Kisah - Kisah Tsunami
Acid (28 th) dan Karsid (26 th), Madasari, 016
Aku dan Karsid adalah sobat dalit (teman akrab) sejak kecil। Kemana-mana kami selalu bersama. Tak terkecuali dalam bermata pencaharian. Mata pencaharian kami adalah nelayan tidak tetap. Artinya nelayan lepas. Kadang-kadang menjaring ke tengah lautan dan kadang-kadang pula kami menjaring di batu-batu karang (jaring ketrok) yang terhampar luas di Pantai Madasari, mulai dari Pantai Ki Berewoh Kalapa Sawut, Singkil, turunan sakola, duduk, sodong gede, kalapa satangkal, panon nyampay, hanjatan madasari, sampai dengan muara Madasari.
Kami menjaring, biasanya dengan melihat kondisi gelombang air laut। Kalau gelombang air laut sedang kurang baik, maka kami cukup menjaring di hamparan batu-batu karang di mulut pantai. Sementara kalau air laut sedang bagus, maka kami biasanya berjaring di tengah lautan. Selama dua minggu terakhir kebetulan air laut sedang robah. Hal ini ditandai dengan beukah (membesar)nya gelombang air tersebut, sehingga tidak memungkinkan para nelayan untuk mancal ke tengah lautan. Akhirnya kami menjaring di batu-batu karang saja.
Sore itu seperti biasanya kami sedang ngetrok, yaitu ngaludang dan masang jaring di hamparan batu karang di Muara Madasari। Ketika kami sedang asyik dengan tangkapan hurang ceket (udang karang / lobster air laut), terdengar suara gemuruh dari tengah lautan.
Sontak kami lari tunggang langgang, ketika kami tahu bahwa gelombang air laut sangatlah besar.
“Sid, Karsid, ieu mah tsunami meureun. Hayu lumpat !!” kataku sambil mengajak Karsid untuk lari menyelamatkan diri.
“Ennya॥ nya..?” jawab Karsid।
Akhirnya kami lari sakaparen-paren, lari tunggang langgang। Kalau di istilahkan dalam peribahasa Sunda, yaitu tunggul dipaduk, catang direumpak. Batu-batu karang yang tajam dan licin tidak kami rasa. Jatuh bangun kami jalani. Asal kami dapat selamat.
Sekitar dua ratus meter di pinggir muara dari tempat kami ngetrok ada beberapa pohon butun yang lumayan besar, sementara di sampingnya terdapat bukit berbatu-batu yang untuk mencapai itu kita harus melewati pandan-pandan, tumbuhan berduri itu। Tapi itu bukan halangan bagi kami.
Saya naik ke salah satu pohon butun yang tempatnya rada di tonggoh, sementara Karsid berusaha naik ke bukit berbatu dengan harus menerobos pandan-pandan yang berduri itu dulu। Rasa sakit pada kedua kaki tidak kami rasa, yang penting kami dapat mencapai tempat yang tinggi.
Ketika gelombang pertama datang saya telah berada di dahan yang pertama yang menurutku ketinggiannya lumayan tinggi, kira-kira 6 meter, tapi ternyata gelombang berhasil mencapai kakiku। Mengalami kejadian itu maka, aku berusaha naik lagi ke dahan di atasnya yang saya pikir lebih aman. Namun apa yang terjadi ? Dahan yang kedua juga masih berhasil dicapai gelombang yang kedua, sementara dahan yang pertama tadi patah digerus gelombang.
“Alhamdulillah” kataku bergumam, “Untung, aku sudah naik ke dahan diatasnya। Kalau masih di situ maka aku akan terbawa arus yang edan itu” lanjutku mengumpat.
Melihat kejadian itu, maka aku berusaha naik lagi ke puncak yang lebih tinggi dari pohon itu। Dan di sini aku lebih aman. Ketika gelombang ketiga datang lagi, air itu tidak bisa mencapai posisiku sekarang, walaupun gelombang ketiga itu lebih lebih besar dan lebih dahsyat dari gelombang ke satu dan kedua.
Berbarengan dengan kejadian ini, aku menyaksikan ke arah lautan sebelah tenggara। Di mana di sana terdapat batu leuit, yang dipercaya oleh penduduk sekitar sebagai barometer musim hujan dan musim kemarau, tertutup dan kegulung oleh gelombang, sehingga tidak terlihat dari pandangan mata. Begitupun dengan batu-batu ngajugur di legok bancet (sebelah kiri Muara Madasari) berhasil disapu gelombang dan hancur. Tak kalah dahsyatnya lagi, bukit-bukit yang tinggi menjulang yang berada lebih tonggoh dari batu bancet tadi juga berhasil digerus gelombang hingga rontok berkeping-keping. Sisa-sisa keganasan gelombang itu masih terlihat dengan jelas sampai sekarang.
Setelah air gelombang surut, maka aku turun dan kemudian mencari temanku, Karsid, apakah dia selamat ataukah tidak। Aku menyusuri sisi-sisi bukit.
“Sid, Karsid, maneh aya di mana ? selamet henteu..?” tanyaku sambil berteriak-teriak. Pertayaanku kuteriakan berulang-ulang karena belum juga ada jawaban.
“Yeuh, di dieu, di pasir…। Aing mah salamet. Maneh, kumaha, Cid?” jawabnya dan sekaligus balik bertanya. Rupanya ketika menyelamatkan diri, dia sudah tidak ingat apa-apa lagi, termasuk dengan keselamatanku. Ia langsung menerobos pandan-pandan, dan langsung menuju ke puncak perbukitan. Di sana, dia merasa lebih aman, katanya.
Setelah kami bertemu, di puncak bukit kabuyutan itu, kami baru turun dari bukit itu dengan tujuan mau pulang ke rumah। Namun, apa yang terjadi? Sesampainya di Blok perkampungan RT 08, Madasari, kami melihat kampung itu sudah luluh lantak disapu gelombang. Rumah-rumah hancur, pos ronda berpindah tempat, dan kami tidak menemui orang satu pun. Ternyata mereka sudah mengungsi di bukit-bukit sebelah barat.
Ketika bertemu dengan beberapa orang dari mereka, kami disarankan untuk pulang ke Bulak Benda lewat perbukitan saja, jangan melewati Kendal, Cigorowong, dan Sodong Gede, karena menurut mereka daerah-daerah tadi sudah ludes disapu gelombang pula। Dan diperkirakan masih terjadi gelombang susulan. Menurut mereka Bulak Benda juga habis diurug ku lambak (gelombang).
Maka kami berjalan mengikuti petunjuk mereka, kami berjalan dari bukit ke bukit, hingga akhirnya sampai di kampung Bulak Benda। Dan ternyata betul juga, kampung Bulak benda, kampungku, habis rata diurug lambak yang maha dahsyat itu. Di sana kami langsung mencari sanak keluarga, dan ternyata mereka semua sudah mengungsi ke Desa Masawah. Di sanalah kami bertemu dan berminggu-minggu serta berbulan-bulan pula kami mengungsi di sana.
Naek kana butun
Aku dan Karsid adalah sobat dalit (teman akrab) sejak kecil। Kemana-mana kami selalu bersama. Tak terkecuali dalam bermata pencaharian. Mata pencaharian kami adalah nelayan tidak tetap. Artinya nelayan lepas. Kadang-kadang menjaring ke tengah lautan dan kadang-kadang pula kami menjaring di batu-batu karang (jaring ketrok) yang terhampar luas di Pantai Madasari, mulai dari Pantai Ki Berewoh Kalapa Sawut, Singkil, turunan sakola, duduk, sodong gede, kalapa satangkal, panon nyampay, hanjatan madasari, sampai dengan muara Madasari.
Kami menjaring, biasanya dengan melihat kondisi gelombang air laut। Kalau gelombang air laut sedang kurang baik, maka kami cukup menjaring di hamparan batu-batu karang di mulut pantai. Sementara kalau air laut sedang bagus, maka kami biasanya berjaring di tengah lautan. Selama dua minggu terakhir kebetulan air laut sedang robah. Hal ini ditandai dengan beukah (membesar)nya gelombang air tersebut, sehingga tidak memungkinkan para nelayan untuk mancal ke tengah lautan. Akhirnya kami menjaring di batu-batu karang saja.
Sore itu seperti biasanya kami sedang ngetrok, yaitu ngaludang dan masang jaring di hamparan batu karang di Muara Madasari। Ketika kami sedang asyik dengan tangkapan hurang ceket (udang karang / lobster air laut), terdengar suara gemuruh dari tengah lautan.
Sontak kami lari tunggang langgang, ketika kami tahu bahwa gelombang air laut sangatlah besar.
“Sid, Karsid, ieu mah tsunami meureun. Hayu lumpat !!” kataku sambil mengajak Karsid untuk lari menyelamatkan diri.
“Ennya॥ nya..?” jawab Karsid।
Akhirnya kami lari sakaparen-paren, lari tunggang langgang। Kalau di istilahkan dalam peribahasa Sunda, yaitu tunggul dipaduk, catang direumpak. Batu-batu karang yang tajam dan licin tidak kami rasa. Jatuh bangun kami jalani. Asal kami dapat selamat.
Sekitar dua ratus meter di pinggir muara dari tempat kami ngetrok ada beberapa pohon butun yang lumayan besar, sementara di sampingnya terdapat bukit berbatu-batu yang untuk mencapai itu kita harus melewati pandan-pandan, tumbuhan berduri itu। Tapi itu bukan halangan bagi kami.
Saya naik ke salah satu pohon butun yang tempatnya rada di tonggoh, sementara Karsid berusaha naik ke bukit berbatu dengan harus menerobos pandan-pandan yang berduri itu dulu। Rasa sakit pada kedua kaki tidak kami rasa, yang penting kami dapat mencapai tempat yang tinggi.
Ketika gelombang pertama datang saya telah berada di dahan yang pertama yang menurutku ketinggiannya lumayan tinggi, kira-kira 6 meter, tapi ternyata gelombang berhasil mencapai kakiku। Mengalami kejadian itu maka, aku berusaha naik lagi ke dahan di atasnya yang saya pikir lebih aman. Namun apa yang terjadi ? Dahan yang kedua juga masih berhasil dicapai gelombang yang kedua, sementara dahan yang pertama tadi patah digerus gelombang.
“Alhamdulillah” kataku bergumam, “Untung, aku sudah naik ke dahan diatasnya। Kalau masih di situ maka aku akan terbawa arus yang edan itu” lanjutku mengumpat.
Melihat kejadian itu, maka aku berusaha naik lagi ke puncak yang lebih tinggi dari pohon itu। Dan di sini aku lebih aman. Ketika gelombang ketiga datang lagi, air itu tidak bisa mencapai posisiku sekarang, walaupun gelombang ketiga itu lebih lebih besar dan lebih dahsyat dari gelombang ke satu dan kedua.
Berbarengan dengan kejadian ini, aku menyaksikan ke arah lautan sebelah tenggara। Di mana di sana terdapat batu leuit, yang dipercaya oleh penduduk sekitar sebagai barometer musim hujan dan musim kemarau, tertutup dan kegulung oleh gelombang, sehingga tidak terlihat dari pandangan mata. Begitupun dengan batu-batu ngajugur di legok bancet (sebelah kiri Muara Madasari) berhasil disapu gelombang dan hancur. Tak kalah dahsyatnya lagi, bukit-bukit yang tinggi menjulang yang berada lebih tonggoh dari batu bancet tadi juga berhasil digerus gelombang hingga rontok berkeping-keping. Sisa-sisa keganasan gelombang itu masih terlihat dengan jelas sampai sekarang.
Setelah air gelombang surut, maka aku turun dan kemudian mencari temanku, Karsid, apakah dia selamat ataukah tidak। Aku menyusuri sisi-sisi bukit.
“Sid, Karsid, maneh aya di mana ? selamet henteu..?” tanyaku sambil berteriak-teriak. Pertayaanku kuteriakan berulang-ulang karena belum juga ada jawaban.
“Yeuh, di dieu, di pasir…। Aing mah salamet. Maneh, kumaha, Cid?” jawabnya dan sekaligus balik bertanya. Rupanya ketika menyelamatkan diri, dia sudah tidak ingat apa-apa lagi, termasuk dengan keselamatanku. Ia langsung menerobos pandan-pandan, dan langsung menuju ke puncak perbukitan. Di sana, dia merasa lebih aman, katanya.
Setelah kami bertemu, di puncak bukit kabuyutan itu, kami baru turun dari bukit itu dengan tujuan mau pulang ke rumah। Namun, apa yang terjadi? Sesampainya di Blok perkampungan RT 08, Madasari, kami melihat kampung itu sudah luluh lantak disapu gelombang. Rumah-rumah hancur, pos ronda berpindah tempat, dan kami tidak menemui orang satu pun. Ternyata mereka sudah mengungsi di bukit-bukit sebelah barat.
Ketika bertemu dengan beberapa orang dari mereka, kami disarankan untuk pulang ke Bulak Benda lewat perbukitan saja, jangan melewati Kendal, Cigorowong, dan Sodong Gede, karena menurut mereka daerah-daerah tadi sudah ludes disapu gelombang pula। Dan diperkirakan masih terjadi gelombang susulan. Menurut mereka Bulak Benda juga habis diurug ku lambak (gelombang).
Maka kami berjalan mengikuti petunjuk mereka, kami berjalan dari bukit ke bukit, hingga akhirnya sampai di kampung Bulak Benda। Dan ternyata betul juga, kampung Bulak benda, kampungku, habis rata diurug lambak yang maha dahsyat itu. Di sana kami langsung mencari sanak keluarga, dan ternyata mereka semua sudah mengungsi ke Desa Masawah. Di sanalah kami bertemu dan berminggu-minggu serta berbulan-bulan pula kami mengungsi di sana.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar