Kisah - Kisah Tsunami
Sarilah (50 th), Bulbend, 012
Waktu kejadian, Aku, Alsim, Solihin, dan Sodikin sedang berada di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Singkil। Selain itu, juga aku ingat ada beberapa orang lain yang sedang di sana juga, yaitu Marijan, Saleh, dan Anaknya Mang Hamim.
Ketika kami sedang asyik ngobrol di tempat pelelangan itu, kebetulan aku menghadap ke arah laut, tiba-tiba dari arah laut terdengar suara ledakan sebanyak dua kali। Aku dan semua yang ada di situ terkejut. Keterkejutan kami ditambah lagi ketika kulihat percikan api dari dasar laut. Kami mengira, itu adalah kapal yang terbakar (kapal kahuruan).
Ketika kami masih bertanya-tanya, kulihat air laut surut sangat jauh kurang lebih 100 sampai dengan 200 meter, hingga batu-batu karang di Muara Singkil terlihat semua termasuk Karang Malang
Belum habis keheranan kami, dalam hitungan detik tiba-tiba dari arah hanjatan, kulihat perahu nelayan berdiri dan terbang. Maka dengan serta merta kubertanya pada Solihin
“Sol, Sod, parahu bet nangtung jeung ngapung. Aya naon ieu…??” tanyaku pada Solihin dan Sodikin. Ternyata kulihat di belakangnya ada gelombang air laut yang sangat besar
“Tsunami Bi, hayu lumpat !!” jawab Sol dan Sod sambil berlari। Sementara aku gigisik panon sambil tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi (tsunami).
Setelah aku benar-benar tersadar, maka aku lari sekuat tenaga menuju ke bukit। Alhamdulillah selamat, walaupun aku sempat dilemparkan oleh gelombang tersebut beberapa kali. Sesampainya di bukit sekolah, aku menggapai tempat yang tinggi.
Dari sanalah kulihat drama pembumi hangusan Dusun Madasari। Air gelombang tsunami yang berwarna hitam itu melahap semua apa yang ada di depannya, tak terkecuali hewan dan manusia.
Pada barisan pertama, rumah-rumah penduduk di Blok Pangangonan satu persatu bertumbangan, kemudian pada baris berikutnya balai kampung, sekolah, madrasah, pasar, dan masjid RT 4 juga sama। Dan barisan yang terakhir yang berada di sebelah kanan jalan, adalah rumah-rumah penduduk lagi, mulai dari sebagian RT 4, RT 3, dan RT 5 serta disusul dengan RT 2. Bersihlah gelombang yang mengganas itu menyapu kampung halamanku.
Berbarengan dengan itu, berbagai macam suara terdengar memekakan telinga, dari suara helicopter, suara tumbangnya bangunan, suara jeritan, dan tangisan, serta teriakan orang bersahut-sahutan। Suasana kampungku kacau balau tak keruan. Namun apa boleh dikata. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Satu hal yang aku pegang erat-erat waktu itu adalah bahwa aku harus selamat dan bisa berkumpul lagi dengan keluarga.
Setelah air laut susut dan keadaan aman, maka aku langsung turun dri bukit dan menuju ke tempat pengungsian di Balai Desa Masawah। Di sana saya baru bisa bertemu dengan warga-warga sekampung serta beberapa kerabat dan saudaraku. Di sana pula aku bisa bertemu dengan warga dari dusun tetangga, seperti Kentrung, Cidadap, dan Logodor Desa Legok Jawa.
Sol, parahu bet nangtung…??
Waktu kejadian, Aku, Alsim, Solihin, dan Sodikin sedang berada di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Singkil। Selain itu, juga aku ingat ada beberapa orang lain yang sedang di sana juga, yaitu Marijan, Saleh, dan Anaknya Mang Hamim.
Ketika kami sedang asyik ngobrol di tempat pelelangan itu, kebetulan aku menghadap ke arah laut, tiba-tiba dari arah laut terdengar suara ledakan sebanyak dua kali। Aku dan semua yang ada di situ terkejut. Keterkejutan kami ditambah lagi ketika kulihat percikan api dari dasar laut. Kami mengira, itu adalah kapal yang terbakar (kapal kahuruan).
Ketika kami masih bertanya-tanya, kulihat air laut surut sangat jauh kurang lebih 100 sampai dengan 200 meter, hingga batu-batu karang di Muara Singkil terlihat semua termasuk Karang Malang
Belum habis keheranan kami, dalam hitungan detik tiba-tiba dari arah hanjatan, kulihat perahu nelayan berdiri dan terbang. Maka dengan serta merta kubertanya pada Solihin
“Sol, Sod, parahu bet nangtung jeung ngapung. Aya naon ieu…??” tanyaku pada Solihin dan Sodikin. Ternyata kulihat di belakangnya ada gelombang air laut yang sangat besar
“Tsunami Bi, hayu lumpat !!” jawab Sol dan Sod sambil berlari। Sementara aku gigisik panon sambil tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi (tsunami).
Setelah aku benar-benar tersadar, maka aku lari sekuat tenaga menuju ke bukit। Alhamdulillah selamat, walaupun aku sempat dilemparkan oleh gelombang tersebut beberapa kali. Sesampainya di bukit sekolah, aku menggapai tempat yang tinggi.
Dari sanalah kulihat drama pembumi hangusan Dusun Madasari। Air gelombang tsunami yang berwarna hitam itu melahap semua apa yang ada di depannya, tak terkecuali hewan dan manusia.
Pada barisan pertama, rumah-rumah penduduk di Blok Pangangonan satu persatu bertumbangan, kemudian pada baris berikutnya balai kampung, sekolah, madrasah, pasar, dan masjid RT 4 juga sama। Dan barisan yang terakhir yang berada di sebelah kanan jalan, adalah rumah-rumah penduduk lagi, mulai dari sebagian RT 4, RT 3, dan RT 5 serta disusul dengan RT 2. Bersihlah gelombang yang mengganas itu menyapu kampung halamanku.
Berbarengan dengan itu, berbagai macam suara terdengar memekakan telinga, dari suara helicopter, suara tumbangnya bangunan, suara jeritan, dan tangisan, serta teriakan orang bersahut-sahutan। Suasana kampungku kacau balau tak keruan. Namun apa boleh dikata. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Satu hal yang aku pegang erat-erat waktu itu adalah bahwa aku harus selamat dan bisa berkumpul lagi dengan keluarga.
Setelah air laut susut dan keadaan aman, maka aku langsung turun dri bukit dan menuju ke tempat pengungsian di Balai Desa Masawah। Di sana saya baru bisa bertemu dengan warga-warga sekampung serta beberapa kerabat dan saudaraku. Di sana pula aku bisa bertemu dengan warga dari dusun tetangga, seperti Kentrung, Cidadap, dan Logodor Desa Legok Jawa.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar