Neti (55 th) dan Abdul Rohman (62), Madasari, 024
Baheula mah, sora kitu teh… KANON
Waktu itu, aku bareng dengan Abdul Rohman (54) suamiku sedang berladang di Panyasarangan. Tiba-tiba terdengar dentuman keras 2 kali dari arah laut selatan (kidul), Samudera Indonesia.
“Glung … glung ….”
“Mang Jaka, bieu sora naon euy?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Akh, duka, teu nyahooo… Ari jaman baheula mah sora kitu teh : KANON. Tapi da maenya jaman kiwari aya kanon deui. Kapan urang teh tos merdeka? Kitu lain ! ” jawab Mang Jaka Goler.
“Heueuh nya?” Kang Adul, panggilan akrab suamiku, menimpali.
Setelah pembicaraan itu, kami sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Maklum kerjaan di ladang juga banyak. Ada yang nyacar, ngahuru, dan lain-lainnya.
Waktu menunjukkan pukul 15.55an. Sepulang dari ladang, aku dan Kang Adul pulang menyusuri perbukitan di Madasari. Setibanya di lolojok Legok Pari. Kang Abul sambil nyesered sepeda tua dan aku menyusuri jalan setapak menuju ke perkampungan. Rencananya mereka akan pulang ke bulak benda. Jarak dari Madasari ke Bulak Benda kurang lebih 3 kilometeran. Salah satu jalan yang biasa dilalui untuk sampai ke Bulak Benda dengan sepeda yaitu dengan lewat jalan desa yang dihubungkan jalan Madasari.
Namun secara tiba-tiba dari arah pasisir dan hanjatan (laut) Madasari terdengar suara seperti helikopter yang mau mendarat dan terdengar juga suara bobrotokan yang ditimbulkan oleh gesekan benda-benda keras yang patah.
Alih-alih kami belum sampai ke perkampungan, dari arah kampung, warga Madasari berhamburan menuju ke perbukitan dengan nafas terengah-engah dan wajah – wajah ketakutan serta pucat. Di antara mereka ada yang menggendong anak kecil, orang tua jompo, dan beberapa perbekalan seadanya.
Aku mencoba bertanya pada Bi Panem, salah seorang dari mereka : “Aya naon deuih bi? Lulumpatan meni sakaparen-paren?”
Bi Panem yang ditanyapun tetap berlari dengan terbirit-birit, tanpa menghiraukan orang yang bertanya. Kemudian dari belakang ada ibu-ibu sambil mengais anak kecil menjawab, “Aya naon…, aya naon.. Aya Sunami!” kata orang itu dengan nada agak ketus.
Mendengar jawaban itu, tanpa berfikir panjang Aku langsung lari mengejar mereka dengan tujuan yang sama yaitu menuju ke perbukitan Bunut.
Sementara itu, Kang Abdul yang berjalan lebih dahulu kupanggil-panggil. Namun panggilanku tak dihiraukannya. Suamiku tetap saja berjalan menuju ke perkampungan. Tapi ketika orang-orang ramai berhamburan dan memberitahu ada gelombang tsunami, akhirnya berbalik arah, dan ikut berlari. Sepedapun di buangnya di pinggir jalan setapak.
Semua warga Madasari yang kebetulan sedang berada di perkampungan dan yang baru pulang dari panyabaan, langsung berlari menyelamatkan diri ke perbukitan di sekeliling perkampungan. Warga yang menyelamatkan diri itu tersebar di lolojok Legok Pari, Bunut, Panon Nyampay, dan ada juga yang di lolojok Panyasarangan serta di perbukitan dekat Muara Madasari.
Aku dan suamiku menyusuri perbukitan dengan tujuan untuk ke Bulak Benda, tumpah darahku. Sepanjang perjalanan aku menangis dan terus menangis. Sementara tubuhku terasa lemas seolah-olah tak bertenaga. Kelelahanku tak bisa dilukiskan.
Sepanjang perjalanan itu pula aku jatuh bangun ketika membayangkan betapa rusak dan hancurnya kampung halamanku itu. Menurut berita orang-orang, Bulak Benda sudah habis rata dengan tanah. Dan kata mereka pula, rumahku yang tadinya berada di tengah-tengah perkampungan, sekarang berubah menjadi rumah terdepan dari laut.
Sesampainya di lolojok Injut, aku bergabung dengan beberapa warga yang berhasil menyelamatkan diri di Pasir Pilar. Pasir ini adalah pasir yang terpanjang di wilayah pedusunanku. Sehingga dari Injut itu bisa terhubung dengan beberapa blok wilayah lain hingga mencapai Blok Madasari. Di sini aku ditinggal oleh suamiku. Dia katanya pingin menengok keadaan rumah.
