Sadili (60 th), Madasari, 023
Nyalametkeun Mitoha….
Waktu itu, aku sedang kasab (mencari orang yang jual sapu lidi) di buruan Bi Surati. Seperti hari-hari sebelumnya, aku yang berprofesi sebagai pembeli sapu lidi (nyere) aku melakukan aktifitas seperti biasanya. Dari satu sudut kampung ke sudut kampung lainnya. Dari penghasilan sapu lidi ini, bagi aku dan isteriku lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup berdua, kalaupun belum dikatakan layak.
Aku sebetulnya punya anak, namun mereka sudah mentas semua, dan mereka sudah punya rumah sendiri-sendiri. Jadi Aku di rumah hanya hidup berdua bersama isteriku yang tercinta, Rasiti.
Ketika aku sedang mengendarai sepeda, satu-satunya kendaraan yang aku punya, tiba-tiba dari arah timur terdengar suara helikopter seperti mau mendarat. Tak lama kemudian disusul oleh berhamburannya orang-orang dari arah yang sama sambil berteriak-teriak, “Tsunami.. Tsunami… Mang tsunami hayu lumpat ka pasir !’.
Orang-orang ada yang berlarian ke arah kulon (barat) dan ada juga yang langsung naik ke Pasir Gandul, kebetulan pasir ini letaknya tidak jauh dari posisiku berada, paling-paling hanya 50 meter. Namun aku tidak sempat berfikir panjang, aku langsung lari ngebut dengan sepeda itu menuju ke arah kulon berbarengan dengan yang lain.
Setelah di kulon, aku teringat dengan nasib isteriku yang baru saja saya tinggalkan. Dia berada di rumah sedang memasak. Maka, aku lari lagi ke arah perkampungan, sudah sampai di posisi awal kejadian (buruan Surati), aku berhadapan dengan datangnya air besar. Aku takut, dan kembali lagi ke kulon.
Setelah di kulon aku teringat lagi dengan nasib isteriku, maka aku balik lagi ke wetan menuju kampung. Ketika hampir sampai ke lokasi, datang lagi gelombang yang ketiga, maka aku lari lagi ke kulon untuk menyelamatkan diri. Akhirnya aku berhenti di sana untuk beristirahat. Keadaan kacau balau, pangacianku tidak keruan. Ingat sana-sini, ingat keselamatan isteri dan ingat juga dengan keselamatan diri sendiri.
Setelah air agak surut dan dirasa aman, aku kembali lagi menuju ke rumah di blok Rt 3. Namun sebelum sampai di sana, aku bertemu dengan Kartobi, adik Ipar yang sedang membawa mertuaku dan mertuanya juga sambil mencari isterinya yang belum ketemu.
“Kang, salametkeun ieu mitoha ka ditu, kami mah arek neangan pamajikan can kapanggih” kata Kartobi sambil memberikan mertua perempuan kepadaku. Belum sempat aku menjawab, Kartobi sudah ngeloyor ke arah timur menuju ke rumahnya.
“Duh… bedul teh sia !” aku sedikit mengumpat, “Aku belum sempat mengetahui dan menyelamatkan isteriku sudah ada kerjaan lagi” gumamku.
“Bi, Obi….!!” Kataku memanggil-manggil Kartobi.
Namun, Kartobi tetap ngeloyor sambil berkata, “Sarua, mertua maneh keneh ieuh !!”
“Hehhh. Pusing aing mah !” umpatku sambil dengan terpaksa menggandong mertuaku dan membawanya ke arah kulon. Walaupun berat, aku tetap menggandongnya. Perjalananku sampai Sekung Paneureusan kurang lebih satu kilo aku jalan kaki. Aku sudah tidak ingat lagi dimana aku menyimpan sepeda, apakah masih ada ataukah sudah hanyut terbawa air laut. Di sekung Paneureusan sudah ada beberapa kendaraan yang menjemput.
Setelah mertuaku dinaikkan ke kendaraan dan kutitipkan ke orang yang ada di situ, maka aku kembali lagi menuju ke perkampungan dengan tujuan ingin mencari isteriku yang sudah berkali-kali dari tadi tidak jadi aku cari. Aku belum tahu nasib isteriku, apakah selamat ataukah sudah meninggal.
Sepanjang perjalanan, aku selalu bertanya kepada orang-orang yang aku temui tentang kabar dan keberadaan isteriku. Namun mereka semua menunduk, tidak punyai gairah, dan setiap pertanyaan tidak dijawab kalau kita tidak menepuk bahunya atau menggandulinya. Kalaupun menjawab, mereka hanya menjawab sakeuna na (sekenanya).
Aku langsung menuju rumahku. Untuk mencapai sana terasa sangat sulit karena terhalang oleh bangkai-bangkai rumah yang hancur berantakan. Sarah-sarah rumah dan segala macam yang terbawa arus seolah-olah mendedal di perbatasan Rt 2 dan RT 3. Kebetulan di sana padat rumah penduduk. Ada yang sudah hancur dan ada juga yang masih tegak berdiri.
Sesampainya di rumah, ternyata sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Kondisi di dalam rumah pasiksak, teu puguh rupa. Meja kursi berantakan, bahkan banyak perabitan rumah yang hilang entah kemana. Mungkin terbawa arus. Pintu depan dan belakang rumah jebol. Namun di situ masih kulihat ada buffet rak perabotan.
“Ras, Ras, Siti….?” Tanyaku berkali-kali. Kupanggil-panggil isteriku, saya kira di dalam rumah. Ternyata tidak ada satupun orang di dalam rumah itu. Mendapati keadaan rumah seperti itu, aku langsung lari dari satu pasir ke pasir lainnya. Sesampainya di Pasir Benda, di sana ternyata baru kutemukan isteriku beserta ada pengungsi lainnya, seperti : Ajengan H. Syarif, Bi Amah Hadis, Bi Saonah, Si Gugi, Si Rio, dan yang lain-lain.
Karena waktu sudah malam, maka akhirnya kami bermalam di sana dan tetap berjaga-jaga dari kemungkinan tsunami susulan. Dan benar juga ternyata, semalam itu terjadi lagi tsunami susulan sebanyak dua kali, yaitu jam 23.00 WIB dan jam 01.00 WIB dini hari.
Besok harinya kami berduyun-duyun mengungsi ke Balai Desa Masawah dengan kendaraan yang sudah disediakan oleh para relawan tetangga desa dan juga pemerintahan desa. Di sana kami bergabung dengan para pengungsi lain dari kampung kami dan dari tetangga desa, seperti Kentrung, Cidadap, dan Logodor (Desa Legok Jawa).
No Response to "Sadili (60 th), Madasari, 023"
Posting Komentar