Nasidin (55 th) dan Ukus (32 th), Madasari, 019
Mama, mama, awas mobil !!
Waktu menunjukkan pukul 16.15 WIB. Setelah shalat ashar, aku dan anakku satu-satunya Ukus, berangkat ke Rancawaru. Isteriku, Enas, sedang ngakeul nasi.
“Ma, arek maraban lauk ka Rancawaru jeung si Ukus !” pamitku pada isteri yang sedang sibuk di dapur.
“Heueuh jig, ati-ati we !!” jawab isteriku sambil ici kiweuh sibuk dengan pekerjaan rutinnya setiap sore hari.
Setelah dapat jawaban, kami gura-giru menuju ke Rancawaru lewat hanjatan Singkil dengan menggunakan sepeda motor. Ketika kami baru saja asup ke pasarean, tiba-tiba Ukus teriak-teriak dari belakang. Kebetulan dia yang saya bonceng.
“Ma, Mama… aya mobil !” teriak Ukus memberi tahu.
“Ieu mah angin lain mobil ieuh” jawabku meyakinkan. Sementara sepeda motor tetap melaju melewati jalan setapak yang membelah pasarean yang sudah berumur sangat tua itu.
“Ma, Ma, bisi keuna ku mobil” Ukus teriak lagi.
Motor baru saja mau melewati sekung Rancawaru, motor menabrak tembok sekung tersebut, karena sebelum kami sempat melewati sekung tersebut dan menjawab seruan Ukus, gelombang air laut tiba-tiba dengan secepat kilat datang menghantam motor yang sedang kami tumpangi. Alhasil karena hantaman itu, motor menabrak dinding sekung dan kami semua terjatuh.
Kami bangun, motor kami dorong, gelombang air laut yang pertama itu sangat deras. Adapun ketinggian air baru sekitar tuur (dengkul). Kemudian, tak begitu lama, gelombang kedua datang dengan tak kalah derasnya. Menghadapi situasi ini, akhirnya motor saya lepaskan dan aku fokus ke penyelamatan anakku, Si Ukus. Air laut waktu itu sudah semakin tinggi, yaitu mencapai bujal (udel).
Dalam keadaan seperti ini, aku berusaha untuk menyelamatkan diri dan juga diri anakku. Ukus, anakku ripuh, sementara tanganku juga riweuh, tiba-tiba ada pohon kelapa tumbang yang terseret gelombang lewat di depan kami, maka dengan serta merta kami berdua naik. Kami sudah tidak ingat lagi dengan nasib motor satu-satunya yang kami punya.
Kami mengikuti arus dengan menumpang pohon itu kurang lebih menempuh jarak sekitar 450 meteran, hingga sampai di gegenteng Pasir Lutung. Di sana kami turun dan kemudian naik ke pasir tersebut. Sesampainya di gegenteng bukit itu, aku surak (berteriak).
“Heueueuy..... Aya jalma di dieu henteu ?” teriakku dengan lantangnya. Maksudku, aku berteriak untuk mengetahui apakah ada orang di sana atau di sekitar pasir itu atau tidak. Hal ini merupakan kebiasaan di kampung kami ketika kami sedang di hutan atau di pasir atau di tempat yang sepi.
“Huuuuhh. Aya.. kami mah di dieu !” sebuah jawaban lewat teriakan juga terdengar dari arah pasir.
Ternyata mereka warga di kampungku juga. Salah satu dari mereka adalah Bi Niem.
Itulah salah satu alat komunikasi kami, yang kami rasa cukup efektif untuk saling mengakrabkan diri atau hanya sekedar mengisi waktu kosong. Hal ini juga bisa digunakan ketika situasi atau keadaan sedang darurat, seperti sekarang ini.
Akhirnya kami saling ketemu. Di sinilah kami seperti benar-benar bersaudara, dan memang kami bersaudara, kami adalah saudara sekampung. Di sinilah kami menumpahkan pengalaman masing-masing. Suka duka kami tumpahkan bersama.
Kami isi waktu yang ada sambil menunggu berlalunya mara bahaya dan surutnya air laut. Kami lihat di lembah pasir (bukit), ikan-ikan laut seperti ikan kawan yang punya kebiasaan bergerombol itu. Kawanan Ikan itu sangatlah banyak, tapi kami tidak tertarik dengan itu semua. Kami hanya berfikir, bagaimana keadaan kampung kami, dan bagaimana pula nasib isteri, sanak saudara, dan warga sekampung kami di Bulak benda.
Ketika keadaan sudah aman, maka kami turun dari gegenteng itu dengan maksud untuk menuju ke perkampungan. Jarak dari lokasi ke perkampungan kurang lebih 1,5 km. Di sini kami berpisah, Bi Niem dan rombongannya lewat arah Cilebok, sementara saya dan Ukus lewat pasarean lagi. Sambil pulang, aku sambil mencari keberadaan motorku. Dan alhamdulillah, motornya ketemu di babakan Ki Omi. Namun keadaannya sangat menghawatirkan. Mesinnya tidak bisa nyala, dan kondisinya sudah rusak. Maka dengan segenap tenaga yang ada, motor ku dorong hingga sampai di perkampungan.
Kami tidak menyangka, bahwa kejadiannya mau seperti itu. Kampungku rusak parah. Kampung geus teu mang rupa. Aku merasa lemas dan sangat lelah, pokonana mah capek dan ripuh. Apalagi ketika kami sampai di depan rumah kami. Kami hanya melihat dan mendapati bahwa rumah kami tinggallah pondasi tak berdinding dan tak beratap, alias habis luluh lantak di hentak gelombang. Air mata, tak dapat aku bendung lagi, tubuhku lemas lunglai dan terkulai layu. Begitupun dengan Ukus anakku. Hanya cucuran air mata dan isakkan tangis yang terlontar dari mulutnya.
Setelah agak lama, aku baru teringat akan nasib Enas, isteriku. Aku teringat ketika sebelum kami berangkat ke Rancawaru, dia sedang ngakeul kejo. Namun aku tidak tahu, ketika gelombang tsunami melanda, apakah dia masih ngakeul atau sudah bisa menyelamatkan diri bersama warga kampung lainnya.
Kami ke sana ke mari berusaha untuk mencarinya. Namun baru kami dapat menemukannya beberapa waktu kemudian. Isteriku kami temukan di depan masjid kidul, letaknya kurang lebih 50 meter. Kebetulan masjid itu terletak persis di sebelah kulon belakang rumahku, hanya terhalang sekitar dua rumah.
Isteriku terlihat tanpa busana, menurut orang-orang yang sempat tahu ketika kejadian, katanya sedang mandi, jadi belum sempat memakai pakaian ganti. Maka dengan kain-kain seadanya kututup tubuhnya hingga rapat. Setelah itu, mayatnya dibawa ke balai desa untuk diproses lebih lanjut bersama mayat-mayat lainnya yang berhasil ditemukan.
Begitupun dengan Aku, Ukus, dan Mantuku, kami semua langsung mengungsi ke balai desa. Di sana kami sampai berbulan-bulan hingga kami rasa cukup untuk menghilangkan trauma dan segala kenangan pahit yang ada. Baru ketika bulan puasa tiba, aku dan keluarga kembali lagi ke rumah semula dengan mendirikan gubug atau rumah darurat seadanya.
No Response to "Nasidin (55 th) dan Ukus (32 th), Madasari, 019"
Posting Komentar