Kisah - kisah Tsunami
Lesmana (30 th), Cidadap - Legok Jawa, 009
Waktu itu aku di teras rumah। Sedang isteriku memasak di dapur, sambil menunggu masaknya nasi, dia menonton TV di ruang tengah. Anak semata wayangku pamitan, katanya mau main.
“Pa, bade ulin” katanya sambil pergi sekelepatan।
Setelah anakku pamitan, maka aku pergi membeli kelapa bereng-bareng dengan Mang Dadang, warga Bulak Benda। Kebetulan dia adalah teman seprofesiku dibidang jual beli kelapa. Cidadap, Kentrung, dan Bulak Benda adalah perkampungan yang sangat penuh dengan perkebunan kelapa rakyat.
Pendapatan kelapaku hari ini lumayan banyak। Begitupun dengan Mang Dadang. Namun ketika kami sedang asyik dengan jual beli kelapa, dari arah kejauhan terdengar suara pendaratan helikopter, dan disusul dengan teriakan orang yang bilang bahwa sedang terjadi tsunami.
“Tsunami...tsunami… hayu nyingkah !” teriakan itu berdatangan dari segala arah।
Mendengar itu semua, aku dan Mang Dadang tidak pikir panjang, motorku ditinggal di tempat itu। Dan aku lari dengan maksud untuk mencari anak. Aku masih teringat dengan pamitannya tadi katanya mau bermain. Sementara itu, Akupun sudah tidak ingat lagi dengan nasib Mang Dadang.
Aku kesana kemari, dari satu bukit ke bukit lainnya। Ketika mendekati sebuah penggilingan padi (huller), aku terperosok ke dalam lombang yang berisi sekam padi. Terasa tubuhku gatal tak terkira, tapi tidak aku rasakan. Sementara celanaku melorot. Setelah ditarik lagi ke atas, maka perjalanan pencarianku dilanjutkan.
Asalnya aku putus harapan, jangan-jangan anakku sudah meninggal। Tanya ke sana ke sini tidak ada yang tahu. Namun alhamdulillah, suatu ketika aku dikabari bahwa anakku selamat dan sekarang masih ada di bukit. Setelah bertemu dengannya, maka anakku saya titipkan dengan orang-orang yang selamat lainnya di bukit itu. Kemudian aku teringat dengan kesalamatan istriku yang sangat aku cintai. Kebetulan dia baru beberapa waktu saja pulang dari perantauan untuk mencari uang.
Maka aku turun dari bukit। Pencarian dilakukan ke arah timur dan ke barat. Tak lupa aku mencoba mendekati rumahku yang sudah hancur porak poranda. Gelombang air laut sangatlah besar, namun tak menyiutkan nyaliku untuk tetap mendekati dan mencarinya.
Aku beranggapan bahwa istriku sudah hilang, dan mungkin sudah tidak bernyawa lagi, pikirku। Tapi alhamdulillah kulihat sosok istriku sedang digulung oleh gelombang yang ganas itu. Tubuhnya juga dipenuhi dengan sampah, sampai-sampai tidak bisa bergerak apa-apa. Maka dengan secepat kilat, tubuhnya aku tangkap dan kutarik serta dimasukan ke rumahnya Mang Endang yang kebetulan berada di hadapan kami.
Tanpa berpikir panjang, tubuhnya aku tabrakkan dengan pintu rumah itu dan akibat derasnya gelombang, akhirnya tubuhnya nyangsang di jendela rumah itu। Waktu itu, air laut setinggi dadaku. Dengan sekuat tenaga istriku kujaga dengan sebaik-baiknya supaya tidak terbawa arus. Selain itu, aku berusaha menyadarkannya bahwa kita harus eling dan sadar dalam menjalani cobaan ini. Setelah air laut agak surut, maka kubawa istriku menuju ke tempat yang lebih aman, yaitu bukit. Di bukit itulah aku sekeluarga bisa menitipkan jiwa dan raga kepada Yang Maha Kuasa.
Di bukit itu ternyata cukup banyak pengungsi yang menyelamatkan diri। Karena memang bila dibandingkan dengan bukit lainnya, bukit tersebut lebih dekat dengan pemukiman dan mudah dijangkau oleh siapa pun. Malam itu, kami tetap berjaga-jaga, karena kami berpikir bahwa tsunami mungkin akan datang lagi. Kemudian besok harinya kami baru bisa turun dari bukit dan mencari tempat yang lebih aman lagi, yaitu bersama-sama mengungsi ke Desa Masawah.
Namun, sebelum mengungsi, aku berusaha untuk menengok rumahku yang sudah hancur porak poranda sambil mencari dan menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan। Masih jelas dalam bayangku betapa ganasnya gelombang itu menghancurkan rumah-rumah dan saung-saung yang berada dihadapanku. Kuibaratkan, air gelombang itu seperti jelema anu alus, tapi lamun urang malaweung jadi bangor.
Dari hasil pencarianku, ternyata rangki rumahku ketemu di sebelah selatan perkampungan, pakaian dan ijazah sekolah ditemukan di sebelah utara, sementara tak tersisa sepeserpun uang untuk bertahan hidup। Maka, selama di tempat pengungsian aku tak kuasa menahan sedih, ketika tiba-tiba anakku meminta uang untuk jajan, atau meminta makan.
Aku hanya bisa menjawab, “Sabar jang, da bencana ieu mah damelan anu kawasa। Sanes damelan jalmi. Kumaha deui atuh॥” jawabku dengan tak tahan menahan air mata yang tak bisa dibendung lagi. Air hangat itupun mengalir dengan derasnya menyusuri pipiku dan akhirnya jatuh kepangkuanku.
Setelah kami kembali ke perkampungan dengan tidur di tenda-tenda ataupun rumah darurat। Ternyata, ada sesuatu hal yang membuatku menjerit, ‘Kenapa bencana ini bisa membalikkan semuanya…? Orang yang dulunya balangsak (susah) sekarang jadi beunghar (kaya). Sementara orang yang dulunya kaya sekarang jadi balangsak ?? Inilah mungkin salah satu bukti kekuasaan Alloh SWT.
tak menyiutkan nyaliku
Waktu itu aku di teras rumah। Sedang isteriku memasak di dapur, sambil menunggu masaknya nasi, dia menonton TV di ruang tengah. Anak semata wayangku pamitan, katanya mau main.
“Pa, bade ulin” katanya sambil pergi sekelepatan।
Setelah anakku pamitan, maka aku pergi membeli kelapa bereng-bareng dengan Mang Dadang, warga Bulak Benda। Kebetulan dia adalah teman seprofesiku dibidang jual beli kelapa. Cidadap, Kentrung, dan Bulak Benda adalah perkampungan yang sangat penuh dengan perkebunan kelapa rakyat.
Pendapatan kelapaku hari ini lumayan banyak। Begitupun dengan Mang Dadang. Namun ketika kami sedang asyik dengan jual beli kelapa, dari arah kejauhan terdengar suara pendaratan helikopter, dan disusul dengan teriakan orang yang bilang bahwa sedang terjadi tsunami.
“Tsunami...tsunami… hayu nyingkah !” teriakan itu berdatangan dari segala arah।
Mendengar itu semua, aku dan Mang Dadang tidak pikir panjang, motorku ditinggal di tempat itu। Dan aku lari dengan maksud untuk mencari anak. Aku masih teringat dengan pamitannya tadi katanya mau bermain. Sementara itu, Akupun sudah tidak ingat lagi dengan nasib Mang Dadang.
Aku kesana kemari, dari satu bukit ke bukit lainnya। Ketika mendekati sebuah penggilingan padi (huller), aku terperosok ke dalam lombang yang berisi sekam padi. Terasa tubuhku gatal tak terkira, tapi tidak aku rasakan. Sementara celanaku melorot. Setelah ditarik lagi ke atas, maka perjalanan pencarianku dilanjutkan.
