Kisah - Kisah Tsunami
H. Maman (45 th), Kartayasa, 015
Meskipun desaku lumayan jauh dari Madasari, hampir setiap hari aku pergi bertani dan berladang di sekitar Muara Madasari। Kalau pakai jalan besar (raya) saya harus berputar dari Daerah Curug Green Canyon (Cukang Taneuh), Nagrog, Cimerak, Masawah, Bulak Benda, baru sampai ke Muara Madasari.
Perjalanan tersebut kalau pakai sepeda motor membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan dengan jarak kira-kira 15 km। Kenapa membutuhkan waktu yang lumayan lama ? karena selain jalannya masih banyak yang rusak dan belum semua diaspal, juga dari Madasari aku harus jalan kaki lagi sekitar 1 km-an. Yah lumayan, capeklah…
Sementara selain itu, juga ada jalan alternatif yang motong kompas dan ini adalah jalur jalan yang sering aku lalui, yaitu lewat perbukitan dari Batukaras, Ranca minyak, Cirawun, baru sampai muara Madasari। Jalan ini tidak bisa dilalui oleh kendaraan, karena naik turun bukit, dan jalannya sempit, jalan setapak lagi. Aku harus jalan kaki kurang lebih 5 km dari bungalow Batu karas tempat wisata itu. Jadi, biasanya motorku kutitipkan di tempat penitipan di sana.
Di Muara Madasari, aku biasanya melakukan berbagai aktivitas bertani dan berladang, mulai dari ngahuma, berkebun, sampai dengan bakarang di terumbu karang, persis di depan muara yang berumur tua itu।
Waktu kejadian, seperti hari-hari biasanya Aku sedang ngahuma di salah satu bukit dekat Muara Madasari। Di sana aku sendirian, tak ada yang menemani. Tiba-tiba dari arah wetan terdengar suara ledakan yang sangat keras sebanyak 2 kali.
“Glung…। Glung…!!” suara itu terdengar sangat nyaring, Apalagi posisiku termasuk lumayan agak tinggi di bukit itu. Jadi suara ombak lautan pun terdengar sangat jelas dari sana.
Belum sempat aku berfikir apa-apa। Selang beberapa waktu, dari arah yang sama terdengar suara seperti helikopter yang mau mendarat dengan dibarengi suara seperti angin yang kencang. Namun ketika kulihat ke arah pepohonan ternyata terlihat tenang. Tak ada angin rubut ataupun angin topan. Semuanya tampak biasa saja.
Hal ini berbeda dengan detik berikutnya ketika mataku menyapu ke arah sungai dan muara Madasari। Di sana ternyata gelombang besar air laut yang menghitam setinggi puluhan meter yang datang secara tiba-tiba itu melibas apapun yang ada di depannya. Batu-batu karang yang terjal, pohon-pohonan, hewan-hewan ternak, sampai dengan rumput-rumput serta ilalang yang tumbuh di lembah bukit.
Aku terkesiap dan tak bisa berkata apa-apa। Maka tanpa menunggu gelombang itu lewat, aku lari terbirit-birit menyusuri jalan setapak menuju ke Bungalow Batukaras. Perjalanan yang biasanya membutuhkan waktu sekitar satu jam, ternyata hanya dalam hitungan menit pun aku sudah sampai di sana.
Ketika sudah sampai di sana, ternyata suasananya kacau balau karena ternyata gelombang tsunami juga menghantam daerah batu karas dan sekitarnya। Dengan semampu saya, walaupun berbagai rintangan yang menghalangi di jalan, seperti : tumbangnya pohon-pohon, perahu pecah yang melintang, sampai dengan teriakan-teriakan orang yang meminta tolong, sepeda motorku kupacu sekencang-kencangnya. Yang kupikir dan kuingat adalah bagaimana supaya cepat sampai di rumah dengan selamat. Selain itu aku belum kepikiran.
Sepanjang perjalanan dari Batu karas, Curug, hingga sampai ke Kartayasa, kulihat orang-orang berduyun-duyun menyelamatkan diri। Ada yang jalan kaki, tanpa sandal, ada yang pakai sepeda, dan ada juga yang pakai kendaraan roda dua dan roda empat. Ada yang menangis, ada yang teriak-teriak minta ikut motor, dan ada juga yang jatuh ke selokan jalan raya.
Sesampainya di Kartayasa, rumahku, motor kumasukan ke pelataran, mendong ku gantelkan di gantungan paku, tanpa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan dari istri dan anakku, aku masuk ke rumah। Sesampainya di rumah aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Ingat-ingat ketika waktu sudah menunjukkan hampir seper empat malam। Aku siuman ketika istri dan anakku sudah membangunkan berkali-kali. Menurut istriku, selama berjam-jam aku pingsan atau teu eling-eling.
“Pa, pa, aya naon deuih, bet kabina-bina teuing ?” tanya isteriku.
“Ari kitu kumaha dih?” tanyaku tanpa beban.
“Ih, ari si Bapa, ditanya॥ malah balik nanya ?” istriku agak sewot। “Kapan tadi bapa teh teu eling (pingsan -red) samulangna ti Madasari”
Setelah aku berfikir dan mengingat-ngingat kejadian sore itu, aku baru bisa menjawab, “Oh… tadi? Bapa teh nyaksenan kajadian gelombang tsunami di muara Madasari sareng di Batu karas, jadi bapa teh teu eling”
“Oh… tsunami…” gumam istri dan anakku berbarengan।
Setelah itu, mereka sangat tertarik untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya। Maka, kuceritakan pengalamanku dari awal kejadian di muara Madasari sampai dengan sampai di rumah. Mereka pun sangat antusias untuk mendengarkannya.
Di Kartayasa aku pingsan
Meskipun desaku lumayan jauh dari Madasari, hampir setiap hari aku pergi bertani dan berladang di sekitar Muara Madasari। Kalau pakai jalan besar (raya) saya harus berputar dari Daerah Curug Green Canyon (Cukang Taneuh), Nagrog, Cimerak, Masawah, Bulak Benda, baru sampai ke Muara Madasari.
Perjalanan tersebut kalau pakai sepeda motor membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan dengan jarak kira-kira 15 km। Kenapa membutuhkan waktu yang lumayan lama ? karena selain jalannya masih banyak yang rusak dan belum semua diaspal, juga dari Madasari aku harus jalan kaki lagi sekitar 1 km-an. Yah lumayan, capeklah…
Sementara selain itu, juga ada jalan alternatif yang motong kompas dan ini adalah jalur jalan yang sering aku lalui, yaitu lewat perbukitan dari Batukaras, Ranca minyak, Cirawun, baru sampai muara Madasari। Jalan ini tidak bisa dilalui oleh kendaraan, karena naik turun bukit, dan jalannya sempit, jalan setapak lagi. Aku harus jalan kaki kurang lebih 5 km dari bungalow Batu karas tempat wisata itu. Jadi, biasanya motorku kutitipkan di tempat penitipan di sana.
Di Muara Madasari, aku biasanya melakukan berbagai aktivitas bertani dan berladang, mulai dari ngahuma, berkebun, sampai dengan bakarang di terumbu karang, persis di depan muara yang berumur tua itu।
Waktu kejadian, seperti hari-hari biasanya Aku sedang ngahuma di salah satu bukit dekat Muara Madasari। Di sana aku sendirian, tak ada yang menemani. Tiba-tiba dari arah wetan terdengar suara ledakan yang sangat keras sebanyak 2 kali.
“Glung…। Glung…!!” suara itu terdengar sangat nyaring, Apalagi posisiku termasuk lumayan agak tinggi di bukit itu. Jadi suara ombak lautan pun terdengar sangat jelas dari sana.
Belum sempat aku berfikir apa-apa। Selang beberapa waktu, dari arah yang sama terdengar suara seperti helikopter yang mau mendarat dengan dibarengi suara seperti angin yang kencang. Namun ketika kulihat ke arah pepohonan ternyata terlihat tenang. Tak ada angin rubut ataupun angin topan. Semuanya tampak biasa saja.
Hal ini berbeda dengan detik berikutnya ketika mataku menyapu ke arah sungai dan muara Madasari। Di sana ternyata gelombang besar air laut yang menghitam setinggi puluhan meter yang datang secara tiba-tiba itu melibas apapun yang ada di depannya. Batu-batu karang yang terjal, pohon-pohonan, hewan-hewan ternak, sampai dengan rumput-rumput serta ilalang yang tumbuh di lembah bukit.
Aku terkesiap dan tak bisa berkata apa-apa। Maka tanpa menunggu gelombang itu lewat, aku lari terbirit-birit menyusuri jalan setapak menuju ke Bungalow Batukaras. Perjalanan yang biasanya membutuhkan waktu sekitar satu jam, ternyata hanya dalam hitungan menit pun aku sudah sampai di sana.
Ketika sudah sampai di sana, ternyata suasananya kacau balau karena ternyata gelombang tsunami juga menghantam daerah batu karas dan sekitarnya। Dengan semampu saya, walaupun berbagai rintangan yang menghalangi di jalan, seperti : tumbangnya pohon-pohon, perahu pecah yang melintang, sampai dengan teriakan-teriakan orang yang meminta tolong, sepeda motorku kupacu sekencang-kencangnya. Yang kupikir dan kuingat adalah bagaimana supaya cepat sampai di rumah dengan selamat. Selain itu aku belum kepikiran.
Sepanjang perjalanan dari Batu karas, Curug, hingga sampai ke Kartayasa, kulihat orang-orang berduyun-duyun menyelamatkan diri। Ada yang jalan kaki, tanpa sandal, ada yang pakai sepeda, dan ada juga yang pakai kendaraan roda dua dan roda empat. Ada yang menangis, ada yang teriak-teriak minta ikut motor, dan ada juga yang jatuh ke selokan jalan raya.
Sesampainya di Kartayasa, rumahku, motor kumasukan ke pelataran, mendong ku gantelkan di gantungan paku, tanpa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan dari istri dan anakku, aku masuk ke rumah। Sesampainya di rumah aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Ingat-ingat ketika waktu sudah menunjukkan hampir seper empat malam। Aku siuman ketika istri dan anakku sudah membangunkan berkali-kali. Menurut istriku, selama berjam-jam aku pingsan atau teu eling-eling.
“Pa, pa, aya naon deuih, bet kabina-bina teuing ?” tanya isteriku.
“Ari kitu kumaha dih?” tanyaku tanpa beban.
“Ih, ari si Bapa, ditanya॥ malah balik nanya ?” istriku agak sewot। “Kapan tadi bapa teh teu eling (pingsan -red) samulangna ti Madasari”
Setelah aku berfikir dan mengingat-ngingat kejadian sore itu, aku baru bisa menjawab, “Oh… tadi? Bapa teh nyaksenan kajadian gelombang tsunami di muara Madasari sareng di Batu karas, jadi bapa teh teu eling”
“Oh… tsunami…” gumam istri dan anakku berbarengan।
Setelah itu, mereka sangat tertarik untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya। Maka, kuceritakan pengalamanku dari awal kejadian di muara Madasari sampai dengan sampai di rumah. Mereka pun sangat antusias untuk mendengarkannya.
No Response to "Kisah - Kisah Tsunami"
Posting Komentar