gelombang terlalu cepat untuk dihindari. Akhirnya, tubuhnya terbanting-banting terseret arus dan mengenai berbagai macam benda keras. Maka dia mendapati tangan kanannya patah, dan itu pun baru terasa dan diketahui setelah dia berada di pasir itu. Dengan sobekan-sobekan kain dan kayu yang ada kami buatkan sepalek, dan beberapa ramuan sebisa kami.
Di pasir inilah kami semua menyelamatkan diri dan bermalam satu hari. Esok harinya kami baru dapat mengungsi ke tempat yang lebih aman yaitu ke Balai Desa Masawah.
No Response to "H. Syarif (80 th) dan Gugi (29 th), Madasari, 20"
Posting Komentar