Kisah - Kisah Tsunami
Khoer (28 th) dan Ceu Unah (40 th), Madasari, 014
Waktu kejadian, Aku baru saja selesai gembala sapi di tegalan kebunku dekat muara Madasari। Sapiku tidaklah banyak. Jumlahnya hanya tiga ekor. Tadinya aku hanya punya satu ekor induk betina sebagai modal dasar, pemberian ayah ibuku ketika aku menikah dengan gadis pujaanku, Rani, dua tahun yang lalu. Tadinya sih aku mau diberi berupa uang untuk membangun rumah, cuman pikirku waktu itu lebih baik dibelikan sapi dengan harapan semakin lama akan semakin banyak. Satu tahun yang lalu beranak satu, dan dua hari sebelum tsunami, waktu itu hari Sabtu, beranak satu lagi.
Kebetulan kebunku terletak persis berdampingan dengan muara sungai tersebut। Kanan kiri muara ini dihimpit oleh perbukitan kapur yang subur. Tak heran kalau setahun sekali ketika mangsa katiga bukit-bukit ini dijadikan huma oleh para peladang. Ada banyak tanaman palawija yang ditanam di sana, dari cabe, laos, kacang, singkong, pisang, sampai dengan turubuk (ciri khas tanaman huma di Madasari).
Seperti biasanya, ketika sore tiba, sebelum pulang ke Bulak Benda aku maraban (memberi makan) sapi dengan rumput ingres (rumput gajah) yang kutanam di bukit sebelah kiri Muara Madasari, persis bersebelahan dengan tegalan tempat ngalung sapi-sapiku।
Tempat ngalung sapiku dengan garis pantai kurang lebih berjarak 350 meteran lebih। Tempat ngalung sapiku kubuat saung-saungan yang kanan kirinya kupagari dengan talajak dari kai peuteuy (kayu petai cina). Saung-saungan itu sengaja kubangun dekat pohon-pohon kelapa yang kurang subur, dengan harapan agar dapuran pohon-pohon tersebut setiap hari kena siraman air kencing dan kotoran sapi. Sehingga lama-kalamaan akan menjadi subur. Itulah sedikit ilmu beternak dan berkebun yang kudapatkan dari kakek nenekku.
Ketika aku sedang asyik dengan sapi-sapiku, tanpa disengaja aku melirik ke arah muara sungai। Dari arah laut terlihat gelombang yang sangat besar, kira-kira ketinggiannya 15 meter. Maka dengan serta merta kubuka sepatu dan terekel aku naik ke pohon kelapa, kurang lebih setinggi 7 meteran. Kebetulan pohon kelapa itu termasuk sengked handap, karena kurang subur.
Sebetulnya aku tahu bahwa pohon kelapa juga dapat roboh kalau kena arus yang sangat besar, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain naik pohon kelapa itu dan di atas pohon itu aku berdoa supaya pohonnya tidak roboh dan semoga aku selamat।
“Byuurr” air gelombang yang besar itu menghantam tubuhku dan segala apa yang ada dihadapannya।, tak terkecuali dengan saung-saungan dan sapi-sapiku. Leobb… semuanya terbawa hanyut menyusuri sungai, tegalan, dan sisi-sisi bukit. Kejadiannya sangatlah cepat, kuhitung-hitung paling lama hanya sekitar 5 menit sampai air itu surut lagi.
Namun alhamdulillah pohon yang kunaiki tidak roboh dan aku pun selamat। Setelah terasa aman, aku langsung pulang ke Bulak benda mencari ibuku. Aku sangat menghawatirkannya, karena ayahku sudah berbulan-bulan bekerja di Kalimantan. Jadi ibuku sendirian di rumah, aku adalah anak semata wayangnya. Anak dan istriku kebetulan juga sedang di rumah mertua di Cijulang.
Besok harinya, aku dan ibuku kembali ke Madasari untuk mencari sapi-sapiku yang terbawa arus। Di daerah Benteli, daerah yang kami lewati, tidak ada sapi satu ekorpun, yang ada hanyalah ratusan atau puluhan ekor ayam yang selamat. Maka perjalanan kamipun dilanjutkan ke arah hulu sungai Madasari. Alhamdulillah, di salah satu sisi bukit itu kutemukan sapi-sapiku. Mereka masih utuh. Ketika gelombang datang dan meluluh lantakkan apa saja yang ada, sapiku kagulung ku lambak terbawa ke tegalan, sungai dan akhirnya nyengcle di sisi bukit yang agak tinggi.
Maka, dari sana, mereka kami naikkan ke pasir (bukit) Ki Fadli, penamaan pasir (bukit) atau suatu tempat di kampungku biasanya berdasarkan nama pemilik atau sejarah terdahulunya। Karena bukit itu dimiliki oleh Aki Fadli, maka orang-orang menyebutnya pasir Ki Fadli. Kebetulan di sana ada pelataran yang agak lempar (datar) dan juga ada saung yang biasa dipakai mangkalan oleh Ki Fadli. Kamipun meminta ijin ke beliau dan beliaupun memperbolehkannya.
“Sok bae ari arek dipake mangkalan mah। Teu nanaon” kata Ki Fadli pada kami waktu itu. “Kami mah arek mangkalan di saung anu hiji deui” tambahnya.
Setelah dapat ijin, maka kami beres-bereskan buntelan pakaian, alat-alat masak seadanya, dan sapi dicangcang di pohon-pohon yang ada di sana। Kemudian aku ngarit (mencari rumput-rumputan) untuk makanan sapi.
Ketika malam tiba, kami tidaklah tenang karena masih merasa was-was terus। Ibuku tidak bisa tidur. Kami takut tsunami datang lagi.
“Ma, geura sare. Tos peuting…” kataku pada ibu yang terlihat guling gasahan di setiap malamnya.
“Ah, Ema mah teu hayang sare…” jawabnya singkat।
Itulah dialog yang kami lakukan setiap malam selama seminggu mangkalan di bukit Ki Fadli। Selama seminggu itu pulalah banyak kenangan pahit yang kami dapatkan. Kurang sandang, kurang pangan, dan juga kurang papan.
Tak ada makanan yang kami dapatkan dari siapapun, kecuali makanan-makanan yang tersedia di hutan। Tak ada pakaian yang dapat kami pakai, kecuali pakaian seadanya yang masih dapat kami selamatkan dari rumah, dan tak ada yang dapat kami pakai sebagai rumah kecuali saung tempat mangkalannya Aki Fadli. Tak ada obat nyamuk, tak ada obat-obatan. Begitupun ketika sapi induk kami tercekik tambang, tak ada yang menolong, kecuali kami selamatkan berdua. Walaupun akhirnya mati.
Ah, Ema mah, teu hayang sare….
Waktu kejadian, Aku baru saja selesai gembala sapi di tegalan kebunku dekat muara Madasari। Sapiku tidaklah banyak. Jumlahnya hanya tiga ekor. Tadinya aku hanya punya satu ekor induk betina sebagai modal dasar, pemberian ayah ibuku ketika aku menikah dengan gadis pujaanku, Rani, dua tahun yang lalu. Tadinya sih aku mau diberi berupa uang untuk membangun rumah, cuman pikirku waktu itu lebih baik dibelikan sapi dengan harapan semakin lama akan semakin banyak. Satu tahun yang lalu beranak satu, dan dua hari sebelum tsunami, waktu itu hari Sabtu, beranak satu lagi.
Kebetulan kebunku terletak persis berdampingan dengan muara sungai tersebut। Kanan kiri muara ini dihimpit oleh perbukitan kapur yang subur. Tak heran kalau setahun sekali ketika mangsa katiga bukit-bukit ini dijadikan huma oleh para peladang. Ada banyak tanaman palawija yang ditanam di sana, dari cabe, laos, kacang, singkong, pisang, sampai dengan turubuk (ciri khas tanaman huma di Madasari).
Seperti biasanya, ketika sore tiba, sebelum pulang ke Bulak Benda aku maraban (memberi makan) sapi dengan rumput ingres (rumput gajah) yang kutanam di bukit sebelah kiri Muara Madasari, persis bersebelahan dengan tegalan tempat ngalung sapi-sapiku।
Tempat ngalung sapiku dengan garis pantai kurang lebih berjarak 350 meteran lebih। Tempat ngalung sapiku kubuat saung-saungan yang kanan kirinya kupagari dengan talajak dari kai peuteuy (kayu petai cina). Saung-saungan itu sengaja kubangun dekat pohon-pohon kelapa yang kurang subur, dengan harapan agar dapuran pohon-pohon tersebut setiap hari kena siraman air kencing dan kotoran sapi. Sehingga lama-kalamaan akan menjadi subur. Itulah sedikit ilmu beternak dan berkebun yang kudapatkan dari kakek nenekku.
Ketika aku sedang asyik dengan sapi-sapiku, tanpa disengaja aku melirik ke arah muara sungai। Dari arah laut terlihat gelombang yang sangat besar, kira-kira ketinggiannya 15 meter. Maka dengan serta merta kubuka sepatu dan terekel aku naik ke pohon kelapa, kurang lebih setinggi 7 meteran. Kebetulan pohon kelapa itu termasuk sengked handap, karena kurang subur.
Sebetulnya aku tahu bahwa pohon kelapa juga dapat roboh kalau kena arus yang sangat besar, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain naik pohon kelapa itu dan di atas pohon itu aku berdoa supaya pohonnya tidak roboh dan semoga aku selamat।
“Byuurr” air gelombang yang besar itu menghantam tubuhku dan segala apa yang ada dihadapannya।, tak terkecuali dengan saung-saungan dan sapi-sapiku. Leobb… semuanya terbawa hanyut menyusuri sungai, tegalan, dan sisi-sisi bukit. Kejadiannya sangatlah cepat, kuhitung-hitung paling lama hanya sekitar 5 menit sampai air itu surut lagi.
Namun alhamdulillah pohon yang kunaiki tidak roboh dan aku pun selamat। Setelah terasa aman, aku langsung pulang ke Bulak benda mencari ibuku. Aku sangat menghawatirkannya, karena ayahku sudah berbulan-bulan bekerja di Kalimantan. Jadi ibuku sendirian di rumah, aku adalah anak semata wayangnya. Anak dan istriku kebetulan juga sedang di rumah mertua di Cijulang.
Besok harinya, aku dan ibuku kembali ke Madasari untuk mencari sapi-sapiku yang terbawa arus। Di daerah Benteli, daerah yang kami lewati, tidak ada sapi satu ekorpun, yang ada hanyalah ratusan atau puluhan ekor ayam yang selamat. Maka perjalanan kamipun dilanjutkan ke arah hulu sungai Madasari. Alhamdulillah, di salah satu sisi bukit itu kutemukan sapi-sapiku. Mereka masih utuh. Ketika gelombang datang dan meluluh lantakkan apa saja yang ada, sapiku kagulung ku lambak terbawa ke tegalan, sungai dan akhirnya nyengcle di sisi bukit yang agak tinggi.
Maka, dari sana, mereka kami naikkan ke pasir (bukit) Ki Fadli, penamaan pasir (bukit) atau suatu tempat di kampungku biasanya berdasarkan nama pemilik atau sejarah terdahulunya। Karena bukit itu dimiliki oleh Aki Fadli, maka orang-orang menyebutnya pasir Ki Fadli. Kebetulan di sana ada pelataran yang agak lempar (datar) dan juga ada saung yang biasa dipakai mangkalan oleh Ki Fadli. Kamipun meminta ijin ke beliau dan beliaupun memperbolehkannya.
“Sok bae ari arek dipake mangkalan mah। Teu nanaon” kata Ki Fadli pada kami waktu itu. “Kami mah arek mangkalan di saung anu hiji deui” tambahnya.
Setelah dapat ijin, maka kami beres-bereskan buntelan pakaian, alat-alat masak seadanya, dan sapi dicangcang di pohon-pohon yang ada di sana। Kemudian aku ngarit (mencari rumput-rumputan) untuk makanan sapi.
Ketika malam tiba, kami tidaklah tenang karena masih merasa was-was terus। Ibuku tidak bisa tidur. Kami takut tsunami datang lagi.
“Ma, geura sare. Tos peuting…” kataku pada ibu yang terlihat guling gasahan di setiap malamnya.
“Ah, Ema mah teu hayang sare…” jawabnya singkat।
Itulah dialog yang kami lakukan setiap malam selama seminggu mangkalan di bukit Ki Fadli। Selama seminggu itu pulalah banyak kenangan pahit yang kami dapatkan. Kurang sandang, kurang pangan, dan juga kurang papan.
Tak ada makanan yang kami dapatkan dari siapapun, kecuali makanan-makanan yang tersedia di hutan। Tak ada pakaian yang dapat kami pakai, kecuali pakaian seadanya yang masih dapat kami selamatkan dari rumah, dan tak ada yang dapat kami pakai sebagai rumah kecuali saung tempat mangkalannya Aki Fadli. Tak ada obat nyamuk, tak ada obat-obatan. Begitupun ketika sapi induk kami tercekik tambang, tak ada yang menolong, kecuali kami selamatkan berdua. Walaupun akhirnya mati.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar