Kisah - Kisah Tsunami
Ote (48 th) dkk, Madasari, 017
Waktu itu, aku baru pulang ngarambet di sawah। Di rumah, air laut setinggi 1 meter. Kulihat banyak ikan air tawar dan ikan laut yang mabuk, seperti : gurameh, marabak, koro, balanak, dan ikan beli. Kalau dikilo kurang lebih ada sekitar 7 kg. Sementara, di tembok bak mandi kulihat mertuaku sedang ucang-ucang ange (menyelonjorkan ke dua kaki ke bawah). Rupanya, beliau ketika terjadi tsunami tidak pergi ke mana-mana, hanya menyelamatkan diri di bak mandi itu. Air laut di bak mandi tersebut tidak sampai limpas, hanya tertutup air laut dengan ketinggian sekitar 75 % saja.
Setelah airnya mereda, baru aku dan mertuaku paciweuh mulungan ikan-ikan yang tergeletak mabok। Lumayan juga kami mendapatkan ikan yang banyak dan besar-besar pula. Maka, dengan ikan itu pulalah kami dapat bertahan hidup,selama beberapa hari di Pasir Nyatuh, karena segala bahan-bahan makanan yang ada di rumah habis semua terbawa air yang mengalir dengan deras itu. Begitupun dengan nasib perabotan rumah tangga, semuanya terhanyut bersama air.
Setelah keadaan tenang, maka mertuaku saya ungsikan ke pasir yang terdekat di RT 6, yaitu lolojok pasir Mang Nurdin (Pasir Nyatuh)। Sementara, aku bertujuh dengan Kusdin (Ketua RT 6), Mang Dayus, Mang Adun, Mang Kusnadi, Mang Ikin, dan Pa Tamiraji (mertuaku) sore sampai malam hari keliling dusun, dari daerah blok bungur sampai dengan blok pasir benda di bulak benda.
Malam telah menjelang, listrik mati, kami berjalan dari satu lorong ke lorong lainnya dengan berbekalkan lampu senter yang masih tersisa। Malam begitu gelap dan mencekam. Rumah-rumah hancur berantakan, di sana sini kami menjumpai tubuh-tubuh tak berdaya terjepit sarah-sarah gelombang. Malah di sekitar belakang rumah Pak Suban, Kepala Sekolah SD Madasari, terdengar suara perempuan menangis. Tembok-tembok rumah hancur, pohon-pohon tumbang. Kampung Madasari tak ubahnya seperti kapal pecah.
Sebelum sampai di RT 2, kami mendapati nenek-nenek yang sedang selonjoran di teras rumahnya yang penuh dengan rungga-rungga (sampah-sampah) dan keadaan rumahnya reyot diterjang gelombang। Ternyata dia adalah Nini Wiwi.
“Ni, geuning bet di dinya bae? Keur naon dih? Kaditu atuh ka pangungsian bareng jeung batur…” tayaku.
“Lah, kami mah arek kitu arek kieu, pokona mah paeh hirup hayang di dieu. Di lembur sorangan.” Jawab Nini Iwi, panggilan akrabnya.
“Heueuh, sok atuh ari kitu mah। Kami mah arek ka kidul॥” ucap kami serentak.
Setelah dialog itu baru kami melanjutkan perjalanan ke arah kidul। Dengan tujuan ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya di seluruh kampung. Kebetulan kondisi di RT kami, RT 5 dan 6 tidak terlalu parah karena arus gelombang tsunami sudah terhalang dulu oleh Pasir Sakola, dan Pasir Mareng mang, jadi di wilayah kami lumayan relatif terjaga dari kehancuran yang fatal.
Bau belerang, oli, bensin, minyak tanah tersebar ke mana-mana, terutama bau belerang yang begitu menyengat, serta bau anyir (amis) air laut juga banyak menyisakan tanya bagi kami। Apa yang sesungguhnya terjadi? Tanah yang kami injak berubah total tidak seperti tanah biasanya, tetapi dipenuhi oleh lumpur yang sangat ladu dan licin.
Berbarengan dengan itu, bencana tsunami ternyata tidak hanya menyisakan duka kesedihan belaka, tetapi ada juga penduduk lokal yang memanfaatkan situasi yang seperti itu, yaitu dengan mencuri dan mengambil barang-barang yang bukan miliknya। Kami tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya mampu melihat dan memperhatikan, dan juga mencatat di dalam sanubari ternyata kepala orang sama hitam, tetapi hati dan perilakunya bisa berbeda-beda.
Sungguh ironis, keji, dan menyesakkan dada। Bagaimana mungkin kami mau mengharu biru mereka, sementara jiwa raga kami pun berada dalam kondisi yang sangat tidak stabil. Rumah, harta , jiwa dan raga keluarga kami dan sanak saudara kami sekampung dalam keadaan berduka yang sangat mendalam. Sesuatu yang terus terpikir dalam pikiranku, apakah kejadian ini sungguh-sungguh terjadi, atau hanyalah sebuah mimpi?
Malampun berlalu dengan begitu lambat। Kami bertujuh tidur di sembarangan tempat, terutama di tempat-tempat yang dikira aman, karena kami juga takut gelombang susulan akan datang lagi.
Besok harinya, aku baru ingat kembali dengan Nini Wiwi yang bertahan di rumahnya tadi malam। Maka dengan ditemani beberapa orang kami menengok lagi ke teras rumahnya. Apa yang terjadi? Kami semua terkejut bukan kepalang, karena ternyata Nini-nini yang telah lama ditinggal suami dan anak-anaknya itu terjepit reruntuhan rumah dan sudah tidak bernyawa lagi.
Aku hanya bisa bergumam, “Peutingna nanya, beurangna maot”.
“Ih… Ngeri juga। Jangan-jangan, yang nanya tadi malam itu adalah rohnya” celetuk Mang Dayus sambil melengos. Sementara, jasad Nini-nini itu langsung dibawa ke balai desa ketika tim bantuan evakuasi datang. Dan setelah dimandikan dan disholati, mayatnya di kubur secara masal dengan korban lainnya di pekuburan Masawah.
Peutingna nanya, beurangna maot
Waktu itu, aku baru pulang ngarambet di sawah। Di rumah, air laut setinggi 1 meter. Kulihat banyak ikan air tawar dan ikan laut yang mabuk, seperti : gurameh, marabak, koro, balanak, dan ikan beli. Kalau dikilo kurang lebih ada sekitar 7 kg. Sementara, di tembok bak mandi kulihat mertuaku sedang ucang-ucang ange (menyelonjorkan ke dua kaki ke bawah). Rupanya, beliau ketika terjadi tsunami tidak pergi ke mana-mana, hanya menyelamatkan diri di bak mandi itu. Air laut di bak mandi tersebut tidak sampai limpas, hanya tertutup air laut dengan ketinggian sekitar 75 % saja.
Setelah airnya mereda, baru aku dan mertuaku paciweuh mulungan ikan-ikan yang tergeletak mabok। Lumayan juga kami mendapatkan ikan yang banyak dan besar-besar pula. Maka, dengan ikan itu pulalah kami dapat bertahan hidup,selama beberapa hari di Pasir Nyatuh, karena segala bahan-bahan makanan yang ada di rumah habis semua terbawa air yang mengalir dengan deras itu. Begitupun dengan nasib perabotan rumah tangga, semuanya terhanyut bersama air.
Setelah keadaan tenang, maka mertuaku saya ungsikan ke pasir yang terdekat di RT 6, yaitu lolojok pasir Mang Nurdin (Pasir Nyatuh)। Sementara, aku bertujuh dengan Kusdin (Ketua RT 6), Mang Dayus, Mang Adun, Mang Kusnadi, Mang Ikin, dan Pa Tamiraji (mertuaku) sore sampai malam hari keliling dusun, dari daerah blok bungur sampai dengan blok pasir benda di bulak benda.
Malam telah menjelang, listrik mati, kami berjalan dari satu lorong ke lorong lainnya dengan berbekalkan lampu senter yang masih tersisa। Malam begitu gelap dan mencekam. Rumah-rumah hancur berantakan, di sana sini kami menjumpai tubuh-tubuh tak berdaya terjepit sarah-sarah gelombang. Malah di sekitar belakang rumah Pak Suban, Kepala Sekolah SD Madasari, terdengar suara perempuan menangis. Tembok-tembok rumah hancur, pohon-pohon tumbang. Kampung Madasari tak ubahnya seperti kapal pecah.
Sebelum sampai di RT 2, kami mendapati nenek-nenek yang sedang selonjoran di teras rumahnya yang penuh dengan rungga-rungga (sampah-sampah) dan keadaan rumahnya reyot diterjang gelombang। Ternyata dia adalah Nini Wiwi.
“Ni, geuning bet di dinya bae? Keur naon dih? Kaditu atuh ka pangungsian bareng jeung batur…” tayaku.
“Lah, kami mah arek kitu arek kieu, pokona mah paeh hirup hayang di dieu. Di lembur sorangan.” Jawab Nini Iwi, panggilan akrabnya.
“Heueuh, sok atuh ari kitu mah। Kami mah arek ka kidul॥” ucap kami serentak.
Setelah dialog itu baru kami melanjutkan perjalanan ke arah kidul। Dengan tujuan ingin mengetahui keadaan yang sebenarnya di seluruh kampung. Kebetulan kondisi di RT kami, RT 5 dan 6 tidak terlalu parah karena arus gelombang tsunami sudah terhalang dulu oleh Pasir Sakola, dan Pasir Mareng mang, jadi di wilayah kami lumayan relatif terjaga dari kehancuran yang fatal.
Bau belerang, oli, bensin, minyak tanah tersebar ke mana-mana, terutama bau belerang yang begitu menyengat, serta bau anyir (amis) air laut juga banyak menyisakan tanya bagi kami। Apa yang sesungguhnya terjadi? Tanah yang kami injak berubah total tidak seperti tanah biasanya, tetapi dipenuhi oleh lumpur yang sangat ladu dan licin.
Berbarengan dengan itu, bencana tsunami ternyata tidak hanya menyisakan duka kesedihan belaka, tetapi ada juga penduduk lokal yang memanfaatkan situasi yang seperti itu, yaitu dengan mencuri dan mengambil barang-barang yang bukan miliknya। Kami tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya mampu melihat dan memperhatikan, dan juga mencatat di dalam sanubari ternyata kepala orang sama hitam, tetapi hati dan perilakunya bisa berbeda-beda.
Sungguh ironis, keji, dan menyesakkan dada। Bagaimana mungkin kami mau mengharu biru mereka, sementara jiwa raga kami pun berada dalam kondisi yang sangat tidak stabil. Rumah, harta , jiwa dan raga keluarga kami dan sanak saudara kami sekampung dalam keadaan berduka yang sangat mendalam. Sesuatu yang terus terpikir dalam pikiranku, apakah kejadian ini sungguh-sungguh terjadi, atau hanyalah sebuah mimpi?
Malampun berlalu dengan begitu lambat। Kami bertujuh tidur di sembarangan tempat, terutama di tempat-tempat yang dikira aman, karena kami juga takut gelombang susulan akan datang lagi.
Besok harinya, aku baru ingat kembali dengan Nini Wiwi yang bertahan di rumahnya tadi malam। Maka dengan ditemani beberapa orang kami menengok lagi ke teras rumahnya. Apa yang terjadi? Kami semua terkejut bukan kepalang, karena ternyata Nini-nini yang telah lama ditinggal suami dan anak-anaknya itu terjepit reruntuhan rumah dan sudah tidak bernyawa lagi.
Aku hanya bisa bergumam, “Peutingna nanya, beurangna maot”.
“Ih… Ngeri juga। Jangan-jangan, yang nanya tadi malam itu adalah rohnya” celetuk Mang Dayus sambil melengos. Sementara, jasad Nini-nini itu langsung dibawa ke balai desa ketika tim bantuan evakuasi datang. Dan setelah dimandikan dan disholati, mayatnya di kubur secara masal dengan korban lainnya di pekuburan Masawah.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar