Kisah - kisah Tsunami
Suryati (50 th), Kentrung - Legok Jawa, 011
Waktu itu aku sedang di dapur। Hari memang menjelang sore. Sebagaimana biasanya sebagai ibu rumah tangga aku memasak untuk memenuhi kebutuhan makan sore (malam) keluargaku. Dengan tiba-tiba kulihat air gelombang pecah tepat di atas jalan raya.
Melihat kejadian itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa। Aku hanya terbengong-bengong, sebelum teringat apa-apa. Setelah aku tahu bahwa air itu adalah gelombang tsunami, Aku pasrah saja kepada Yang Kuasa. Aku hanya bisa berdoa saja semoga selamat.
Maka dalam hitungan detik, air sudah menghantam dan menyeretku tanpa ampun। Akhirnya aku terbawa arus di dasar air. Aku tidak bisa cengkat, karena di atas permukaan air penuh dengan segala macam sampah, baik sampah rumah tangga maupun tumbuh-tumbuhan serta kayu-kayu reruntuhan rumah yang tersapu air gelombang yang sangat deras.
Aku terseret gelombang dari rumah dekat jalan raya sampai di lapangan Kentrung yang jaraknya sekitar 300 meter। Selama terseret tersebut aku tak bisa menghitung berapa liter air laut yang terminum, dan berapa kali aku dihantam oleh benda-benda yang keras. Yang jelas, ketika sampai di lapangan, aku adalah orang terakhir yang kokojayan (berenang) di lapangan.
Tak seorangpun yang bisa mengenaliku, termasuk anak dan suamiku। Namun setelah mereka aku panggil barulah mereka faham siapa yang dihadapinya. Karena wajahku penuh dengan sampah, lumpur, dan rambutku yang ikalpun berubah jadi rancung (rambut jadi lurus). Karena buuk anu rarancung dan kondisi wajah yang seperti itu, aku dianggap sebagai orang yang gila (siga jalma nu burung).
Setelah mereka mengenaliku, maka kami bersama-sama menyelamatkan diri ke bukit-bukit। Kami bermalam di sana, dan kemudian esok harinya baru kami mengungsi ke tempat yang lebih aman, yaitu ke Desa Masawah.
buuk rarancung
Waktu itu aku sedang di dapur। Hari memang menjelang sore. Sebagaimana biasanya sebagai ibu rumah tangga aku memasak untuk memenuhi kebutuhan makan sore (malam) keluargaku. Dengan tiba-tiba kulihat air gelombang pecah tepat di atas jalan raya.
Melihat kejadian itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa। Aku hanya terbengong-bengong, sebelum teringat apa-apa. Setelah aku tahu bahwa air itu adalah gelombang tsunami, Aku pasrah saja kepada Yang Kuasa. Aku hanya bisa berdoa saja semoga selamat.
Maka dalam hitungan detik, air sudah menghantam dan menyeretku tanpa ampun। Akhirnya aku terbawa arus di dasar air. Aku tidak bisa cengkat, karena di atas permukaan air penuh dengan segala macam sampah, baik sampah rumah tangga maupun tumbuh-tumbuhan serta kayu-kayu reruntuhan rumah yang tersapu air gelombang yang sangat deras.
Aku terseret gelombang dari rumah dekat jalan raya sampai di lapangan Kentrung yang jaraknya sekitar 300 meter। Selama terseret tersebut aku tak bisa menghitung berapa liter air laut yang terminum, dan berapa kali aku dihantam oleh benda-benda yang keras. Yang jelas, ketika sampai di lapangan, aku adalah orang terakhir yang kokojayan (berenang) di lapangan.
Tak seorangpun yang bisa mengenaliku, termasuk anak dan suamiku। Namun setelah mereka aku panggil barulah mereka faham siapa yang dihadapinya. Karena wajahku penuh dengan sampah, lumpur, dan rambutku yang ikalpun berubah jadi rancung (rambut jadi lurus). Karena buuk anu rarancung dan kondisi wajah yang seperti itu, aku dianggap sebagai orang yang gila (siga jalma nu burung).
Setelah mereka mengenaliku, maka kami bersama-sama menyelamatkan diri ke bukit-bukit। Kami bermalam di sana, dan kemudian esok harinya baru kami mengungsi ke tempat yang lebih aman, yaitu ke Desa Masawah.
No Response to "Kisah - kisah Tsunami"
Posting Komentar