Kisah - Kisah Tsunami
Yahno (45 th), Kentrung, 013
Waktu kejadian Aku sedang neangan nyere (mencari belian lidi)। Tidak seperti biasanya, jalan yang kuambil adalah jalan Logodor, bukan jalan depan SD Sindang Jaya. Ketika aku sudah dapat lidi tersebut, langsung saja aku bayar, namun lidinya tidak sekalian aku bawa. Kebetulan di sepeda, lidi sudah penuh.
“Keun be nya mang, nyere mah enjing dicandakna” kataku kepada penjual nyere tersebut.
Kemudian, ketika aku sedang ngobrol dengan Mang Engkos, penjual lidi tersebut, dari arah PT terdengar suara ngabeletuk (ledakan)।
“Kos-kos, bijil। Kahuruan…! ” kataku menyuruh Mang Okos supaya keluar dari rumah. Kebetulan dia sedang manahan duit ladang ngajual nyere.
“PT meureun ?” katanya sambil keluar sambil luak lieuk ka wetan.
Kemudian terdengar suara gemuruh angin, “Seok…. Paratak-paratak”.
Dari arah kejauhan, orang-orang cing gorowok sambil berlarian, “Cai… cai…!!”
Kemudian aku dan Mang Engkos ikut lari menyelamatkan diri। Ketika itu, terdengar lagi suara ledakan yang ke dua dan ketiga. Cai laut tarik nyower.
“Nini-nini sina ka pasir!” kataku nyuruh Mang Engkos.
“Heueuh” Jawab Mang Engkos।
Kemudian datang lagi gelombang yang sangat besar। Namun untung kami sudah berhasil menyelamatkan diri di bukit (pasir).
Kemudian aku meuntas (menyebrang) lewat susukan (sungai) mau ke tempat pengungsian di Masawah। Setelah di Masawah ternyata tidak ada keluargaku, maka kususul mereka ke Legok Jawa. Siapa tahu ada di sana. Ternyata, di sana juga tidak ada.
Di Legok teu aya sasaha। Culang cileung ngan sorangan. Lieuk kosong ragab teu aya. Jembatan Ci Peuteuy hancur. Tak ada sisa.
Perjalananku kulanjutkan menuju ke Gadog। Dan alhamdulillah, ternyata di sanalah saya baru dapat menemukan keluargaku. Anak, istri, dan seluruh keluargaku selamat dan dalam keadaan yang sehat wal afiat.
Aku merasa trenyuh ketika anakku bercerita waktu kejadian। Katanya, waktu itu dia sedang miceun (buang air besar) di pandan-pandan di pesisir pantai Sindang jaya.
Katanya, dia tidak mendengar dan melihat apa-apa। Tahu-tahu sudah terseret gelombang ke arah lautan. Kemudian ketika datang lagi gelombang susulan, dia terbawa lagi ke darat dekat walungan (sungai). Ketika sudah sampai di darat, dia langsung naik ke pohon ketapang dan mencari dahan yang paling tinggi.
Di dahan itulah dia baru merasa tenang, “Saya merasa tenang ayeuna mah” katanya waktu itu.
Kemudian dia berdoa, “Ya, Alloh। Selamatkanlah Ibu Bapak hamba. Selamatkanlah orang-orang Legok (Legok Jawa)”
Setelah keadaan tenang dan air sudah surut, maka anakku turun dari pohon tersebut dan mencari ibunya। Dan tidak begitu lama, akhirnya ketemu di suatu bukit. Dari bukit itulah baru mengungsi ke Gadog. Di Gadog inilah kami sekeluarga baru bisa bertemu.
Di Legok teu Aya Sasaha
Waktu kejadian Aku sedang neangan nyere (mencari belian lidi)। Tidak seperti biasanya, jalan yang kuambil adalah jalan Logodor, bukan jalan depan SD Sindang Jaya. Ketika aku sudah dapat lidi tersebut, langsung saja aku bayar, namun lidinya tidak sekalian aku bawa. Kebetulan di sepeda, lidi sudah penuh.
“Keun be nya mang, nyere mah enjing dicandakna” kataku kepada penjual nyere tersebut.
Kemudian, ketika aku sedang ngobrol dengan Mang Engkos, penjual lidi tersebut, dari arah PT terdengar suara ngabeletuk (ledakan)।
“Kos-kos, bijil। Kahuruan…! ” kataku menyuruh Mang Okos supaya keluar dari rumah. Kebetulan dia sedang manahan duit ladang ngajual nyere.
“PT meureun ?” katanya sambil keluar sambil luak lieuk ka wetan.
Kemudian terdengar suara gemuruh angin, “Seok…. Paratak-paratak”.
Dari arah kejauhan, orang-orang cing gorowok sambil berlarian, “Cai… cai…!!”
Kemudian aku dan Mang Engkos ikut lari menyelamatkan diri। Ketika itu, terdengar lagi suara ledakan yang ke dua dan ketiga. Cai laut tarik nyower.
“Nini-nini sina ka pasir!” kataku nyuruh Mang Engkos.
“Heueuh” Jawab Mang Engkos।
Kemudian datang lagi gelombang yang sangat besar। Namun untung kami sudah berhasil menyelamatkan diri di bukit (pasir).
Kemudian aku meuntas (menyebrang) lewat susukan (sungai) mau ke tempat pengungsian di Masawah। Setelah di Masawah ternyata tidak ada keluargaku, maka kususul mereka ke Legok Jawa. Siapa tahu ada di sana. Ternyata, di sana juga tidak ada.
Di Legok teu aya sasaha। Culang cileung ngan sorangan. Lieuk kosong ragab teu aya. Jembatan Ci Peuteuy hancur. Tak ada sisa.
Perjalananku kulanjutkan menuju ke Gadog। Dan alhamdulillah, ternyata di sanalah saya baru dapat menemukan keluargaku. Anak, istri, dan seluruh keluargaku selamat dan dalam keadaan yang sehat wal afiat.
Aku merasa trenyuh ketika anakku bercerita waktu kejadian। Katanya, waktu itu dia sedang miceun (buang air besar) di pandan-pandan di pesisir pantai Sindang jaya.
Katanya, dia tidak mendengar dan melihat apa-apa। Tahu-tahu sudah terseret gelombang ke arah lautan. Kemudian ketika datang lagi gelombang susulan, dia terbawa lagi ke darat dekat walungan (sungai). Ketika sudah sampai di darat, dia langsung naik ke pohon ketapang dan mencari dahan yang paling tinggi.
Di dahan itulah dia baru merasa tenang, “Saya merasa tenang ayeuna mah” katanya waktu itu.
Kemudian dia berdoa, “Ya, Alloh। Selamatkanlah Ibu Bapak hamba. Selamatkanlah orang-orang Legok (Legok Jawa)”
Setelah keadaan tenang dan air sudah surut, maka anakku turun dari pohon tersebut dan mencari ibunya। Dan tidak begitu lama, akhirnya ketemu di suatu bukit. Dari bukit itulah baru mengungsi ke Gadog. Di Gadog inilah kami sekeluarga baru bisa bertemu.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar