Kisah - kisah Tsunami
Kaswan (60 th), Cidadap - Legok Jawa, 010
Kerja keseharianku adalah nyadap (nderes)। Maklum daerah Bulak benda adalah daerah yang memilik potensi perkebunan kelapa rakyat yang cukup luas, hampir seluruh lahan pekarangan penduduk ditanami dengan pohon kelapa. Tidak hanya di daratan, pinggir pantai, ataupun di perbukitan ditanami juga dengan pohon kelapa.
Namun, penduduk Bulak benda sangat jarang yang memiliki mata pencaharian sebagai penderes। Paling-paling jumlah penderes di kampung itu dapat dihitung dengan jari. Itupun hanyalah orang-orang pendatang, bukan penduduk asli dari situ. Biasanya mereka berasal dari Cilacap, Kebumen, ataupun पुर्बलिंग्गा.
Hari ini kebetulan aku menderes di dekat lelang (TPI) Singkil। Seperti biasanya aku ditemani oleh dua orang temanku. Pada saat itu, aku masih di bawah pohon kelapa belum naik pohon kelapa satu pun. Namun kedua temanku sudah berada di atas.
Tiba-tiba dari arah tengah laut terdengar suara ledakan sebanyak dua kali। Suaranya seperti bom yang meledak। Terus disusul dengar terlihatnya percikan api। Kemudian, leb…. “Paratak….!! Keresek-keresek…“ seperti suara bebek yang riuh rendah berjalan. Jadi waktu itu tidak langsung datang air gelombang.
Di bawah aku hanya tertegun। Begitupun ketika kedua temanku memberitahu bahwa terjadi tsunami.
“Wan, tsunami…. lumpat” temenku yang satu dari atas kelapa memberi tahu. Sementara aku tidak lantas percaya. Aku nyumput di pandan-pandan. Kebetulan pohon kelapa yang akan aku naiki berdekatan dengan pandan di pinggir jalan raya.
“Ke… Enya dih tsunami…???” tanyaku dengan nada pertanyaan yang kurang yakin। Setelah aku nyumput (sembunyi) di pandan, aku lihat-lihat ke arah depan, Samudra Hindia. Aku tidak bisa melihat apa-apa, karena tertutup pohon pandan yang cukup tinggi. “Akh, tsunami nanahaon ? euweuh sing ?” lanjutku bergumam.
“Kaswan…., gancang naek. Eta tsunami geus deukeut !!” tamenku yang satu lagi memberi tahu.
“Ass… geuning enya….” Jawabku sambil lari menuju ke bukit yang berada di sebelah kanan jalan raya. Aku tidak sempat naik pohon kelapa.
Aku baru percaya ada tsunami ketika, kulihat temenku yang di atas pohon kelapa yang paling dekat pesisir sudah terungkup oleh air gelombang। Ketinggian air sekitar 5-6 meter. Sebelum sampai di tepi bukit, aku sudah terkejar air dan akhirnya aku terbawa air hingga sampai di bukit. Di bukit itulah kuberusaha mencari pegangan yang kuat untuk menahan laju derasnya air gelombang. Sampai akhirnya aku selamat. Begitupun dengan kedua temanku yang masih berada di pohon kelapa. Mereka juga selamat.
nyumput dina pandan
Kerja keseharianku adalah nyadap (nderes)। Maklum daerah Bulak benda adalah daerah yang memilik potensi perkebunan kelapa rakyat yang cukup luas, hampir seluruh lahan pekarangan penduduk ditanami dengan pohon kelapa. Tidak hanya di daratan, pinggir pantai, ataupun di perbukitan ditanami juga dengan pohon kelapa.
Namun, penduduk Bulak benda sangat jarang yang memiliki mata pencaharian sebagai penderes। Paling-paling jumlah penderes di kampung itu dapat dihitung dengan jari. Itupun hanyalah orang-orang pendatang, bukan penduduk asli dari situ. Biasanya mereka berasal dari Cilacap, Kebumen, ataupun पुर्बलिंग्गा.
Hari ini kebetulan aku menderes di dekat lelang (TPI) Singkil। Seperti biasanya aku ditemani oleh dua orang temanku. Pada saat itu, aku masih di bawah pohon kelapa belum naik pohon kelapa satu pun. Namun kedua temanku sudah berada di atas.
Tiba-tiba dari arah tengah laut terdengar suara ledakan sebanyak dua kali। Suaranya seperti bom yang meledak। Terus disusul dengar terlihatnya percikan api। Kemudian, leb…. “Paratak….!! Keresek-keresek…“ seperti suara bebek yang riuh rendah berjalan. Jadi waktu itu tidak langsung datang air gelombang.
Di bawah aku hanya tertegun। Begitupun ketika kedua temanku memberitahu bahwa terjadi tsunami.
“Wan, tsunami…. lumpat” temenku yang satu dari atas kelapa memberi tahu. Sementara aku tidak lantas percaya. Aku nyumput di pandan-pandan. Kebetulan pohon kelapa yang akan aku naiki berdekatan dengan pandan di pinggir jalan raya.
“Ke… Enya dih tsunami…???” tanyaku dengan nada pertanyaan yang kurang yakin। Setelah aku nyumput (sembunyi) di pandan, aku lihat-lihat ke arah depan, Samudra Hindia. Aku tidak bisa melihat apa-apa, karena tertutup pohon pandan yang cukup tinggi. “Akh, tsunami nanahaon ? euweuh sing ?” lanjutku bergumam.
“Kaswan…., gancang naek. Eta tsunami geus deukeut !!” tamenku yang satu lagi memberi tahu.
“Ass… geuning enya….” Jawabku sambil lari menuju ke bukit yang berada di sebelah kanan jalan raya. Aku tidak sempat naik pohon kelapa.
Aku baru percaya ada tsunami ketika, kulihat temenku yang di atas pohon kelapa yang paling dekat pesisir sudah terungkup oleh air gelombang। Ketinggian air sekitar 5-6 meter. Sebelum sampai di tepi bukit, aku sudah terkejar air dan akhirnya aku terbawa air hingga sampai di bukit. Di bukit itulah kuberusaha mencari pegangan yang kuat untuk menahan laju derasnya air gelombang. Sampai akhirnya aku selamat. Begitupun dengan kedua temanku yang masih berada di pohon kelapa. Mereka juga selamat.
No Response to "Kisah - kisah Tsunami"
Posting Komentar