“Ma, aku mau lihat rumah dulu. Kata orang-orang rusak juga. Pokona maneh mah tungguan bae di dieu. Ulah kama-mana. Sok komo lamun kami can datang deui mah” Suamiku berpamitan.
“Ulah Ma, di dieu bae… bisi kumaha onam!” jawabku melarang dia.
Namun, aku ingat betul perwatakannya, kalau sudah punya keinginan sesuatu, maka apa yang menjadi keinginannya tak bisa dicegah lagi. Maka suamiku ngincig ka kidul dengan berjalan kaki menuju ke blok RT 2, dimana rumahku berada.
Sepeninggal suamiku, aku hanya menangis dan menangis serta harap-harap cemas. Aku hanya dapat bertanya-tanya, bagaimanakah nasib ibuku, anak dan cucuku serta warga kampung lainnya. Apakah mereka selamat semua dan apakah ada sanak saudaraku yang menjadi korban.
Tiba-tiba dari arah perkampungan kulihat Sumaryo, anak sulungku, datang dan tanpa ba bi bu langsung menggeret tanganku untuk ikut dengannya, ke arah kaler menuju ke pasir Bohin. Katanya saudara-saudara kami banyak yang menyelamatkan diri di bukit itu.
“Ma, hayu milu jeung kami. Da, Mang Ganda sareng barudak mah tos di daritu. Ulah di dieu bae bisi kumaha onam!” ajak anakku itu dengan tergesa-gesa.
“Ari kitu di Pair Bphin aya saha bae deuih? Ari Mama kumaha, tinggalkeun bae atuh?” tanyaku.
“Di Pasir Nyatuh teh aya Mang Ganda, Nene Amah, Bi Emin, Mang Eneh, Bi Eni, jeung barudak, tapi ari si Anggi mah euweuh can kapanggih. Keun bae ari Mama mah. Engke oge neangan ieuh meureun” jawabnya.
Sesampainya di Pasir yang dimaksud ternyata benar, di sana sudah banyak pengungsi terutama kebanyakan adalah saudara-saudaraku. Di bukit itu kami bermalam sambil berjaga-jaga. Tanpa alas, tanpa makanan, dan tanpa obat-obatan, apalagi obat nyamuk. Malam itu terasa sangat panjang. Kami semua tidak bias tidur, apalagi malam itu kami dihinggapi gerimis yang panjang.
Kemudian setelah aku sampai di sana, Sumaryo anakku kembali lagi mencari Anaknya, Anggi, yang belum juga ketemu. Katanya juga sambil mau menemui Mama di RT 02. Namun tak lama kemudian dia kembali lagi, katanya Mama dan Anggi sudah ngungsi ke Balai Desa, di Masawah. Itupun kata orang-orang yang ditemui Sumaryo di RT 2. Mendengar itu, aku jadi lega. “Berarti mereka selamat semua,” gumamku.
Sore itu kami tidak lekas menyusul ke Balai desa, karena hari sudah gelap, dan keadaan alampun sangat mencekam. Sisa-sisa hempasan gelombang itu masih sangat nyata di setiap sudut perkampungan.
Esok harinya, kami baru dapat bantuan makanan dari saudara-saudara kami yang berada di Masawah serta tetangga desa lainnya. Beranjak siang dan setelah dirasa aman, kamipun pindah ke loksi pengungsian di Desa Masawah. Di sana kami berbulan-bulan, sampai ada kekuatan kami untuk mulai turun lagi ke lokasi.
Lokasi perantara pertama yaitu di Camp Injut, atau yang lebih dikenal dengan Kampung Tenda Dusun Madasari. Kemudian pindah ke Kampung Tenda berikutnya di Babakan Hasbi. Ini adalah rumah antara kedua. Setelah itu, keluargaku pindah ke rumah ibuku di RT satu juga, cuman sudah mendekati lokasi rumah di RT 2. Baru kemudian, aku dan keluargaku pindah ke rumah semula di RT 2. Di sanalah kami mulai lagi kehidupan baru dari titik nadir, kalaupun masih dilanda rasa was-was terutama di malam hari.
1 Response to Neti (55 th) dan Abdul Rohman (62), Madasari, 024
Nembe kabuka blogna kang, pasti Kang Ade S, putrana Ibu & Bapa nu namina dina judul kan? salam kang. Damang? iraha ka Bulben deui. Foto-foto Bulben aya di blog abdi. seueur keneh nu teuacan di posting...
Posting Komentar