Asalnya aku putus harapan, jangan-jangan anakku sudah meninggal। Tanya ke sana ke sini tidak ada yang tahu. Namun alhamdulillah, suatu ketika aku dikabari bahwa anakku selamat dan sekarang masih ada di bukit. Setelah bertemu dengannya, maka anakku saya titipkan dengan orang-orang yang selamat lainnya di bukit itu. Kemudian aku teringat dengan kesalamatan istriku yang sangat aku cintai. Kebetulan dia baru beberapa waktu saja pulang dari perantauan untuk mencari uang.
Maka aku turun dari bukit। Pencarian dilakukan ke arah timur dan ke barat. Tak lupa aku mencoba mendekati rumahku yang sudah hancur porak poranda. Gelombang air laut sangatlah besar, namun tak menyiutkan nyaliku untuk tetap mendekati dan mencarinya.
Aku beranggapan bahwa istriku sudah hilang, dan mungkin sudah tidak bernyawa lagi, pikirku। Tapi alhamdulillah kulihat sosok istriku sedang digulung oleh gelombang yang ganas itu. Tubuhnya juga dipenuhi dengan sampah, sampai-sampai tidak bisa bergerak apa-apa. Maka dengan secepat kilat, tubuhnya aku tangkap dan kutarik serta dimasukan ke rumahnya Mang Endang yang kebetulan berada di hadapan kami.
Tanpa berpikir panjang, tubuhnya aku tabrakkan dengan pintu rumah itu dan akibat derasnya gelombang, akhirnya tubuhnya nyangsang di jendela rumah itu। Waktu itu, air laut setinggi dadaku. Dengan sekuat tenaga istriku kujaga dengan sebaik-baiknya supaya tidak terbawa arus. Selain itu, aku berusaha menyadarkannya bahwa kita harus eling dan sadar dalam menjalani cobaan ini. Setelah air laut agak surut, maka kubawa istriku menuju ke tempat yang lebih aman, yaitu bukit. Di bukit itulah aku sekeluarga bisa menitipkan jiwa dan raga kepada Yang Maha Kuasa.
Di bukit itu ternyata cukup banyak pengungsi yang menyelamatkan diri। Karena memang bila dibandingkan dengan bukit lainnya, bukit tersebut lebih dekat dengan pemukiman dan mudah dijangkau oleh siapa pun. Malam itu, kami tetap berjaga-jaga, karena kami berpikir bahwa tsunami mungkin akan datang lagi. Kemudian besok harinya kami baru bisa turun dari bukit dan mencari tempat yang lebih aman lagi, yaitu bersama-sama mengungsi ke Desa Masawah.
Namun, sebelum mengungsi, aku berusaha untuk menengok rumahku yang sudah hancur porak poranda sambil mencari dan menyelamatkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan। Masih jelas dalam bayangku betapa ganasnya gelombang itu menghancurkan rumah-rumah dan saung-saung yang berada dihadapanku. Kuibaratkan, air gelombang itu seperti jelema anu alus, tapi lamun urang malaweung jadi bangor.
Dari hasil pencarianku, ternyata rangki rumahku ketemu di sebelah selatan perkampungan, pakaian dan ijazah sekolah ditemukan di sebelah utara, sementara tak tersisa sepeserpun uang untuk bertahan hidup। Maka, selama di tempat pengungsian aku tak kuasa menahan sedih, ketika tiba-tiba anakku meminta uang untuk jajan, atau meminta makan.
Aku hanya bisa menjawab, “Sabar jang, da bencana ieu mah damelan anu kawasa। Sanes damelan jalmi. Kumaha deui atuh॥” jawabku dengan tak tahan menahan air mata yang tak bisa dibendung lagi. Air hangat itupun mengalir dengan derasnya menyusuri pipiku dan akhirnya jatuh kepangkuanku.
Setelah kami kembali ke perkampungan dengan tidur di tenda-tenda ataupun rumah darurat। Ternyata, ada sesuatu hal yang membuatku menjerit, ‘Kenapa bencana ini bisa membalikkan semuanya…? Orang yang dulunya balangsak (susah) sekarang jadi beunghar (kaya). Sementara orang yang dulunya kaya sekarang jadi balangsak ?? Inilah mungkin salah satu bukti kekuasaan Alloh SWT.
No Response to "Kisah - kisah Tsunami"
Posting Komentar